Apakah Rakyat Papua Berhak atas Self-Determination dan Mendirikan Negara Sendiri?

Apakah Rakyat Papua Berhak atas Self-Determination dan Mendirikan Negara Sendiri? - Hallo sahabat Cyberlaw Indonesia, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Apakah Rakyat Papua Berhak atas Self-Determination dan Mendirikan Negara Sendiri?, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Diplomatic law, Artikel international law, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Apakah Rakyat Papua Berhak atas Self-Determination dan Mendirikan Negara Sendiri?
link : Apakah Rakyat Papua Berhak atas Self-Determination dan Mendirikan Negara Sendiri?

Baca juga


Apakah Rakyat Papua Berhak atas Self-Determination dan Mendirikan Negara Sendiri?

 

Belum lama ini konflik di Papua semakin memanas, termasuk dengan ditetapkannya OPM sebagai kelompok teroris. Selain melalui kolompok bersenjata, kabarnya OPM juga menyuarakan kemerdekaan Papua di forum internasional di PPB atas dasar hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua. Sebenarnya bagaimana hukumnya pergerakan ini, apakah benar Papua berhak atas hak menentukan nasib sendiri dan membentuk negara baru?


Ulasan Lengkap

Gagasan bahwa Papua merdeka melalui hak untuk menentukan nasib dendiri (self-determination) sudah lama didengungkan namun selalu kandas. Seperti halnya gagasan Republik Rakyat Maluku, Gerakan Aceh Merdeka, kemerdekaan Catalonia dari Spanyol, dan gerakan lainnya yang selalu dikampanyekan dalam opini publik, gerakan semacam ini tidak pernah mendapat dukungan negara-negara. Mengapa? karena gagasan ini tidak memiliki akar dalam hukum internasional. 

Norma Self-Determination

Hak menentukan nasib sendiri (self-determination) sering dipahami secara liar dan tanpa kriteria. Banyak yang beranggapan melalui hak ini maka semua kelompok rakyat, wilayah, atau ras berhak merdeka. Bahkan ada yang merujuk Alinea pertama Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa" sebagai dasar hukum untuk Papua Merdeka. Namun menjadi bingung saat ditanyakan apakah suku Batak, Sunda, Minang dan suku lainnya di nusantara dapat juga merdeka dengan dasar yang sama. Mereka lupa membaca kalimat berikutnya yaitu dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”. Artinya, hak kemerdekaan tersebut adalah atas situasi penjajahan.

Hukum internasonal telah menetapkan syarat yang ketat tentang siapa dan dalam situasi apa sekelompok orang atau wilayah memiliki hak menentukan nasib sendiri. Syaratnya sangat restriktif yaitu hanya berlaku bagi wilayah di bawah kekuasaan kolonial (non-self governing territory)serta yang berada dalam situasi penaklukan, dominasi, dan eksploitasi asing (alien subjugation, domination, and exploitation)sebagaimana dinyatakan dalam Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 1514(“Resolusi MU PBB 1514”) dan  Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 2625 (“Resolusi MU PBB 2625”).

Mengapa hukum internasional memberi syarat ketat? Karena ada norma hukum internasional lain yang menghalanginya, yakni penghormatan terhadap integritas wilayah negara, yang juga ditegaskan dalam Resolusi MU PBB 2625. Artinya jika hak menentukan nasib sendiri diberikan tanpa kriteria hukum maka akan terjadi gelombang disintergrasi wilayah di dunia yang berpotensi mengacaukan tatanan dunia.

Selain itu, larangan pemecahan wilayah-wilayah negara juga terkristalisasi dalam Paragraf 6 Resolusi MU PBB 1514. Cukup membanggakan bahwa pada saat perumusan paragraf ini diusulkan oleh Indonesia, dengan merujuk pengalaman pahitnya soal Papua yang dipisahkan secara ilegal oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949.

Apakah Papua Ikut Merdeka pada Tanggal 17 Agustus 1945?

Bagaimana dengan Papua, apakah masih berhak atas self-determination? Pertanyaan hukum yang pertama harus dijawab adalah apakah wilayah Papua termasuk wilayah yang dimerdekakan pada tanggal 17 Agustus 1945, dan dengan demikian turut melaksanakan hak menentukan nasib sendiri? Jawaban atas pertanyaan ini tergantung pada apakah Papua pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah bagian dari Hindia Belanda. 

Hukum internasional mengenal doktrin uti possidetis juris yang tercermin dalam putusan Mahkamah Internasional (“ICJ”) pada Case Concerning the Frontier Dispute (Burkina Faso/Mali) 1986Doktrin ini menjelaskan bahwa batas-batas wilayah yang dimerdekakan adalah batas wilayah kolonial, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang (the principle of the intangibility of frontiers inherited from colonization) (hal. 15-17). Ini berarti wilayah Indonesia yang dimerdekakan tanggal 17 Agustus 1945 hanya wilayah bekas Hindia Belanda dan tidak boleh mencakup wilayah di luarnya, seperti Timor Timor (jajahan Portugal) dan Malaysia/Singapura (jajahan Inggris).

Fakta sejarah menunjukkan bahwa Papua pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah bagian dari Hindia Belanda sesuai dengan Pasal 62 Konstitusi Belanda tahun 1938yang berlaku saat itu. Berdasarkan doktrin ini Papua adalah termasuk wilayah yang dimerdekakan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Norma ini sudah dikonfirmasi oleh ICJ dalam Advisory Opinion on Chagos 2019 (“Chagos 2019” ) (hal. 47-48) di mana ICJ mengatakan bahwa Inggris bersalah pada waktu memisahkan Kepulauan Chagos dari Mauritus. Secara analogis, tindakan Belanda telah melanggar hak menentukan nasib sendiri pada saat memecah-mecah wilayah Republik Indonesia (“RI”), mulai dari Perjanjian Linggarjati 1947 yang hanya mengakui de facto wilayah RI yakni Jawa, Sumatra, dan Madura; Perjanjian Renville 1948 yang mengakui de jure Jawa Tengah, Sumatra, dan terakhir Konferensi Meja Bundar 1949(“KMB 1949”) yang mengakui seluruh wilayah RI kecuali Papua.

Dalil kelompok pro Papua merdeka bahwa Papua bukan bagian dari RI karena tidak termasuk wilayah RI berdasarkan KMB 1949 dengan sendirinya gugur karena pemisahan ini bertentangan dengan norma self-determination dan doktrin uti possidetis juris seperti yang dimaksud ICJ dalam Chagos 2019.

New York Agreement 1962 dan PEPERA 1969

Lantas apa status Papua pasca KMB 1949? Sesuai Pasal 2 KMB 1949, masalah Papua akan diselesaikan dalam waktu 1 tahun. Artinya, status Papua adalah persoalan bilateral RI-Belanda. Namun Belanda ingkar janji dan justru memasukkan Papua sebagai wilayah Belanda dalam Konstitusi Belanda tahun 1956. Akibatnya, Indonesia terpaksa membatalkan KMB 1949 pada tahun 1956 melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1956 tentang Pembatalan Hubungan Indonesia Nederland Berdasarkan Perjanjian Konferensi Meja Bundar karena tindakan Belanda ini selain bertentangan dengan norma self-determination juga melanggar KMB 1949 itu sendiri.

Norma hukum perjanjian internasional yang terkodifikasi pada Pasal 60 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 dapat dijadikan dasar untuk mengakhiri suatu perjanjian internasional jika diingkari oleh pihak lain. Roeslan Abdulgani, menggunakan istilah rebus sic stantibus sebagai justifikasi untuk pengakhiran KMB.[1]

Sengketa bilateral ini selanjutnya difasilitasi oleh Sekretaris Jenderal PBB dan melahirkan perjanjian bilateral Indonesia-Belanda yaitu New York Agreement 1962, yang intinya menyepakati proses penyerahan Papua, dari Belanda kepada PBB, dan selanjutnya diserahkan ke Indonesia. Setelah diserahkan ke Indonesia, maka selanjutnya dilakukan Penentuan Pedapat Rakyat (PEPERA) 1969 oleh Indonesia sendiri bukan oleh PBB. Preamble dalam New York Agreement 1962 ini juga menegaskan bahwa Papua adalah sengketa antara Indonesia dan Belanda dan tidak merujuk pada Resolusi MU PBB 1514.

Secara fundamental, PEPERA 1969 berbeda dengan jajak pendapat Timor Timur 2001. Jajak pendapat Timor Timur diselenggarakan langsung oleh PBB[2] dan disahkan atas dasar Resolusi PBB terkait dengan self-determination.[3] Ini menunjukkan Timor Timor diperlakukan sebagai wilayah yang masih berhak untuk menentukan nasib sendiri.

Selanjutnya, melalui PEPERA rakyat Papua memutuskan ingin tetap menjadi bagian dari RI. Sekretaris Jenderal PBB selanjutnya melaporkan hasil PEPERA kepada Majelis Umum PBB dan diterima melalui Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 2504 (“Resolusi MU PBB 2504”).

Yang menarik adalah bagaimana negara-negara memaknai PEPERA ini. Ketua delegasi RI, Soejarwo, pada perdebatan di Majelis Umum PBB tersebut menyatakan:

PEPERA bukan persoalan self-determination dalam konteks perjuangan terhadap kolonial. Bagi Indonesia ini adalah soal tuntasnya perjuangan kemerdekaan, kembali utuhnya persatuan nasional dan integritas wilayah, prinsip yang esensial bagi negara yang berdaulat dan bagi setiap negara. 

Mayoritas negara, antara lain Aljazair, Burma, India, Iran, Jepang, Kuwait, Malaysia, Arab Saudi, dan Thailand, mendukung posisi Indonesia bahwa PEPERA 1969 ini bukan dalam rangka self-determination seperti yang dikenal dalam kerangka Komite Dekolonisasi (C-24). India misalnya mengatakan:[4]

The question under our consideration cannot be regarded as an act of self-determination in the normal understanding of the term, since West lrian must be regarded as being an integral part of the sovereign State of the Republic of Indonesia.

Tidak dimaknainya PEPERA 1969 sebagai hasil yang lazim dari self-determinationjuga dinyatakan oleh beberapa pakar hukum internasional, antara lain Rigos-Suredayang menyatakan:[5]

the attitude taken by the General Assembly can be assumed to mean that West Irian was regarded as an ‘integral part’ of Indonesia and, therefore that there was no need for it to go through the process indicated by the General Assembly to achieve self-determination.

Pakar hukum internasional, J. Crawford juga berpandangan serupa, bahwa sikap PBB terhadap hasil PEPERA 1969 pada dasarnya menghormati penjagaan terhadap integritas wilayah Indonesia (the preservation of the territorial integrity of Indonesia).[6]

PEPERA 1969 dilaksanakan pada saat situasi hukum dimana Papua sudah menjadi bagian dari Indonesia. Sehingga hasil PEPERA itu sendiri dikonstruksikan dalam konsideran ‘Menimbang’ pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 Pembentukan Propinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten Kabupaten Otonom di Propinsi Irian Barat(“UU 12/1969”) bahwa Irian Barat tetap merupakan bagian dari Indonesia.

Dari uraian di atas, pelaksanaan penentuan nasib sendiri rakyat Papua sudah dilakukan pada tanggal 17 Agustus 1945 bersama dengan wilayah-wilayah lainnya bekas Hindia Belanda sedangkan PEPERA 1969 dapat dimaknai sebagai konfirmasi rakyat Papua untuk tetap berada dalam RI. Karena sudah menjadi bagian dari Indonesia maka hak menentukan nasib sendiri menjadi tidak relevan. Itulah sebabnya topik self-determination untuk Papua pasca adanya Resolusi PBB tidak pernah lagi menjadi perhatian apalagi diperdebatkan dalam literatur hukum internasional.

Status PEPERA 1969 juga coba untuk dipersoalkan dalam tingkat hukum nasional Indonesia. Pada tahun 2019 sekelompok masyarakat dan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat meminta pembatalan materi dalam UU 12/1969 yang merupakan hasil dari PEPERA 1969 ke Mahkamah Konstitusi (“MK”) melalui permohonan judicial review terhadap UU 12/1969.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XVII/2019MK menolak permohonan para pemohon dengan pertimbangan bahwa pemohon secara substansi tidak memohonkan pengujian terhadap UU 12/1969, tetapi terhadap PEPERA 1969 sebagai peristiwa hukum internasional yang pada hakikatnya telah diakui oleh Resolusi MU PBB 2504 yang bersifat sah dan final. Dalam hal ini MK juga menegaskan tidak memiliki kewenangan untuk menguji keabsahan tindakan PBB (hal. 37).

Gerakan Papua Merdeka

Apa yang sedang diperjuangkan oleh gerakan-gerakan Papua Merdeka setelah 17 Agustus 1945 tidak dapat disebut sebagai perjuangan hak menentukan nasib sendiriPertama, karena hak ini sudah dilaksanakan oleh Papua, dan kedua, tidak mungkin hak ini dilakukan lagi oleh wilayah yang sudah sah sebagai bagian dari suatu negara.

Apa yang dilakukan oleh gerakan-gerakan ini baik di Papua maupun dukungan lembaga swadaya masyarakat di luar negeri adalah gerakan pemisahan diri/separatis dari negaraPasal 106 Kitab Undang-Undang Hukum Pidanamengkategorikan tindakan yang berupaya memisahkan bagian wilayah ini sebagai makar.

Selain itu, hukum internasional sangat jelas soal ini. Pada tahun 1917, Aaland Island (bagian dari Finlandia namun berbudaya dan berbahasa Swedia) pernah mencoba memisahkan diri dan menuntut bergabung dengan Swedia. Sengketa ini diselesaikan oleh Liga Bangsa-Bangsa dengan membentuk Commission of Jurists tahun 1920, yang pada intinya menyatakan bahwa:[7]

Positive International Law does not recognize the right of national groups, as such, to separate themselves from the State of which they form part by the simple expression of a wish. 

Yang pada intinya, dapat diartikan bahwa hukum internasional yang berlaku tidak mengenal hak sekelompok peduduk untuk memisahkan diri dari negaranya hanya karena kehendak semata.

Sampai saat ini masih berlaku norma bahwa tidak ada hak untuk memisahkan diri dari negara (secession) dalam hukum internasionalSekretaris Jenderal PBB U Thantpernah menyatakan:[8]

the United Nations has never accepted and does not accept and I do not believe will ever accept the principle of secession of a part of its Member state.

Contoh baru-baru ini adalah deklarasi pemisahan diri oleh Catalonia dari Spanyol tahun 2017 yang gagal karena tidak mendapat restu hukum internasional.

Selain itu, terkait dengan hal ini, Indonesia telah melakukan deklarasi terhadap Pasal 1 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik terkait self-determination. Deklarasi tersebut menegaskan interpretasi Indonesia bahwa hak atas self-determination tidak dapat diberlakukan terhadap kelompok masyarakat di dalam suatu negara berdaulat yang akan merusak kesatuan wilayah (territorial integrity) dari negara tersebut.[9]

Adanya gerakan pemisahan diri oleh Organisasi Papua Merdeka (“OPM”) sampai saat ini adalah akibat korban “janji (palsu) kemerdekaan” yang ditanamkan oleh kolonial Belanda, terutama pasca KMB 1949. Janji ini diteruskan ke sebagian masyarakat Papua dari generasi ke generasi.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

Referensi:

  1. Roesland Abdulgani, Hukum dalam Revolusi dan Revolusi dalam Hukum, (Jakarta:P. Prapantja), 1965;
  2. Crawford, The Creation of States in International Law(2nd ed.), Oxford University Press, 2006;
  3. Jamie Trinidad, Self-Determination in Disputed Colonial Territories, Cambridge University, 2018;
  4. Zubeidi Mustofa, the Principle of Self-Determination in International Law, International Lawyer, Volume 5, Number 3, 1971;
  5. United Nations Monthly ChronicleFebruary 1970;
  6. United Nations Treaty Collection, International Covenant on Civil and Political Rights, diakses pada 24 Juni 2021, pukul 09.33 WIB;
  7. United Nations General Assembly Official Records, 24th Session, 1813thPlenary Meeting, Wednesday, 19 November 1969, diakses pada 24 Juni 2021, pukul 09.33 WIB.

Putusan:

[1] Roesland Abdulgani, Hukum dalam Revolusi dan Revolusi dalam Hukum, (Jakarta: B.P. Prapantja), 1965, hal. 36.

East Timor yang didasarkan atas Resolusi MU PBB 1514 dan Resolusi MU PBB 2625

[4] United Nations General Assembly Official Records, 24th Session, 1813th Plenary Meeting, Wednesday, 19 November 1969hal. 3

[5] Jamie Trinidad, Self-Determination in Disputed Colonial Territories, Cambridge University, 2018, hal. 30

[6] J. Crawford, The Creation of States in International Law(2nd ed.), Oxford University Press, 2006, hal. 646

[7] Zubeidi Mustofa, the Principle of Self-Determination in International Law, International Lawyer, Volume 5, Number 3, 1971, hal. 479

[8]United Nations Monthly ChronicleFebruary 1970, hal.36



Demikianlah Artikel Apakah Rakyat Papua Berhak atas Self-Determination dan Mendirikan Negara Sendiri?

Sekianlah artikel Apakah Rakyat Papua Berhak atas Self-Determination dan Mendirikan Negara Sendiri? kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Apakah Rakyat Papua Berhak atas Self-Determination dan Mendirikan Negara Sendiri? dengan alamat link https://www.cyberlaw.my.id/2021/06/apakah-rakyat-papua-berhak-atas-self.html