Putusan MK UU Perjanjian Internasional: Apa yang Diubah?

Putusan MK UU Perjanjian Internasional: Apa yang Diubah? - Hallo sahabat Cyberlaw Indonesia, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Putusan MK UU Perjanjian Internasional: Apa yang Diubah?, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Putusan MK UU Perjanjian Internasional: Apa yang Diubah?
link : Putusan MK UU Perjanjian Internasional: Apa yang Diubah?

Baca juga


Putusan MK UU Perjanjian Internasional: Apa yang Diubah?

Sekali lagi MK menyentuh perjanjian internasional. Kali ini pada tanggal 22 November 2018, MK mengeluarkan putusannya atas UU No. 24 Tahun 2000tentang Perjanjian Internasional yakni menolak 3 dari 4 permohonan pembatalan. Permohonan yang disetujui adalah Pasal 10, oleh MK dinyatakan bertentangan dengan UUD jika dimaknai bahwa hanya jenis perjanjian tertentu saja yang harus mendapatkan persetujuan DPR (yakni hanya soal politik, perdamaian, hankam, batas wilayah, kedaulatan atau hak berdaulat, HAM, LH, kaidah baru dan pinjaman LN).
Pada dasarnya MK menegaskan kembali bahwa tidak semua perjanjian internasional harus mendapat persetujuan DPR. Namun soal kriterianya, inilah yang dibongkar oleh MK dan diganti dengan kriteria “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang.

Putusan ini sendiri tidak kontroversi. Praktik dewasa ini sudah sejalan, perjanjian perdagangan, misalnya, yang tidak masuk kategori Pasal 10 tetap harus disampaikan ke DPR untuk mendapat persetujuan. Namun Artikel ini mencoba mengungkapkan dan membahas argumentasi MK yang melahirkan beberapa hal baru, yang menurut penulis telah membereskan sekaligus menambah, jika tidak “memperkeruh”, beberapa kontroversi akademik selama ini.


Tafsir Baru Terhadap Pasal 11 UUD
Selain persoalan kriteria, MK juga melakukan tafsir baru atas Pasal 11 UUD 1945 khususnya relasi antara ayat (1) dan ayat (2). Pasal 11 ayat (1) menyatakan “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”. Ayat ini adalah produk dari BPUPKI tahun 1945 dan pada umumnya dimaknai sebagai perjanjian antar negara saja karena pada era ini tidak dikenal perjanjian dengan selain negara.

Tidak terdapat kriteria dalam ayat ini sehingga lahirlah Surat Presiden No. 2826 Tahun 1960 kepada DPR yang menetapkan kriteria bahwa perjanjian yang penting saja (yang sering dinamai dengan “traktat”) yang perlu mendapatkan persetujuan DPR. Kriteria ini selanjutnya dinormakan dalam UU No. 24 Tahun 2000.

Selanjutnya terjadi dinamika pada praktik Indonesia. Penandatangan Letter of Intent antara Indonesia dan IMF tahun 1998 telah melahirkan kontroversi publik tentang perjanjian ini, yang dianggap menimbulkan akibat luas dan mendasar yang terkait beban keuangan negara. Namun karena perjanjian ini bukan antara negara melainkan dengan organisasi internasional maka Pasal 11 UUD tidak berlaku sehingga perjanjian ini tidak memerlukan persetujuan DPR.

Kontroversi ini telah mendorong adanya amandemen pada pasal 11 sehingga melahirkan ayat (2) yang menyatakan: “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.


Berbeda dengan ayat (1), ayat (2) pasal ini telah merumuskan kriteria perjanjian yang harus dengan persetujuan DPR. Kriteria yang sama tidak ada pada ayat (1). Konstruksi kedua ayat ini telah melahirkan pertanyaan tentang apa perbedaan antar perjanjian pada ayat (1) dan pada ayat (2).

Catatan rapat MPR saat amandemen pasal ini, yang kemudian diikuti oleh penafsiran para pakar, memaknai frasa “perjanjian internasional lainnya” pada ayat (2) ini sebagai perjanjian antar Indonesia dengan subjek lain selain negara. Frasa ini dikonstruksikan secara logis sebagai perjanjian selain ayat (1) yakni perjanjian selain dengan negara. Demikianlah tafsir selama ini.

MK kemudian mendobrak penafsiran ini dan mengubah total relasi antara ayat (1) dan ayat (2). Kedua ayat ini bukan membedakan antara perjanjian antar negara dengan perjanjian dengan subjek bukan negara, melainkan harus dibaca sebagai satu kesatuan, yang maknanya menjadi: Pertama, bahwa ‘perjanjian dengan negara lain’ adalah perjanjian internasional. Kedua, tidak semua perjanjian harus ke DPR melainkan yang memenuhi kriteria seperti tertera pada ayat (2).

Sekalipun tidak bebas dari kontroversi tafsir, upaya MK untuk membereskan anomali Pasal 11 UUD patut diapresiasi. Dengan penafisran baru ini maka lahirlah kriteria yang sama, baik untuk perjanjian antar negara maupun untuk perjanjian antara Indonesia dengan subjek bukan negara. Relasi ayat (1) dan (2) UUD yang terkesan tidak kohesif selama ini menjadi lebih terintegrasi.

Persetujuan DPR Berbeda dengan Pengesahan Hukum Nasional?
MK akhirnya menyentuh perdebatan tentang makna “pengesahan”.  Dalam hal ini yang selalu didebatkan oleh para pakar adalah apakah “persetujuan DPR” dan “pengesahan (melalui UU pengesahan)” adalah satu kesatuan proses atau dua proses yang berbeda. Pandangan Pemerintah selama ini berdasarkan UU No. 24 Tahun 2000 mengartikan kedua istilah itu sebagai satu kesatuan proses, yakni bahwa “persetujuan DPR” diekpresikan melalui UU pengesahan.


Konstruksinya adalah “persetujuan DPR” menurut Pasal 11 UUD 1945 adalah dalam rangka syarat terbitnya UU pengesahan seperti yang dimaksud oleh Pasal 20 UUD 1945. Artinya, “persetujuan DPR” seperti yang dimaksud dalam Pasal 11 adalah identik dengan “persetujuan DPR” menurut Pasal 20 UUD 1945.

MK kelihatannya berpendapat lain dan memaknai kedua istilah ini sebagai dua proses yang berbeda. MK melahirkan konsepsi baru yakni “pengesahan perjanjian menurut hukum nasional”. Istilah ini oleh MK merujuk pada produk legislasi yakni UU atau Perpres.  

Artinya, MK membedakan antara “persetujuan DPR” (seperti yang dimaksud oleh Pasal 11 UUD) dengan “pengesahan menurut hukum nasional” yakni UU pengesahan (seperti yang dimaksud oleh Pasal 20 UUD). Menurut MK Keduanya tampaknya adalah dua proses yang berbeda. “Persetujuan DPR” dapat diketahui dan bahkan dapat terekspresi dalam mekanisme konsultasi antara Pemerintah dan DPR dalam bentuk rekomendasi (tidak dalam bentuk UU seperti yang dimaknai Pemerintah), sedangkan “persetujuan DPR dalam “pengesahan hukum nasional terekpresi dengan lahirnya UU pengesahan.

Pandangan baru ini menambah wacana baru dalam perdebatan tentang makna “pengesahan” yang selama ini sudah terdistortif. Penafsiran ini mungkin akan melahirkan dua kali persetujuan DPR, yakni persetujuan versi Pasal 11 UUD 1945 dan versi Pasal 20 UUD 1945. Hal ini tentunya menyisakan pertanyaan juridis yakni, dapatkah DPR menolak mengesahakan UU pengesahan sekalipun sudah memberika persetujuan dalam rangka Pasal 11 UUD 1945?  Sebaliknya, dapatkah DPR mengesahkan UU tsb sekalipun belum ada persetujuan? 

UU Pengesahan Sebagai Pemberlakuan Perjanjian ke Dalam Hukum Nasional?
MK juga memberi makna baru terhadap UU Pengesahan yakni sebagai instrumen yang memberlakukan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional. Penafsiran ini telah membongkar konstruksi yang selama ini dipraktikkan oleh Indonesia. Selama ini, UU pengesahan hanya dimaknai sebagai bentuk persetujuan DPR (tindakan internal) kepada Pemerintah untuk menyatakan terikat pada suatu perjanjian (tindakan ekternal). Jika sudah mengikat Indonesia maka perjanjian itu menjadi bagian dari hukum nasional tanpa perlu suatu instrumen nasional yang memberlakukannya. Ini warisan tradisi hukum Belanda yang sampai saat ini dipraktikkan di negara tersebut.

MK kelihatannya menggeser tradisi ini ke arah lain. Tanpa disadari, makna baru ini mengakibatkan rumusan UU pengesahan selama ini menjadi salah kaprah, karena UU ini mulai berlaku saat diundangkan dan tidak pernah identik dengan tanggal berlakunya perjanjian itu sendiri. UNCLOS 1982 yang disahkan melalui UU No. 17 Tahun 1985 (mulai berlaku tanggal 31 Desember 1985), sudah berlaku di hukum nasional sebelum UNCLOS itu sendiri lahir (tanggal 16 November 1994). Apakah ini berarti UNCLOS sudah menjadi bagian dari hukum nasional, padahal UNCLOS itu sendiri belum lahir?


Kapan Persetujuan DPR Diberikan?
Menurut Konvensi Wina 1969, proses pembuatan perjanjian bisa ditempuh dengan model dua tahapan, yakni perundingan dan kemudian penandatanganan (serta langsung berlaku), dan model tiga tahapan, yakni perundingan, penandatangan dan ratifikasi. Menurut MK, persetujuan DPRdiperlukan jika perjanjian tersebut dibuat dengan tiga tahapan yakni yang mensyaratkan adanya ‘ratification/pengesahan”.

Hal ini membuka peluang bagi DPR untuk memberikan persetujuan pada tahap awal (prior approval) sehingga akan megubah kebiasaan selama ini yang hanya memberikan persetujuan pada tahap akhir (setelah penandatangan dan sebelum pengesahan internasional).

Akan terjadi anomali, jika terdapat suatu perjanjian yang prosesnya 2 tahapan atau,  lebih ekstrim lagi, hanya melalui prosedur sederhana seperti “exchange of notes constituting a treaty”,  namun materinya memenuhi kriteria Pasal 11 (2) UUD 1945, apakah persetujuan DPR dapat diabaikan? 

Problem ini bersumber dari asumsi yang cenderung mencampuradukkan apa yang menjadi dimensi nasional dan apa yang berdimensi internasional. Dalam hal ini syarat ‘persetujuan DPR” (yang berdimensi nasional) senderung harus senantiasa, walau tidak seharusnya, dikaitkan dengan apa kehendak perjanjian internasional (yang berdimensi internasional). Konsekuensinya, persetujuan DPR tidak diperlukan jika perjanjian itu tidak mensyaratkannya. UU No. 24 Tahun 2000 memang menggunakan tafsir ini yang seyogianya patut direvisi.

MK memang memberi pengaman bagi persoalan ini yakni dalam pembuatan perjanjian internasional, Delegasi RI harus menetapkan posisi delri bahwa perjanjian ini membutuhkan persetujuan DPR dengan cara merumuskan klausula “subject to ratification” dalam perjanjian itu.

Namun  di lain pihak, menggantungkan syarat persetujuan DPR ke klausula perjanjian internasional secara teoritis dapat dimaknai sebagai menggerogoti kewenangan hukum nasional karena menempatkan syarat hukum nasional dalam posisi yang  tunduk pada perjanjian internasional itu sendiri.

Kesimpulan
Terlepas dari kontroversi di atas, putusan MK ini telah membereskan beberapa persoalan yang selama ini menyelimuti perdebatan para pakar. Revisi UU No. 24 Tahun 2000 menjadi sangat vital. Diharapkan revisi yang sedang dipersiapkan oleh Pemerintah dapat membereskan kontroversi ini. Pekerjaan akan menjadi mudah jika penyusun revisi UU memiliki pemahaman yang sama tentang kompleksitas persoalan perjanjian internasional ini.


Di lain pihak putusan MK ini tetap menyisakan ruang bagi kelanjutan perdebatan para pakar perihal status hukum dari UU/Perpres pengesahan versus “persetujuan DPR”. Pada aspek ini terjadi benturan antara norma HTN (Pasal 10 UUD) dan norma hukum internasional (Pasal 11 UUD).

*)Dr. iur. Damos Dumoli Agusman adalah Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional Kemlu, juga pengajar hukum internasional di beberapa universitas. Artikel ini murni pandangan akademis Penulis.


Demikianlah Artikel Putusan MK UU Perjanjian Internasional: Apa yang Diubah?

Sekianlah artikel Putusan MK UU Perjanjian Internasional: Apa yang Diubah? kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Putusan MK UU Perjanjian Internasional: Apa yang Diubah? dengan alamat link https://www.cyberlaw.my.id/2019/05/putusan-mk-uu-perjanjian-internasional.html