Menambak Gas Alam Dari Cengkeraman Asing

Menambak Gas Alam Dari Cengkeraman Asing - Hallo sahabat Cyberlaw Indonesia, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Menambak Gas Alam Dari Cengkeraman Asing, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel international law, Artikel law of the sea, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Menambak Gas Alam Dari Cengkeraman Asing
link : Menambak Gas Alam Dari Cengkeraman Asing

Baca juga


Menambak Gas Alam Dari Cengkeraman Asing

MENUJU SASARAN INDUSTRI GAS YANG LEBIH PAS

Menambak Gas Alam Dari Cengkeraman Asing


Tiga wilayah perbatasan Indonesia menyimpan potensi kehilangan cadangan gas alam jika pemerintah tak mampu memproteksinya
  • JAKARTA - Pernah membayangkan kehilangan US$65 miliar? Pengalaman inilah yang dirasakan Indonesia lantaran Timor-Timor telah lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di tahun 1999 silam. Angka tersebut merupakan nilai dari cadangan gas yang diperkirakan terpendam di Celah Timor yang akhir Maret 2018 lalu baru disepakati batas-batasnya oleh Timor Leste dan Australia.
    Lumbung gas alam di Laut Timor itu kini memang sudah tak lagi menjadi hak Indonesia. Padahal ladang gas yang ditemukan tahun 1974 itu tercatat memiliki cadangan sekitar 5,13 triliun kaki kubik gas atau setara dengan lebih dari sepertiga konsumsi LNG global tahunan saat ini.
    Pengalaman ini tentunya jadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait harus mencermati potensi-potensi sumber daya alam yang ‘rawan’. Jadi, nantinya tidak ada lagi kekayaan alam yang hilang akibat klaim negara lain atau bahkan hilang karena upaya separatis yang ingin melepaskan diri dari Indonesia.
    Oleh karena itu, sebagai pemain di bagian hulu, SKK Migas pun turut mencermati potensi gas di wilayah perbatasan Indonesia. Wilayah Natuna, Kalimantan Utara (Ambalat) dan Laut Timor dinilai menyimpan potensi sumber daya gas alam sebesar 13% dari total potensi gas alam di Indonesia yang tercatat mencapai 3 triliun kaki kubik. Secara rinci wilayah-wilayah itu menyimpan 5.182,23 BSCF di Natuna, 1.177,61 BSCF di Kalimantan Utara, 33.600,84 BSCF di Laut Timor. 
    Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas, Wisnu Prabawa Taher, menjelaskan kegiatan eksplorasi dan tahap eksploitasi sejauh ini juga dilakukan di wilayah kerja yang ada di perbatasan tersebut. Beberapa wilayah kerja (WK) bahkan sudah menghasilkan migas, seperti di WK South Natuna Sea Block B di Natuna.
    Sedang di wilayah kerja eksplorasi lainnya, studi-studi geologi tetap dilakukan oleh kontraktor setiap tahunnya sebelum melanjutkan kegiatan, seperti survei seismik dan pengeboran sumur eksplorasi.
    Data tahun 2018 mencatat, survei geologi permukaan direncanakan akan dilakukan di WK East Ambalat (Kontraktor PHE) dan sumur pengeboran eksplorasi direncanakan akan dilakukan di WK Sebatik. Di wilayah kerja lainnya eksplorasi juga dilakukan untuk menambah cadangan yang ada. Seperti halnya yang terjadi di WK South Natuna Sea Block B yang rencananya akan melakukan survei seismik 3D dan pengeboran 1 (satu) sumur eksplorasi di tahun 2018.
    SKK sadar betul dengan kerentanan wilayah perbatasan yang kaya akan potensi sumber daya alam ini. Mereka pun turut menyiapkan sejumlah langkah. Secara aktif, SKK Migas terus mendorong kontraktor untuk melakukan kewajiban eksploitasi sesuai dengan ketentuan yang ada di WK yang masih aktif dengan potensi gas alam yang besar. Kegiatan eksplorasi juga terus diupayakan untuk mendukung penambahan cadangan yang dapat berimplikasi pada penambahan produksi migas dari WK tersebut.
    Adapun daerah-daerah yang terlihat masih memiliki potensi tetapi merupakan open area (tidak memiliki operator), sosialisasi hasil evaluasi coba dilakukan SKK Migas. Selain itu, pihaknya juga memberikan rekomendasi kepada Ditjen Migas untuk wilayah kerja baru melalui tim khusus yang telah dibuat sebelumnya.
    Langkah ini dilakukan agar potensi gas yang ada di wilayah perbatasan ini tidak hilang sehingga dapat dimanfaatkan lebih untuk kepentingan ekonomi Indonesia. Sebab ketika wilayah itu sudah tidak lagi berada di bawah kedaulatan Indonesia, SKK Migas tak punya kewenangan apapun.
    “Dengan bergesernya daerah yang di klaim oleh negara lain maka wilayah tersebut akan menjadi wilayah negara tetangga sehingga Indonesia tidak berhak untuk melakukan kegiatan apapun di daerah tersebut. Tentu saja, selain mengganggu ketahanan negara, perekonomian Indonesia pun akan terganggu,” terang Wisnu.
    Penguatan Perbatasan
    Cadangan gas bumi yang terdapat di wilayah perbatasan Indonesia, seperti Natuna, Ambalat, dan Celah Timur memang perlu disoroti. Pasalnya, daerah perbatasan rawan diklaim oleh negara lain yang berbatasan langsung dengan Indonesia. Terkait hal tersebut, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan beberapa langkah kalau sampai ada negara lain yang melayangkan gugatan.
    Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi kepada Validnews di Jakarta, Selasa (10/7), menyatakan langkah pertama yang dilakukan ESDM adalah melalui pendekatan diplomatik, yaitu mempertemukan pimpinan tinggi negeri yang berkepentingan.
    “Selanjutnya, menguatkan wilayah perbatasan dengan menjaga, merawat dan memaksimalkan wilayah yang menjadi wilayah teritorial,” tambah Agung.
    Sejauh ini belum ada catatan gugatan dari negara lain, baru sebatas klaim saja. Indonesia sempat terlibat dalam sengketa China dan Filipina yang memperebutkan status Laut China Selatan. Pada 2013 lalu, Filipina mengajukan gugatan dan Pengadilan Tetap Arbitrase (PCA) baru memutuskan hasilnya tiga tahun kemudian, yaitu pada 12 Juli 2016. Itu pun tidak ada kerugian yang dialami negara.
    “Indonesia justru diuntungkan. Pasalnya, putusan Mahkamah Arbitrase Internasional pada Juli 2016 tentang sengketa perbatasan antara China dan Filipina berdampak pada bertambahnya wilayah Indonesia bagian utara Laut Halmahera ke arah Palau, negara kepulauan di Samudera Pasifik,” papar Agung.
    Kendati Indonesia tidak pernah mendapat gugatan resmi dari negara lain terkait cadangan gas di Laut Natuna maupun di daerah perbatasan lainnya, ESDM telah membuat kesepakatan resmi dengan pemangku kepentingan terkait.
    “Kami sudah melakukan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) maupun Badan Nasional Penganggulangan Terorisme (BNPT),” terang Agung.
    MoU tersebut disepakati dalam rangka mengamankan kegiatan, fasilitas dan infrastruktur bidang ESDM di daerah terdepan terluar dan tertinggal (3T). MoU tentang Kerja Sama Pengamanan di Bidang ESDM itu ditandatangani pada Maret 2017 lalu.
    MoU tersebut dijadikan landasan kerja sama agar koordinasi dan pelaksanaan kebijakan pengamanan di bidang ESDM berjalan efektif. Adapun ruang lingkup MoU tersebut adalah survei, pemanfaatan ESDM dan pengembangan sumber daya manusia.
    Upaya memaksimalkan penjagaan daerah penghasil gas bumi di perbatasan tidak hanya dilakukan oleh ESDM saja. Pemerintah daerah (pemda) juga turut ambil andil dengan membentuk Badan Pengelolaan Perbatasan (BPP), sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pedoman Pembentukan BPP di Daerah.
    Salah satu contoh pengamanatan pembentukan pengelola perbatasan adalah Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Kepulauan Anambas Nomor 1 tahun 2012 tentang Pembentukan Pengelola Perbatasan Kabupatan Kepulauan Anambas. Gugusan Pulau Anambas merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. Perda ini diwujudkan sebagai tindak lanjut dari pertimbangan bahwa Kabupaten Kepulauan Anambas yang secara geografis berbatasan langsung dengan negara lain atau lautan internasional.
    Oleh karena itu, pemda merasa penting mengatur otoritas batas wilayah daerah yang jelas serta penunjang kebijakan khusus di Gugusan Pulau Anambas sebagai kegiatan pengembangan mega proyek gas alam cair. Apalagi pada 2017 lalu di Anambas dikembangan tiga lapangan gas baru, yaitu Lapangan Bison, Iguana, dan Gajah Puteri (BIGP) oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKS) Premier Oil Natuna Sea BV.
    Keberadaan perda ternyata tidak semata untuk menjaga keamanan daerah perbatasan, tetapi juga untuk mengatur dampak ekonomi dari eksplorasi gas alam di daerah tersebut. Menurut ESDM kegiatan eksplorasi pasti berpengaruh dalam pengambilan kebijakan karena tiap-tiap daerah akan mendapat dana bagi hasil (DBH) dari kegiatan eksplorasi gas bumi di daerahnya, juga pada pertumbuhan ekonomi daerah tersebut.
    “Pastinya akan memengaruhi lahirnya peraturan daerah (perda) di masing-masing wilayah dalam rangka memberikan fasilitas kemudahan berlangsungnya kegiatan eksporasi yang dibutuhkan,” pungkas Agung.
    Peliknya Perundingan
    Dirjen Perjanjian dan Hukum Internasional Kemenlu RI, Damos Dumoli Agusman menyatakan wilayah dengan gas alam besar di perbatasan Indonesia memang masih menyimpan sejumlah isu dengan negara tetangga.  
    Namun dia menyatakan perundingan perbatasan baru yang secara damai dicapai oleh Timor Leste dan Australia tidak merugikan bagi Indonesia. Hal ini turut menguatkan pernyataan Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsdi yang disampaikan sebelumnya di Sydney, Jumat (16/3). Menurutnya, garis yang disepakati oleh kedua negara itu sama sekali tidak menyentuh garis klaim Indonesia di perairan itu. Artinya, secara hukum laut, mereka menghormati kepentingan hukum Indonesia.
    Akan tetapi untuk wilayah Ambalat, overlapping claim diakui terjadi antara RI dan Malaysia. Meski demikian, overlapping claim ini dinilai sebagai hal yang biasa. Sebab sebenarnya Indonesia memiliki overlapping claim dengan hampir semua negara tetangganya. Untuk menyelesaikan masalah ini, perundingan batas negara selalu dikedepankan agar kesepakatan garis batas negara benar-benar dapat terjadi antarkedua negara.
    Hal inilah yang juga diupayakan pemerintah Indonesia dan Kementerian Luar Negeri khususnya dalam kasus Ambalat. Ia menyatakan hingga saat ini perundingan masih berlangsung. Di perundingan tersebut Indonesia-Malaysia membahas batas laut teritorial di perairan Sebatik. Setelah segmen ini tuntas, pembahas akan berlanjut ke perairan Ambalat.
    Sedangkan untuk Perairan Natuna, Damos menyatakan bahwa Indonesia tidak memiliki overlapping claim dengan China. Di wilayah itu, overlapping claim justru terjadi dengan Malaysia dan Vietnam. Pembicaraan terkait batas landas kontinen antara Indonesia dan kedua negara itu saat ini sebenarnya sudah tuntas. Hanya memang tinggal batas ZEE antarketiga negara saja yang sekarang ini masih sedang dalam pembahasan.
    Dosen Hukum Internasional di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Universitas Pelita Harapan itu pun menilai penentuan batas maritim memang sangat sulit dilakukan. Sebelumnya, Indonesia bahkan butuh waktu bertahun-tahun untuk membawa Palau (negara kecil di utara Papua) ke meja perundingan.
    Peliknya perundingan perbatasan ini menurut Damos disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor itu, yakni politis, politis-yuridis, ekonomis, gabungan dari ketiganya, atau bahkan semata-mata terkait faktor teknis perundingan.
    Pada prinsipnya untuk dapat mencapai kesepakatan kedua negara harus memiliki komitmen yang sama untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Unsur kehati-hatian juga diutamakan karena masalah batas erat kaitannya dengan kedaulatan sebuah negara. Terlebih tentang perbatasan ini, Konvensi Wina 1969 telah menetapkan prinsip hukum yang menurutnya ‘menakutkan’ jika diganggu-gugat.
    Faktor lain yang turut juga menjadi pertimbangan adalah UNCLOS (The United Nations Convention on the Law of the Sea) 1982. Dalam konvensi hukum laut internasional tersebut ada banyak zona-zona maritim baru yang lahir dan berubah. Damos sendiri menilai sebenarnya UNCLOS 1982 masih belum menyediakan norma baku sebagai panduan bagi suatu negara dalam menentukan garis batas yang adil dan dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa.
    Terkait perlindungan yang saat ini perlu dilakukan pemerintah terhadap wilayah dengan potensi gas alam di perbatasan Indonesia saat ini, menurutnya memang sebaiknya ada aktivitas ekonomi dan penegakan hukum di perairan itu.
    “Itu sedang dicanangkan, mulai dari eksplorasi migas hingga perikanan. Kalau penegakan hukum sudah jalan,” terang Damos kepada Validnews, Selasa (10/7).
    Perang Klaim
    Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menjelaskan, awalnya memang sebelum Timor-Timor memisahkan diri ada overlapping di landasan kontinen antara Indonesia dengan Australia. Tapi menyadari potensi sumber daya alam yang melimpah di kawasan tersebut, maka joint management dipilih sebagai jalan tengah.
    Joint management ini memang belum mengatur tentang batas laut antara Indonesia dan Australia. Saat itu batas laut antara kedua negara statusnya masih dalam sengketa. Dengan adanya joint management maka sumber daya alam di Celah Timor dapat dikelola bersama-sama.
    Sayang, kondisi berubah saat ini. Pasca kemerdekaan Timor Leste, Indonesia tak lagi memiliki hal di wilayah kaya gas alam itu. Pemberitaan media asing yang melihat adanya jalan untuk Indonesia untuk juga merenegosiasi batas laut di Celah Timor bagi Hikmahanto hanyalah spekulasi semata.
    “Wilayah itu merupakan kedaulatan dari Timor Leste. Itu juga bukan landas kontinen Indonesia,” jelas Hikmahanto kepada Validnews, Jumat (6/7).
    Menurutnya, sudah menjadi hak Timor Leste kini jika kemudian negara itu kembali melakukan negosiasi perbatasan dengan Australia. Pasalnya, batas yang ada saat ini merupakan warisan dari perjanjian yang dilakukan antara Indonesia dengan Australia dulu. Sebab pada zamannya, batas itu pun dinilai beberapa ahli sangat merugikan. Banyak wilayah yang menyimpan cadangan gas di kawasan itu masuk dalam wilayah pengolahan Australia.
    Dijelaskan oleh Hikmahanto, perjanjian itu memang kental aroma politiknya dan hal ini menurutnya juga diakui Dirjen Politik Luar Negeri RI saat itu. Hal ini karena Indonesia menyasar diakuinya Timor Leste (Timor-Timor saat itu.red) sebagai bagian dari wilayah Indonesia oleh Australia. Tujuan politik itu memang lebih diutamakan dalam proses negosiasi perbatasan ketimbang hak atas potensi sumber daya alam di kawasan Celah Timor waktu itu.
    “Jadi alasan mengapa seolah-olah kita banyak mengalah waktu itu dari Australia adalah agar Australia mengakui bahwa Timor-Timor adalah wilayah Indonesia,” jelasnya.
    Baginya tidak heran jika sekarang Timor Leste merenegosiasinya batas lautnya dengan Australia yang awalnya dibuat atas kepentingan politik Indonesia semata.
    Sedangkan untuk wilayah Ambalat, masalahnya hingga saat ini diakui Hikmahanto terjadi karena adanya tumpang tindih klaim landas kontingen dua negara. Berbeda dengan Malaysia, Indonesia menggunakan konvensi hukum laut 82 sebagai dasar klaim Indonesia atas wilayah Ambalat.
    Di sisi lain, untuk Malaysia peta yang mereka gunakan adalah peta 1979. Dengan dasar ini landas kontingen yang di klaim Malaysia itu semakin menjorok ke Indonesia. Belum adanya kesepakatan dua negara terkait batas laut di kawasan Ambalat ini dinilai Hikmahanto memang menjadi sumber masalah perbatasan antara Malaysia dan Indonesia.
    Perbedaan klaim batas laut juga terjadi di Natuna. Bedanya di wilayah itu Indonesia berhadapan dengan China. China dengan nine dash line (sembilan garis putus) miliknya mengklaim memiliki wilayah yang menjorok ke Indonesia. Klaim itu tentunya tidak diakui Indonesia yang berpedoman pada Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) berdasarkan hukum laut internasional.
    Meski demikian, penyelesaian klaim batas laut di Ambalat dan Natuna menurut Hikmahanto harus diselesaikan dengan cara yang berbeda. Sebab pada dasarnya batas laut di Ambalat memang jelas ada tumpang tindih, sedangkan di Natuna klaim China tidak berdasar.
    “Kalau menurut saya tidak apa-apa diambangin aja tidak usah diselesaikan (Ambalat.red). Yang penting jangan pernah kalau kita punya klaim itu mundur selangkah,” ujar Hikmahanto.
    Langkah itu disarankannya diambil pemerintah Indonesia mengingat belum tercapainya kesepakatan antara Indonesia dan Malaysia. Pasalnya, saat ini perdebatan dua negara masih berfokus pada masalah titik-titik batas berdasarkan pasal hukum tertentu yang kemudian diterjemahkan dalam peta.
    Lain halnya penanganan perbatasan oleh klaim China di Natuna. Pemerintah menurut Hikmahanto juga perlu mengambil langkah yang sama dengan China. Aktivitas nelayan Indonesia di perairan Natuna dinilai perlu untuk semakin didorong untuk meningkatkan aktivitas ekonomi Indonesia di wilayah tersebut.
    Sejauh ini memang diakui berbagai upaya telah secara maksimal dilakukan pemerintah. Namun menurutnya aktivitas nelayan juga harus di dorong ke wilayah itu.
    Selain itu, aktivitas ekploitasi gas di wilayah itu juga harus terus didorong. Sebab menurutnya, sebenarnya sudah banyak perusahaan yang diberikan konsesi, namun belum juga melakukan eksploitasi. Proses ini terhambat besarnya beban biaya yang harus dikeluarkan jika eksploitasi dilakukan oleh satu perusahaan saja.  
    Perbedaan klaim dalam perbatasan antar negara menurut Hikmahanto memang biasa terjadi. Banyak alasan yang kerap digunakan negara untuk menyatakan klaimnya mulai dari hukum internasionl hingga sejarah dan peta (tahun tertentu.red).
    Untuk itu dalam upaya penyelesaian masalah perbatasan, Hikmahanto menilai pemerintah perlu mencermati tiga hal. Pertama mengingat masalah kedaulatan adalah isu yang sensitif, pemerintah diminta tidak terburu-buru dalam upaya penyelesaian masalah ini. Selain itu, eksplorasi atau eksploitasi di wilayah-wilayah yang masih memiliki klaim tumpang tindih seharusnya tidak dilakukan.
    Perihal klaim China, pemerintah menurutnya harus tegas. Indonesia harus dapat bertindak tanpa mengindahkan sembilan garis putus yang menjadi klaim China. (Bernadette Aderi, Elisabet Hasibuan)


Demikianlah Artikel Menambak Gas Alam Dari Cengkeraman Asing

Sekianlah artikel Menambak Gas Alam Dari Cengkeraman Asing kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Menambak Gas Alam Dari Cengkeraman Asing dengan alamat link https://www.cyberlaw.my.id/2018/07/menambak-gas-alam-dari-cengkeraman-asing.html