MENGINGAT PUTUSAN TRIBUNAL ATAS LAUT CHINA SELATAN

MENGINGAT PUTUSAN TRIBUNAL ATAS LAUT CHINA SELATAN - Hallo sahabat Cyberlaw Indonesia, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul MENGINGAT PUTUSAN TRIBUNAL ATAS LAUT CHINA SELATAN, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel ASEAN, Artikel international law, Artikel law of the sea, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : MENGINGAT PUTUSAN TRIBUNAL ATAS LAUT CHINA SELATAN
link : MENGINGAT PUTUSAN TRIBUNAL ATAS LAUT CHINA SELATAN

Baca juga


MENGINGAT PUTUSAN TRIBUNAL ATAS LAUT CHINA SELATAN

CNN Indonesia, 19 Agustus 2016

Jakarta, CNN Indonesia -- Tanggal 12 Juli 2016,

Arbitrase Tribunal UNCLOS (United Nation Convention on the Law of Sea) mengeluarkan putusan atas gugatan Filipina melawan Republik Rakyat Tiongkok soal Laut China Selatan.

Setelah melalui proses lebih dari tiga tahun yang diwarnai ‘perang pernyataan’ dan bahkan ‘perang media’ oleh para pihak bersengketa, termasuk oleh pihak lain yang merasa terkait, Tribunal akhirnya mengeluarkan vonis dengan suara bulat.

Tak selesaikan akar konflik

Putusan Tribunal, di luar dugaan publik meski dipahami secara baik oleh para pakar hukum internasional, tidak memenangkan atau mengalahkan pihak yang bertikai.

Sesuai permintaan sang penggugat (Filipina), putusan Tribunal menafsirkan atau lebih tepatnya mengklarifikasi persoalan yang selama ini dianggap rancu (jika tidak bisa disebut ‘sengaja dibuat rancu’) dalam pusaran konflik Laut China Selatan.

Putusan itu tidak menetapkan ‘siapa pemilik pulau apa’ di Laut China Selatan, dan tidak juga menetapkan batas-batas maritim negara claimants (yang terlibat sengketa). Artinya, akar konflik Laut China Selatan itu sendiri, yakni soal perebutan pulau/karang, tidak disentuh oleh Tribunal karena memang dilarang oleh UNCLOS.

Putusan tersebut menepis kekeliruan beberapa pihak yang sebelumnya berprasangka (atau untuk kepentingan tertentu sengaja melahirkan sangkaan ini) bahwa Tribunal akan berurusan dengan soal kedaulatan negara, suatu hal yang pasti tabu untuk disentuh oleh peradilan internasional, kecuali negara yang bertikai sepakat untuk itu, seperti kasus Sipadan dan Ligitan.

Lantas, apa manfaat putusan jika tidak menyelesaikan konflik Laut China Selatan itu sendiri?

Seperti yang diharapkan, putusan ini mengklarifikasi, bukan mengakhiri konflik. Namun klarifikasi ini ternyata menuntaskan beberapa bagian konflik.

Sementara akar konflik itu sendiri, sesuai dengan desakan Tiongkok yang juga diamini ASEAN, hanya dapat diselesaikan melalui mekanisme yang disepakati oleh para pihak yang mengklaim, termasuk mekanisme melalui pihak ketiga seperti Mahkamah Internasional.

Interpretasi Tribunal terhadap UNCLOS ini sebenarnya memudahkan para pihak yang bersengketa merundingkan klaim mereka masing-masing.

Sebagaimana lazimnya, putusan Tribunal ini hanya mengikat para pihak yang bersengketa. Namun, karena sifatnya menafsirkan, putusan akan berevolusi menjadi sumber hukum yang berlaku umum (erga omnes) alias mengikat semua negara. Artinya, Filipina bukan penikmat tunggal atas putusan ini.

Tuntaskan sejumlah konflik

Interpretasi Tribunal menjawab beberapa teka-teki yang mewarnai konflik ini, yang pada akhirnya menuntaskan sebagian konflik.

Pertama, soal nine-dash lines (9DL) yang tertera pada peta Republik Rakyat Tiongkok. Menurut Tribunal, negara tidak boleh mengklaim zona maritim di luar dari apa yang sudah ditetapkan oleh UNCLOS.

Dengan tafsir tersebut, maka 9DL dinyatakan batal. Dengan amar putusan ini, selesailah perdebatan tentang apakah negara masih bisa mengklaim zona maritim baru atau mengungkit zona maritim historis selain yang diatur oleh UNCLOS. Jawabannya tidak bisa.

Kedua, soal status pulau/karang yang dikuasai Tiongkok di Laut China Selatan, apakah berhak atas 200 mil Zona Ekonomi Eksklusif/landas kontinen, atau hanya 12 mil laut wilayah, atau tidak berhak sama sekali. Tribunal memutuskan bahwa ternyata tidak ada satupun fitur yang diperebutkan berstatus ‘pulau’ yang berhak atas 200 mil. Sebagian adalah rocks atau karang yang hanya berhak 12 mil, dan selebihnya adalah non-high tide features yang merupakan bagian dari laut itu sendiri.

Putusan ini telah memformat ulang peta Laut China Selatan yang menyelesaikan beberapa bagian sengketa. Sengketa pertama, beberapa fitur yang jadi rebutan ternyata secara hukum bukan objek kedaulatan karena fitur ini dinyatakan sebagai bagian dari laut itu sendiri. Misalnya Mischief Reef, Second Thomas Shoals adalah hanya beting/elevasi surut sehingga secara otomatis menjadi bagian dari ZEE/landas kontinen Filipina. Fitur yang boleh jadi objek rebutan antara lain Scarborough Shoals, Itu Aba, Cuarteron Reef.

Sengketa kedua, negara-negara claimants hanya bisa menarik ZEE/landas kontinen dari pantai daratan saja dan tidak boleh dari fitur-fitur di tengah laut, sebab semua fitur ini tidak berhak atas kedua zona itu. Artinya, sebagian segmen di antara fitur-fitur ini hanya berhak 12 mil sehingga garis-garis batas maritim setiap negara claimants menjadi semakin jelas. Misalnya, Scarborough Shoal telah dinyatakan sebagai rock dan hanya berhak 12 mil. Dengan demikian kalaupun rock ini nantinya milik Tiongkok, maka ZEE Filipina akan berbatasan dengan batas terluar 12 mil dari rock ini.

Dampak terhadap Indonesia

Putusan Tribunal sangat penting bagi Indonesia, terlebih saat Tiongkok telah ‘menguak kartunya’ tentang klaimnya di ZEE Indonesia dalam nine-dash lines-nya. Dari 15 butir materi gugatan Filipina yang ditafsirkan oleh Tribunal, setidak-tidaknya terdapat dua butir yang bersentuhan langsung dengan Indonesia. Butir pertama soal 9DL yang dinyatakan batal. Dengan demikian, keberadaan garis ini di perairan Natuna adalah tidak sah.

Peta nine-dash lines, garis imajiner yang digunakan Tiongkok untuk mengklaim wilayahnya di Laut China Selatan. Nine-dash lines inilah yang digugat Filipina ke Mahkamah Arbitrase Internasional. (CNN Indonesia/Fajrian) Butir kedua adalah soal status fitur yang ternyata, tidak ada pihak yang berhak melebarkan zona maritim sampai 200 mil. Salah satunya adalah Cuarteron Reef, yang jaraknya kurang dari 400 Nm dari gugusan Natuna. Menurut Tribunal, karang ini hanya berhak atas 12 Nm laut teritorial dan tidak berhak atas ZEE/landas kontinen. Dengan demikian, siapapun pemilik karang ini, tidak akan bertetangga dengan Indonesia karena zona maritimnya sangat jauh dari batas terluar ZEE Indonesia.

Amar putusan ini bukan hal yang mengejutkan. Namun bagi Indonesia, putusan ini mengonfirmasi posisinya selama ini seperti yang dicetuskan oleh Menteri Luar Negari RI pada Pernyataan Pers Tahunan 2016, bahwa Indonesia bertetangga, atau berbatasan laut, hanya dengan Malaysia dan Vietnam.

Soal bahwa fitur-fitur ini tidak berhak atas 200 mil zona maritim juga sudah pernah diungkapkan oleh Indonesia dalam nota protesnya terhadap 9DL Tiongkok.

Dengan klarifikasi ini, maka tidak ada keraguan lagi tentang siapa tetangga Indonesia yang sebenarnya berdasarkan UNCLOS.

Tafsir Tribunal terkait kriteria karang/pulau yang berhak atas ZEE/landas kontinen juga akan membantu banyak negara, termasuk Indonesia, dalam merundingkan batas-batas maritimnya.

Selama ini banyak negara tetangga yang memperlakukan semua karangnya berhak atas ZEE/landas kontinen, sehingga mempersulit perundingan dan bahkan membuatnya menjadi berlarut-larut.

Klarifikasi soal status karang itu menepis rekaan penulis Tiongkok, Xue Manyi, yang dalam ulasannya di Majalah berbahasa Tiongkok, Phoenix, pada tanggal 22 Maret 2016, yang mencoba membangun dalil bahwa Tiongkok berhak atas perairan Natuna jika ditarik dari Vanquard Bank/Beting Wan An (yang diklaim oleh Tiongkok namun dikuasai oleh Vietnam), karena jaraknya hanya sekitar 72 Nm dari Natuna.

Dalil itu menjadi absurd oleh putusan Tribunal, karena jangankan suatu beting (karang yang tertelan laut pada saat pasang), karang yang muncul di atas laut saja seperti Cuarteron hanya berhak 12 Nm.

Penafsiran Tribunal telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pasal-pasal UNCLOS yang ditafsirkannya. Oleh sebab itu tafsir ini berlaku untuk semua negara, sehingga juga mengikat antara Tiongkok dengan Indonesia.



Demikianlah Artikel MENGINGAT PUTUSAN TRIBUNAL ATAS LAUT CHINA SELATAN

Sekianlah artikel MENGINGAT PUTUSAN TRIBUNAL ATAS LAUT CHINA SELATAN kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel MENGINGAT PUTUSAN TRIBUNAL ATAS LAUT CHINA SELATAN dengan alamat link https://www.cyberlaw.my.id/2016/08/mengingat-putusan-tribunal-atas-laut.html