TRIBUNAL TENTANG LAUT TIONGKOK SELATAN

TRIBUNAL TENTANG LAUT TIONGKOK SELATAN - Hallo sahabat Cyberlaw Indonesia, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul TRIBUNAL TENTANG LAUT TIONGKOK SELATAN, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel international law, Artikel law of the sea, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : TRIBUNAL TENTANG LAUT TIONGKOK SELATAN
link : TRIBUNAL TENTANG LAUT TIONGKOK SELATAN

Baca juga


TRIBUNAL TENTANG LAUT TIONGKOK SELATAN

Kompas, 14 Desember 2015




Dr. iur. Damos Dumoli Agusman*

Description: image4
Tanggal 30 November 2015 Arbitral Tribunal UNCLOS tentang kasus Laut Tiongkok Selatan (LTS) baru saja usai menggelar public hearing di Den Haag untuk mendengarkan pokok perkara atas gugatan Filipina terhadap Tiongkok. Hearing ini digelar setelah pada tgl 29 Oktober 2015 Tribunal memutuskan bahwa pihaknya memiliki jurisdiksi untuk mengadili gugatan Filipina ini dan dengan demikian dapat melanjutkan eksaminasi materi perkara.

Gugatan Filipina dirumuskan secara ekstra hati-hati karena UNCLOS menetapkan banyak pembatasan tentang sengketa yang bisa digugat. Soal kedaulatan dan delimitasi batas maritim, misalnya, tidak bisa digugat jika negara tergugat telah melakukan deklarasi bahwa kedua soal ini dilarang untuk digugat ke mekanisme UNCLOS. Tiongkok adalah negara yang telah mendeklarasikan  ini pada saat meratifikasi UNCLOS tahun 1996. Karena banyaknya pembatasan jurisdiksi ini, Filipina akhirnya menggunakan celah lain yaitu menggugat soal interpretasi dan aplikasi UNCLOS dengan menekankan bahwa ada sengketa antara kedua negara soal tafsir dan penerapan UNCLOS. Untuk soal ini, Tribunal yang dibentuk berdasarkan mekanisme UNCLOS telah memutuskan bahwa pihaknya punya kewenangan.

Filipina mengajukan tiga pokok gugatan untuk diputuskan oleh Tribunal dan kesemuanya dalah soal tafsir atas UNCLOS. Pertama adalah soal keabsahan garis dotted lines pada Peta Tiongkok yang konon disebut-segut sebagai klaim historis. Kedua adalah soal status pulau/karang yang disengketakan, apakah berhak atas 200 mil zona maritim sesuai pasal 121 UNCLOS. Ketiga adalah bahwa aktivitas Tiongkok yang mereklamasi Mischief Reef  telah melanggar norma UNCLOS tentang perlindungan lingkungan laut. Dari ketiga gugatan ini maka tugas Tribunal adalah memberi tafsir atas pasal-pasal UNCLOS terhadap ketiga pokok gugatan ini. Artinya, Tribunal tidak diminta untuk menyelesaikan akar sengketa yakni siapa pemilikan pulau/karang yang diperebutkan.

Tiongkok sejak awal telah menolak kewenangan Tribunal ini dengan dalih bahwa gugatan Filipina adalah soal kedaulatan yang berada diluar kewenangan Tribunal. Sekalipun Tribunal telah memutuskan soal kewenangan ini, Tiongkok tetap bersikukuh menolak. Selanjutnya Tiongkok menyatakan tidak akan hadir dalam perkara dan tidak akan tunduk pada keputusan Tribunal. Namun UNCLOS telah mengantisipasi kemungkinan penolakan semacam ini sehingga UNCLOS menyediakan pasal yang menyatakan bahwa penolakan salah satu pihak tidak menghalangi proses perkara. Akhirnya persidangan ini terus berlangsung tanpa kehadiran Tiongkok. Dijadwalkan Tribunal akan mengambil keputusan final pada tahun 2016.

Keputusan Tribunal, jika mengabulkan gugatan Filipina, nantinya akan mengubah konstelasi konflik LTS. Pertama, keputusan ini akan memupus sinisme publik selama ini bahwa kekuasaan selalu melahirkan hak (might makes rights). Norma-norma UNCLOS semakin memperlihatkan kekuatan mengikatnya tanpa bisa dianulir oleh kekuasaan semata-mata. Sebaliknya, hak hukum justru akan melahirkan kekuatan (rights make might). Keadidayaan suatu negara tidak bisa mendikte apa itu norma dan apa yang tidak.

Kedua, sekalipun keputusan ini hanya mengikat para pihak yang berperkara namun tafsir yang dihasilkan oleh Tribunal akan bersifat berlaku umum (erga omnes). Artinya konstruksi hukum yang dikeluarkannya akan mengikat semua pihak termasuk ASEAN. Misalnya, Tribunal sudah menafsirkan bahwa dokumen ASEAN seperti Declaration of Code of Conducts (DoC) dan Treaty of Amity and Cooperation (TAC) tidak mengurangi hak negara-negara pihak untuk menempuh jalur hukum dalam menyelesaikan sengketanya. ASEAN dalam hal ini tidak bisa menafsirkan lain jika diperhadapkan pada persoalan terkait dalam kerangka ASEAN. Tiongkok misalnya tidak bisa lagi berargumen bahwa DoC mewajibkan para negara claimant untuk melakukan perundingan langsung dengan Tiongkok jika ingin menyelesaikan sengketanya.

Ketiga, keputusan ini akan menguak misteri yang selama ini membingungkan negara-negara kawasan LTS termasuk Indonesia,  yaitu soal makna 9 dotted lines pada peta Tiongkok yang merengkuh hampir 2/3 LTS. Ditengah membisunya Tiongkok soal makna garis ini, Tribunal diharapkan dapat mengklarifikasi keabsahan garis ini. Jika garis ini diputuskan bertentangan dengan UNCLOS maka gugurlah keberadaan garis ini dan peta konflik menjadi lebih jelas.  Artinya, garis ini tidak sah untuk dipakai sebagai alas klaim atas pulau/karang di LTS.  Tiongkok harus menggunakan dalil-dalil lain yang dikenal dalam hukum internasional. Bagi Indonesia keputusan ini akan mengkonfirmasi posisi Indonesia selama ini bahwa garis ini tidak­­ memiliki dasar hukum internasional.

Keputusan Tribunal tentang status pulau/karang yang disengketakan juga diharapkan dapat mengurangi keruwetan konflik LTS ini. Tribunal mungkin akan  memutuskan bahwa pulau/karang yang disengketakan itu hanya berstatus karang sehingga hanya berhak atas 12 mil laut teritorial, atau mungkin juga hanya berstatus elevasi surut, yang berarti tidak berhak atas zona maritim sama sekali. Jika ini keputusannya, maka peta klaim zona maritim di LTS harus diformat ulang. Yang pasti adalah pemilik gugusan Spratly tidak mungkin mengklaim perairan hingga menggapai perairan Natuna karena gugusan ini tidak berhak atas ZEE/landas kontinen. Dengan keputusan Tribunal ini maka semakin memperkuat posisi Indonesia selama ini yang meyakini bahwa tidak ada tumpang tindih klaim ZEE dengan siapa pun pemilik gugusan ini. Ini akan menepis spekulasi dikalangan pengamat yang selama ini meyakini bahwa terdapat persoalan klaim maritim antara Indonesia dengan Tiongkok.

****

 * Penulis adalah dosen dan pengamat hukum internasional


Demikianlah Artikel TRIBUNAL TENTANG LAUT TIONGKOK SELATAN

Sekianlah artikel TRIBUNAL TENTANG LAUT TIONGKOK SELATAN kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel TRIBUNAL TENTANG LAUT TIONGKOK SELATAN dengan alamat link https://www.cyberlaw.my.id/2015/12/tribunal-tentang-laut-tiongkok-selatan.html