Saling Klaim di Laut Tiongkok Selatan

Saling Klaim di Laut Tiongkok Selatan - Hallo sahabat Cyberlaw Indonesia, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Saling Klaim di Laut Tiongkok Selatan, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel international law, Artikel law of the sea, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Saling Klaim di Laut Tiongkok Selatan
link : Saling Klaim di Laut Tiongkok Selatan

Baca juga


Saling Klaim di Laut Tiongkok Selatan

Kompas, 29 November 2015

Judul
The South China Sea: the Struggle for Power in Asia
Penulis
Hayton, Bill 
Tempat Terbit
New Haven
Penerbit
Yale University Press
Tahun Terbit
2014
Kolasi
xviii, 298 p; 22 cm.
Penulis Resensi  Dr. iur. Damos Dumoli Agusman

            Perairan Laut Tiongkok Selatan (LTS) menjadi perhatian karena selain sebagai poros perdagangan dunia, eskalasi konflik sedang terjadi disini. Sayangnya, pemahaman publik tentang  LTS sangat rendah dan umumnya menelan mentah-mentah fakta keliru yang dianggap ‘kebenaran’ yang didengungkan berulang-ulang oleh banyak media. Inilah pesan utama yang hendak disampaikan oleh Buku ini. Misalnya, lanjut penulis, tidak benar bahwa disini banyak migas, tidak tepat pula mengatakan bahwa lokasi ini strategis karena hanya dengan satu hentakan misil seluruh isinya akan hancur.
            Sumber literatur Barat tentang LTS pada umumnya mengandalkan pada tulisan sejarawan Barat. Namun sayangnya, menurut penulis, sumber referensi mereka adalah dari publikasi Partai Komunis Tiongkok pasca invasi Tiongkok ke Paracel bulan Januari 1974, yang jelas sangat distortif dan tidak netral. Sumber distortif ini ternyata telah menjadi rujukan baku bagi banyak akademisi dan pengamat sampai saat ini. Buku ini ingin mengubah cara pandang yang selama ini keliru serta mengurangi distorsi yang selama ini mengitari persoalan LTS.
            Ditulis dengan bahasa jurnalis ala berita investigatif, buku ini menceritakan secara gamblang semua aspek tentang LTS berikut dengan fakta distorsinya serta, karena sentuhan investigatif-nya, banyak mengungkap info dibalik layar dari setiap headlines tentang konflik LTS. Karena gaya penulisan ini maka buku ini menjadi sangat enak dibaca walau kadang-kadang terlalu rinci dan terkesan bertele-tele. Namun buku ini berhasil menyajikan soal yang kompleks sehingga mudah dimengerti.
Buku ini diurai secara kronologis dalam 9 bab yang dimulai dengan cerita sejarah LTS sejak prasejarah sampai lahirnya konflik LTS; yang bermula dari Peta Tiongkok dengan 9 garis putusnya (dash lines), serta klimaksnya tahun 1995 saat  Tiongkok masuk ke Mischief Reef (Bab 1-3). Selanjutnya dibahas berbagai dimensi tentang LTS mulai dari aspek hukum (bab 4), sumber daya alam (bab 5), sentimen nasionalisme (bab 6), pergulatan diplomasi (bab 7), strategi militer (bab 8) dan diakhiri dengan wacana potensi kerjasama (bab 9). Sekalipun dicoba dipilah-pilah dalam 9 bab, penulis tidak dapat menghindari terjadinya pengulangan di berbagai bab tentang aspek yang sama.
Telah banyak literatur yang bercerita tentang LTS. Namun buku ini kelihatannya mencoba menambahkan suatu elemen yang terkesan baru yakni bahwa basis klaim yang digembor-gemborkan sebagai ‘historic’ itu ternyata sangat ‘modern’. Penulis ingin meyakinkan pembaca untuk tidak terkecoh dengan argumen para negara claimants bahwa secara historis mereka telah menguasai LTS (historic rights). Alasannya,  pertama, penulis berpendapat bahwa sistem kekuasaan pada waktu itu adalah ‘mandala’, yaitu bertumpu pada pusat kekuasaan dengan jaringannya penguasa-penguasa kecil. Dalam sistem ‘mandala’ tidak ada batas-batas negara (apalagi batas laut) seperti yang dikenal selama ini. Legitimasi mereka bukan berdasarkan kontrol teritorial melainkan atas pengakuan dari jejaringnya.  Perhatian kekuasaan pada jaman ini lebih ke darat dan bukan ke laut. Jaman dinasti Qing, LTS bukan teritori untuk dimiliki melainkan sekadar sumber pencarian (hal. 43). Kedua, status orang yang berada di laut pada waktu itu adalah ‘nomads’ (seperti suku bajo di Asia Tenggara) dan jauh dari pengaruh kedaulatan di darat serta mustahil berjubahkan suatu kewarganegaraan. Mereka bahkan sering dicap sebagai perompak dan bandit sehingga sangatlah ironis jika keberadaan mereka di laut tiba-tiba dijadikan dasar klaim kedaulatan dalam arti modern. Ketiga, ternyata claimants baru tertarik pada fitur-fitur LTS sejak PD II dan motifnya pun untuk memiliki perairan disekitarnya (hal. 111), karena menurut hukum internasional yang baru negara pemilik pulau berhak atas zona maritim selebar 200 mil.  
Pandangan ini sebenarnya sudah dikuak oleh Mahkamah Internasional. Dalam perkara Sipadan dan Ligitan Mahkamah menolak basis klaim Malaysia dan Indonesia model ‘mandala’ ini, yang konon masing-masing memperolehnya dari Kesultanan Sulu dan Kesultanan Bulungan. Bahkan hakim Oda menengarai bahwa Indonesia tertarik atas kedua pulau baru belakangan ini saja setelah tahu bahwa kedua pulau ini bisa memperluas landas kontinen-nya.
Kisah pengusaha Filipina, Tomas Cloma, konon sang penemu pulau di Spratly (sekarang ‘Kalayaan’) tahun 1947 disajikan dengan rinci. Tanpa restu pemerintahnya, Cloma mengklaim gugusan pulau ini dan sempat menyeret Pemerintah Filipina ke pusaran konflik internasional. Dia bahkan berhasil tiba di markas PBB untuk menyampaikan petisi tentang kepemilikan Filipina atas gugusan pulau ini, dan tentu saja membuat pemerintahnya berang. Namun 25 tahun kemudian, Presiden Marcos justru menguasai gugusan ini dan salah satu dasar klaimnya adalah aktivitas Cloma di gugusan ini. Penulis mengolah pesan dari cerita ini menjadi salah satu contoh bahwa klaim atas LTS tidak ada yang meyakinkan.
Buku ini juga mengulas tentang Indonesia, tidak hanya tentang kontribusi Hasjim Djalal dalam pengelolaan konflik namun juga soal posisi Indonesia di pusaran konflik. Menurut penulis konflik ini melibatkan 6 bukan 5 negara,  karena Indonesia juga terlibat sekalipun berpura-pura tidak terlibat (hal. xvii). Menyamakan status Indonesia dengan 5 negara claimant agak berlebihan karena status Indonsia sangat berbeda. Ke 5 negara claimant mengklaim fitur-fitur maritim (pulau/karang) di LTS, sedangkan Indonesia tidak. Tiongkok juga tidak mengklaim pulau Natuna.

Walau tidak merincinya, alasan Penulis mungkin karena salah satu dash line Tiongkok memasuki perairan Natuna dan terciptalah tumpang-tindih. Jika ini alasan untuk menjadikan Indonesia sebagai claimant, tentu kurang tepat. Pertama, garis tumpang-tindih semacam itu ada di setiap segmen batas Indonesia dengan semua negara tetangga, serta tidak pernah mengistilahkannya dengan ‘negara claimant’.  Istilah ‘negara claimant’ pada umumnya hanya untuk tumpang-tindih atas pulau/daratan seperti yang diperebutkan oleh ke 5 negara di LTS  atau dulu oleh Indonesia terhadap Sipadan dan Ligitan. Kedua, dash line itu tidak jelas maknanya dan sudah diprotes oleh Indonesia.  Garis ini membingungkan dunia termasuk pakar Tiongkok sendiri. Jika garis ini sendiri ‘absurd’ maka menjadi ‘absurd’ pula jika garis ini bisa mendongkrak status Indonesia menjadi negara claimant setara negara 5 negara lainnya. Tentu persoalan jadi lain jika Tiongkok ternyata meng-enforce garis ini dengan,  misalnya,  menangkap nelayan Indonesia di sana. Tapi dalam situasi ini pun istilah claimant tidak lazim digunakan.****


Demikianlah Artikel Saling Klaim di Laut Tiongkok Selatan

Sekianlah artikel Saling Klaim di Laut Tiongkok Selatan kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Saling Klaim di Laut Tiongkok Selatan dengan alamat link https://www.cyberlaw.my.id/2015/12/saling-klaim-di-laut-tiongkok-selatan.html