Kapal Perang AS Memasuki LTS: Mengusi UNCLOS?

Kapal Perang AS Memasuki LTS: Mengusi UNCLOS? - Hallo sahabat Cyberlaw Indonesia, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Kapal Perang AS Memasuki LTS: Mengusi UNCLOS?, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel international law, Artikel law of the sea, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Kapal Perang AS Memasuki LTS: Mengusi UNCLOS?
link : Kapal Perang AS Memasuki LTS: Mengusi UNCLOS?

Baca juga


Kapal Perang AS Memasuki LTS: Mengusi UNCLOS?

Hukumonline, Rabu, 28 Oktober 2015
Rencana Kapal Perang AS Memasuki Laut Tiongkok Selatan: Menguji Pasal-Pasal UNCLOS? Oleh: Dr. iur. Damos Dumoli Agusman *)
Secara hukum, sekalipun tanpa notifikasi/izin, masuknya kapal perang AS ke laut teritorial tidak melanggar UNCLOS sepanjang lintas kapal itu dilakukan dalam rangka “passage”, yaitu secara normal melakukan lintas di laut teritorial.
RED
Dibaca: 0 Tanggapan0
Rencana Kapal Perang AS Memasuki Laut Tiongkok Selatan: Menguji Pasal-Pasal UNCLOS? Oleh: Dr. iur. Damos Dumoli Agusman *)
Foto: Koleksi Penulis
Amerika Serikat (AS) dikabarkan akan mengirimkan Kapal Perang ke Laut Tiongkok Selatan (LTS) dengan maksud ingin memastikan bahwa kegiatan reklamasi di Tiongkok tidak menggerogoti “freedom of navigation” yang diakui oleh hukum internasional yang menjadi kepentingannya di LTS. Tindakan AS ini kelihatanya semacam ‘uji norma’ apakah hak lintas damai di laut teritorial dihormati oleh Tiongkok. Uji norma ini dilakukan dengan cara ‘dengan sengaja memasuki laut teritorial dari gugusan Spratly di dalam 12 mil’ dan melihat reaksi Tiongkok. Menurut AS, hukum internasional termasuk UNCLOS merestui lintas damai ini. Reaksi Tiongkok nantinya akan menentukan apakah hukum internasional dihormati atau tidak.
Rencana pengiriman kapal ini tentu saja melahirkan kontroversi dan sinyal negatif di kawasan. Terlepas dari kontroversi apakah ‘uji norma’ ini sendiri diperkenankan oleh hukum internasional, namun sinyal yang terekspose sangat mengkuatirkan. Rencana AS ini telah dimaknai secara liar dengan penggunaan istilah yang  provokatif, seperti “Patroli” ketimbang istilah “passage”. Akibatnya, publik di kawasan LTS khususnya masyarakat Tiongkok dengan cepat memaknai rencana AS ini sebagai ‘ajakan perang’ ketimbang persoalan norma itu sendiri.
Bagi para pakar hukum, persoalan yang lebih menarik tentang  ‘hajatan’ AS ini adalah soal perbedaan tafsir antara AS dan Tiongkok terhadap beberapa norma hukum laut, khususnya UNCLOS.
Pertama, soal hak lintas, baik hak lintas bebas (di laut bebas dan ZEE) maupun hak lintas damai (di laut teritorial). Menurut Tiongkok, UNCLOS tidak tegas mengatur tentang kapal laut militer, baik dalam melakukan  aktivitas di ZEE  maupun pada saat melakukan hak lintas damai di laut teritorial. Kedua negara berbeda pendapat soal perlu tidaknya suatu notifikasi/izin bagi kapal perang yang akan beraktivitas di ZEE atau yang akan melakukan hak lintas damai di laut teritorial suatu negara pantai. Tiongkok bersikeras bahwa notifikasi/izin itu mutlak, sedangkan AS menolak syarat ini karena bertentangan dengan hukum laut khususnya UNCLOS.
Rencana AS adalah menguji apakah Tiongkok menghormati hak lintas damai dan untuk itu Kapal AS akan memasuki laut teritorial dari gugusan pulau Spratly yang diklaim oleh Tiongkok. Oleh Tiongkok rencana AS ini dinilai pelangaran terhadap kedaulatan wilayahnya. Tiongkok menuduh AS berlindung dibalik kebebasan berlintas untuk melanggar kedaulatan Tiongkok. Menikmati kebebasan berlintas ini harus tetap menghormati hukum negara pantai.
Pasal 17 UNCLOS menjamin hak lintas damai untuk semua kapal di laut teritorial negara pantai. Semua kapal berarti semua kapal berbendera asing, baik dari negara pihak maupun bukan pihak terhadap UNCLOS. Argumen Tiongkok yang selalu menekankan bahwa AS bukan negara pihak pada UNCLOS tidak terlalu relevan untuk menghalangi AS menikmati hak lintas ini. Selanjutnya pasal 19 UNCLOS menegaskan bahwa hak lintas disebut damai jika tidak mengancam perdamaian, ketertiban dan keamanan negara pantai. Beberapa aktivitas kapal dianggap tidak berlintas damai, seperti penggunaan ancaman terhadap kedaulatan wilayah, menggunakan senjata, kegiatan intelijen, propaganda dan lain-lain.
UNCLOS tidak mensyaratkan bahwa untuk berlintas damai ini harus memberikan notifikasi atau mendapat izin terlebih dahulu. Hak lintas damai pada hakekatnya kebebasan berlayar termasuk bebas dari kewajiban melakukan notifikasi atau permintaan izin sepanjang lintasnya beritikad damai.  
Namun, Tiongkok berargumen lebih lanjut bahwa sekalipun bermaksud damai, UNCLOS tetap mewajibkan kapal perang untuk menghormati hukum negara pantai. Pasal 21 UNCLOS memang mensyaratkan kewajiban menghormati hukum nasional ini. Namun pasal yang sama mengindikasikan bahwa yang dapat diatur oleh hukum nasional terbatas pada soal-soal yang ditetapkan oleh UNCLOS, yaitu yang terkait dengan keselamatan pelayaran; perlindungan terhadap rambu-rambu pelayaran, pipa dan kabel laut, sumber hayati laut; penegakan UU perikanan, polusi, riset laut, polusi serta masalah bea cukai dan imigrasi. Dalam hal ini, jika kapal AS memasuki laut teritorial di gugusan Spratly, Tiongkok harus menetapkan secara jelas ketentuan nasional yang mana yang kira-kira dapat dikenakan untuk menghalangi kapal tsb menikmati hak lintas damainya.
Secara hukum, sekalipun tanpa notifikasi/izin, masuknya kapal perang AS ke laut teritorial tidak melanggar UNCLOS sepanjang lintas kapal itu dilakukan dalam rangka “passage”, yaitu secara normal melakukan lintas di laut teritorial. Pasal 18 UNCLOS mendefinisikan ‘passage’ sebagai lintas kapal yang memasuki laut teritorial untuk tujuan melewati dengan atau tanpa memasuki perairan pedalaman/pelabuhan. Namun tampaknya lintas yang hendak dirancang oleh AS ini secara sengaja dimaksudkan untuk “menguji” apakah Tiongkok mentaati hak lintas damai.
Sekalipun sulit dilarang secara hukum namun lintas ini tidak mengandung “good faith” dan sulit diterima sebagai “passage” seperti yang dimaksud oleh UNCLOS. Lintas semacam ini lebih bermakna “test and correction measures”, dan akibatnya berpotensi untuk disebut sebagai bukan “innocent passage”. Argumen hukum ini tampaknya lebih dapat diterima oleh pakar hukum ketimbang argumen yang mengedepankan syarat notifikasi/izin atau penghormatan terhadap hukum nasional.
Kedua, rencana penerobosan kapal AS ke dalam 12 mil juga dimaksudkan untuk menegaskan penolakan AS bahwa elevasi (daratan yang muncul pada saat surut)  yang direklamasi oleh Tiongkok tidak berhak atas zona laut teritorial 12 mil. Menghormati zona 12 mil sebagai laut teritorial dikuatirkan akan dianggap sebagai pengakuan AS bahwa elevasi ini (Mischief Reef) berhak atas 12 mil laut teritorial. AS tampaknya akan mengklaim hak lintas bebas di dalam 12 mil dari Mischief Reef  inikarena beranggapan bahwa perairan ini adalah laut bebas.
Pertanyaan tentang apakah Mischief Reef adalah elevasi surut, dan apakah berhak atas zona 12 mil laut,  telah menjadi kontroversi para pakar dan merupakan salah satu butir yang akan dijawab oleh Arbitral Tribunal UNCLOS yang menangani gugatan Filipina tentang LTS. Pasal 121 UNCLOS hanya menyebutkan bahwa batu karang berhak atas 12 mil laut teritorial namun tidak berhak atas 200 mil ZEE dan landas kontinen, kecuali karang tersebut dapat didiami oleh manusia dan mendukung kehidupan ekonomi.
Banyak kalangan menilai bahwa upaya Tiongkok mereklamasi gugusan ini justru hendak megubah statusnya dari elevasi menjadi berstatus pulau dengan harapan gugusan ini akhirnya berhak atas zona 12 mil laut teritorial dan 200 mil ZEE/landas kontinen. Tiongkok sendiri agak membisu soal pertanyaan ini. Tidak ada penjelasan resmi apakah Tiongkok memperlakukan perarian 12 mil dariMischief Reef sebagai laut teritorial.  
Tiongkok kelihatannya membiarkan status perairan di sekitar gugusan Spratly sebagai misteri seiring dengan misterinya klaim Tiongkok berdasarkan 9 dash line-nya. Namun Tiongkok menyebut rencana kapal AS yang akan memasuki wilayah 12 mil gugusan ini sebagai pelanggaran kedaulatan wilayah sehingga dapat diindikasikan bahwa Tiongkok mengklaim sebagai laut teritorial.
Terlepas dari eskalasi konflik yang akan dilahirkanya, pertanyaan selanjutkan adalah apakah rencana AS untuk ‘menguji’ pasal-pasal UNCLOS ini di LTS akan memperjelas atau justru semakin menimbulkan ketidakpastian. Para pakar hukum internasional pasti sedang mencermatinya.  Namun yang jelas, perbedaan tafsir atas hukum laut ini berpotensi melahirkan konflik terbuka di LTS.


Demikianlah Artikel Kapal Perang AS Memasuki LTS: Mengusi UNCLOS?

Sekianlah artikel Kapal Perang AS Memasuki LTS: Mengusi UNCLOS? kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Kapal Perang AS Memasuki LTS: Mengusi UNCLOS? dengan alamat link https://www.cyberlaw.my.id/2015/11/kapal-perang-as-memasuki-lts-mengusi.html