FIR: Menyiapkan diri tanpa meributkan kedaulatan

FIR: Menyiapkan diri tanpa meributkan kedaulatan - Hallo sahabat Cyberlaw Indonesia, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul FIR: Menyiapkan diri tanpa meributkan kedaulatan, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel international law, Artikel law of the sea, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : FIR: Menyiapkan diri tanpa meributkan kedaulatan
link : FIR: Menyiapkan diri tanpa meributkan kedaulatan

Baca juga


FIR: Menyiapkan diri tanpa meributkan kedaulatan

 | 3.797 Views   ANTARANEWS
 ... Indonesia tidak bisa memaknai bahwa kontrol oleh Singapura di perairan Riau dan Natuna adalah penggerogotan terhadap kedaulatan Indonesia." 

Presiden Jokowi dalam Rapat Kabinet tanggal 8 Sepember 2015 telah menginstruksikan Menhub Ignasius Jonan untuk mempersiapkan infrastruktur dan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mengambil alih pengaturan penerbangan atau "flight information region" (FIR) di ruang udara Indonesia dalam waktu tiga-empat tahun kedepan.

Target ini lebih cepat dari tenggat waktu yang diamanatkan oleh UU Penerbangan yaitu paling lambat tahun 2024.

Instruksi Presiden yang menekankan kesiapan teknis Indonesia merupakan reaksi yang tepat dan sangat rasional terhadap persoalan FIR, yang selama ini selalu didominasi oleh retorika kedaulatan.

Presiden telah memberi pesan ke internasional bahwa ini soal kesiapan teknis sehingga beberapa media luar negeri juga memaknai sebagai persoalan teknis sehingga jauh dari persoalan kedaulatan.

Channel News Asia misalnya memberi judul "When were ready, well take over airspace above Riau Islands". Respon Menlu Singapura Shanmugam terhadap rencana ini juga tidak heboh sekalipun dia menyadari bahwa pengambilalihan ini akan berimplikasi pada status Singapura sebagai hub udara.

Dalam beberapa dasawarsa soal FIR selalu menjadi pergunjingan. Konotasinya juga tidak tanggung-tanggung dan cenderung mengekposnya sebagai soal penggerogotan kedaulatan, yaitu "kedaulatan udara RI telah dicaplok asing".

Kesan dicaplok lahir semata-mata karena fakta bahwa pesawat Indonesia kalau melintasi wilayah udara di perairan kepulauan Riau dan Natuna harus meminta izin dari "Air Traffic Control" (ATC) Singapura.

Meminta izin ke negara asing untuk lalu lalang di tanah sendiri kesannya tidak lazim dan pasti memantik rasa sentimen nasionalisme. Akibatnya, muncul reaksi yang amat retorik seperti mari "kita rebut kembali kedaulatan udara RI".

Dari kasat mata memang mekanisme ini kelihatan tidak lazim. Namun soal FIR tidak mungkin dipahami dari kasat mata karena sifatnya yang teknis. FIR adalah soal manajemen lalu lintas udara yang harus diatur dengan tujuan demi keselamatan lalu lintas udara. Dari pengertian ini saja, FIR pada hakekatnya tidak mengenal kedaulatan.

Sayangnya, persoalan teknis ini selalu diteropong dari kacamata kedaulatan sehingga lahirlah distorsi publik yang mengesankan bahwa kedaulatan Indonesia sedang terusik.

Akar masalahnya adalah adanya pembenturan antara FIR dengan kedaulatan. Keduanya menjadi dikotomi karena beberapa distorsi yang melatari pemahaman publik soal FIR dan soal kedaulatan itu sendiri.

Pertama, terdapat anggapan bahwa kontrol udara harus dilakukan oleh negara pemilik wilayah udara karena alasan klasik yaitu kedaulatan. Anggapan semacam ini tidak selalu benar dari kacamata keselamatan penerbangan.

Organisasi Penerbangan Sipil (ICAO) dengan persetujuan negara anggota telah mengkapling-kapling wilayah udara di seluruh dunia menjadi wilayah-wilayah FIR berikut menetapkan negara-negara yang mengatur lalu lintasnya.

Wilayah-wilayah FIR ini tidak selalu identik dengan wilayah negara karena kapling yang diserahkan ke suatu negara bisa juga mencakup udara internasional dan bahkan wilayah udara negara asing. Semua pembagian tugas ini diatur dan ditetapkan oleh ICAO berdasarkan pertimbangan teknis keselamatan penerbangan semata.

Di atas negara lainRegulasi ICAO sendiri sudah tegas mengatakan bahwa kontrol suatu negara terhadap lalu lintas udara di atas negara lain tidak berarti negara tersebut berdaulat di udara negara tersebut. Indonesia tidak bisa memberi makna lain.

Memang kapling FIR bertolak dari wilayah kedaulatan, namun bukan berarti bahwa negara pemilik harus menjadi pengontrol udara di atasnya. Benar bahwa setiap negara berhak mengatur wilayah udaranya namun bukan pula berarti bahwa jika negara lain yang mengaturnya maka dengan serta merta kedaulatannya hilang.

Demikianlah ICAO mengaturnya, misalnya, FIR Makasar mengontrol lalu lintas udara Timor Leste dan FIR Jakarta mengatur Christmas Island (Australia), namun kedua negara ini tidak pernah mengeluhkan bahwa kedaulatannya tergerus oleh Indonesia.

Royal Brunei pada saat melintasi negaranya harus minta izin ke Malaysia, namun tidak menjadikan Brunei Darussalam sebagai negara yang ter-zolimi kedaulatannya. Masih banyak puluhan contoh lainnya.

Singapura "kontrol" Riau?FIR Singapura telah mengontrol wilayah udara di kepulauan Riau dan Natuna sejak tahun 1946 dan pada waktu itu tidak membutuhkan izin Indonesia karena sebagian wilayah ini pada waktu itu adalah laut bebas.

Laut ini diklaim menjadi wilayah Indonesia sejak Deklarasi Djuanda 1957 dan baru direstui setelah Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.

Tahun 1998 Indonesia memperlebar wilayah kedaulatannya di Perairan Natuna dengan menggeser garis-garis pangkal lurus ke arah Utara sehingga sebagian perairan yang semula laut bebas berubah menjadi perairan kepulauan Indonesia.

Namun sebelum UNCLOS 1982, Indonesia telah mendelegasikan hak pengaturan udara kepada Singapura pada tahun 1973 yang kemudian disahkan oleh ICAO.

Sejarah ini justru membuktikan bahwa Indonesia berdaulat terhadap wilayah udaranya jauh sebelum UNCLOS 1982 merestuinya.

Kedua, konsepsi kedaulatan selalu dipahami oleh publik sebagai kekuasaan tertinggi yang absolut. Ini berarti haram adanya kekuasaan lain yang membatasinya.

Tokoh legendaris hukum internasional, Mochtar Kusumaatmadja, telah mengingatkan banyaknya kalangan yang keliru memahami konsepsi kedaulatan ini.

Kata beliau: "Sebagai bagian dari masyarakat Internasional, maka kedaulatan dibatasi oleh hukum internasional". Indonesia adalah anggota ICAO yang sarat dengan regulasi dan standar internasional yang mengikat termasuk pengaturan tentang kavling FIR.

Dengan dalih kedaulatan, Indonesia tidak bisa memaknai bahwa kontrol oleh Singapura di perairan Riau dan Natuna adalah penggerogotan terhadap kedaulatan Indonesia.

Timor Leste dan Australia sendiri yang dikontrol oleh FIR Indonesia tidak pernah memaknai bahwa Indonesia telah mencaplok kedaulatan mereka karena kedaulatan ini dibatasi oleh hukum internasional (ICAO).

Ketiga, persoalan kedaulatan justru sudah terselesaikan dengan mekanisme pendelegasian melalui perjanjian internasional (treaty). Artinya, Indonesia tidak secara tiba-tiba dan secara sepihak mengontrol udara Timor Leste dan Australia, karena harus ada dasar hukumnya yaitu "treaty".

Tidak berhenti disini, "treaty" ini pun harus diverifikasi dan disahkan oleh ICAO. Dengan adanya treaty ini maka Timor Leste dan Australia telah sah memberi ijin kepada Indonesia melakukan kontrol udara ini.

Makna hukum suatu treaty terhadap kedaulatan sangat jelas. Negara berdaulat untuk menentukan apakah akan terikat atau tidak terhadap suatu treaty, namun jika negara telah memutuskan untuk terikat, maka treaty itu akan membatasi kedaulatannya (PCIJ Wimbeldon Case 1923). Dengan alasan ini maka soal kedaulatan sudah tuntas dan tidak relevan lagi.

Keempat, diserahkannya pengaturan udara kepada suatu negara adalah murni soal kesiapan teknis dan bukan soal kedaulatan.

Pertanyaan bukanlah soal apakah Indonesia berdaulat atas perairan Riau dan Natuna melainkan soal apakah Indonesia siap secara teknis mengatur lalu lalang pesawat udara yang padat di atasnya.

Mengambil alih pengaturan ruang udara atas nama kedaulatan tanpa bertanggung jawab terhadap keselamatan penerbangan di atasnya justru akan melanggar kedaulatan itu sendiri. Dengan demikian pengambilalihan ini bukan soal diplomasi melainkan soal kesiapan teknis Indonesia.

Instruksi Presiden sudah tepat sekali. Indonesia sebaiknya konsentrasi atas persiapan teknis ini tanpa harus ribut-ribut soal kedaulatan. Targetnya adalah tiga-empat tahun kedepan.

Ini bukan waktu yang singkat dan bukan pula asal siap karena ICAO akan mengaudit terlebih dahulu kesiapan teknis ini sebelum perundingan pengalihan ini dimulai. Audit ini perlu karena sekali lagi ini bukan soal kedaulatan melainkan soal kelayakan teknis dan keselamatan penerbangan.

*) Damos Agusman, pemerhati dan pengajar hukum internasional, lulusan S3 Goethe University of Frankfurt.


Demikianlah Artikel FIR: Menyiapkan diri tanpa meributkan kedaulatan

Sekianlah artikel FIR: Menyiapkan diri tanpa meributkan kedaulatan kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel FIR: Menyiapkan diri tanpa meributkan kedaulatan dengan alamat link https://www.cyberlaw.my.id/2015/09/fir-menyiapkan-diri-tanpa-meributkan.html