Murka Diplomatik atas Hukuman Mati: Lain Australia Lain Pula Brazil

Murka Diplomatik atas Hukuman Mati: Lain Australia Lain Pula Brazil - Hallo sahabat Cyberlaw Indonesia, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Murka Diplomatik atas Hukuman Mati: Lain Australia Lain Pula Brazil, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Diplomatic law, Artikel international law, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Murka Diplomatik atas Hukuman Mati: Lain Australia Lain Pula Brazil
link : Murka Diplomatik atas Hukuman Mati: Lain Australia Lain Pula Brazil

Baca juga


Murka Diplomatik atas Hukuman Mati: Lain Australia Lain Pula Brazil


Lain Australia lain pula Brazil, demikian pepatah yang pas untuk menceritakan reaksi kedua negara ini terhadap hukuman mati warganya. Bila Australia tanpa sengaja cenderung mempermalukan dirinya, maka Brazil mencoba mempermalukan Dubes RI. Namun kedua reaksi ini sama-sam kontra produktif, karena bukanya Indonesia menjadi ragu, malah membuat Presiden semakin tegas, dan mendorong publik Indonesia semakin retorik. Jika tujuan kedua negara ini adalah murni dalam rangka perlindungan warga negaranya, maka hasil akhir justru membebani warganya sendiri.
Kedua negara sama-sama berjuang dengan menggunakan instrumen perlindungan diplomatik (diplomatic protection). Artinya, Kedua negara bertindak atas nama warganya berhadapan dengan Indonesia di jalur diplomatik. Keduanya mempersoalkan kebijakan hukuman mati untuk warganya. Ingat, hanya untuk warganya, bukan untuk warga lainnya. Maknanya adalah, kedua negara mencoba melindungi warganya dan bukan mempersoalkan bahwa hukuman mati itu melanggar hukum internasional, dan bukan menggugat peradilan Indonesia. Praktik ini lazim dan sah sah saja menurut hukum internasional.
Namun ada yang beda antara kedua negara ini. Australia menggunakan semua cara dan mekanisme yang tersedia dalam hukum diplomatik, tapi Brazil justru melanggar hukum diplomatik itu sendiri. Menlu RI tegas menilai bahwa tindakan Brazil telah melanggar Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik.
Kedua negara memang marah. Namun dapatkah kemarahannya dituangkan dalam bentuk pelanggaran hukum internasional? Australia masih mendingan, karena kemarahannya diwujudkan dengan koaran kata-kata saja. Membisingkan memang, tapi so far belum ada norma hukum yang dilanggar. Ibarat orang yang emosi, Australia tidak dan belum menyentuh “fisik” Indonesia. Karenyanya, tidak ada alasan Indonesia melakukan pembalasan “fisik”. Dan juga, belum ada tindakannya yang bisa menghalangi Indonesia untuk melaksanakan kedaulatannya.
Reaksi Brazil agak anomali. Dari sisi hukum diplomatik sangat serius. Mari kita runut kronologinya: Duta Besar RI dijadwalkan dan diundang oleh oleh protokol negara untuk penyerahan kredensial kepada Presiden. Ini adalah upacara akbar diplomatik yang persiapannya pasti lama dan matang. Akbar karena di upacara inilah terjadi simbolisasi bagaimana dua negara bersahabat “bersalaman dan berpelukan”. Setibanya di istana dan menjelang prosesi dimulai tiba-tiba Presiden Rousseff “tiba-tiba” menolaknya. Alasannya, menunggu hubungan kedua negara lebih baik.
Bagaimana mungkin acara akbar yang seperti mantenan ini bisa tiba-tiba dibatalkan dengan dalih nunggu hubungan negara lebih baik? Tidak ada hukum diplomatik yang melarang Presiden menolak kredensial Duta Besar, sekalipun alasannya karena tidak suka sama Duta Besar. Tapi menolak Duta Besar RI setelah diundang resmi itu ibarat kita diundang ke pesta namun begitu masuk pintu kita tiba-tiba diusir. Bukan penolakannya yang jadi masalah, melainkan niat jeleknya (bad faith). Acara se sakral ini tidak mungkin tidak ada persiapan matang. Pasti semua hal sudah diantisipasi jauh-jauh hari. Kemarahan Brazil bukan mulai saat pesta, tapi sudah jauh sebelumnya. Artinya, sulit menyangkal bahwa Brazil dengan sengaja, dan dengan perencanaan yang matang ingin mempermalukan Duta Besar RI.
Mari kita tilik Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik. Indonesia dan Brazil terikat pada Konvensi ini. Pasal 29 Konvensi yang dirujuk oleh Menlu RI menyatakan bahwa setiap negara penerima (dalam hal ini Brazil) harus memperlakukan setiap Duta Besar secara terhormat dan mencegah adanya serangan terhadap kehormatannya. Maksud pasal ini adalah, negara harus memastikan bahwa tidak ada pihak lain dibawah jurisdiksi Brazil, misalnya individu, LSM, demonstran, pelaku tindak pidana, yang menyerang kehormatan Duta Besar. Ironisnya, dan ini yang jadi anomali, penyerang kehormatan Duta Besar ini justru dilakukan oleh negara bukan individu. Bukannya malah melindungi tetapi justru jadi pelaku. Pagar makan tanaman kata penyanyi Dangdut Mansyur. Membiarkan pihak lain mencemarkan Duta Besar saja sudah pelanggaran oleh negara itu, apalagi jika pelakunya justru negara.
Mengapa Duta Besar harus dijaga dignitinya? Sederhana saja. Duta Besar adalah institusi dan simbol negara. Wajah negara melekat pada sosok Duta Besar. Sejak dulu, Duta Besar itu sosok yang sakral di mata hukum setempat, makanya dia diberi kekebalan dan keistimewaan. Duta Besar membunuh sekali pun, tidak dapat diproses hukum di negara itu. Karena Duta Besar identik dengan negara. Makanya lahir norma hukum diplomatik supaya jangan ada yang coba-coba menyerang kehormatan Duta Besar. Konon, banyak negara yang semakin mendessak agar pasa 29 Konvensi ini diperluas lingkupnya. Jadi, mencoret-coret foto Duta Besar pun sudah dianggap pencemaran terhadap kehormatannya. Ironisnya lagi, Brazil justru sedang merusak tatanan norma ini.
Namun demikian pelanggaran hukum internasional ole Brazil ini bisa saja menjadi halal jika perbuatan ini dimaksudkan sebagai tindakan balasan terhadap pelanggaran hukum oleh Indonesia. Ini disebut dengan counter-measure/reprisal.Disini uniknya hukum internasional. Karena tidak ada polisi dunia maka tidak ada tempat mengadu, akhirnya negara harus menjaga dirinya sendiri (self help).
Tapi apakah Indonensia dengan mengeksekusi WN Brazil adalah pelanggaran hukum internasional? Mari kita bedah kasus ini. Pertama, penerapan hukuman mati itu sendiri ternyata masih direstui oleh ICCPR. Menurut Konvensi ini negara pihak tidak diwajibkan menghapus secara total hukuman mati melainkan diwajibkan untuk membatasi penerapan hukum mati khususnya menghapus hukuman mati untuk perbuatan yang bukan “most serious crime” (Para 6 HRC General Comments of Art. 6: that States parties are not obliged to abolish the death penalty totally they are obliged to limit its use and, in particular, to abolish it for other than the “most serious crimes”). Indonesia sedang darurat Narkoba dan tidak ada yang membantah bahwa kelangsungan generasi sedang terancam,
Kedua, ICCPR melarang eksekusi hukuman mati yang bersifat extra judical, yaitu tanpa proses peradilan. Sedangkan kasus ini, terpidana mati telah menjalani semua rangkaian proses hukum dari tingkat awal sampai tingkat final dan mengikat. Semua proses ini dilakukan di depan pengadilan. Bahkan diberi kesempatan minta Grasi. Artinya, semua rangkaian upaya hukum sudah diberikan termasuk akses seluas-luasnya bagi Kedutaan Besarnya terhadap perkara warganya.
Jadi tidak ada sehelai norma pun yang dilanggar oleh Indonesia. Karenanya perbuatan, perbuatan Brazil yang melanggar Konvensi Wina menjadi tidak sah. Dalam hukum internasional, justru Indonesia diberi hak untuk melakukan counter-measur terhadap Brazil atas pelanggaran ini. Bentuknya banyak, termasuk pembatalan transaksi dagang, embargo, resiprositas , serta tindakan balasan lain. Dan ini tidak melanggar hukum internasional.
Reaksi Indonesia ternyata sangat tegas. Dalam hitungan jam sejak kejadian perkara, Menlu RI langsung menarik Dubes RI ke Jakarta. Pada malam itu juga, Kemlu memanggil Duta Besar Brazil di Jakarta dan menyampaikan protes keras atas perlakuan Presiden Brazil. Ini bukan tindakan diplomatik biasa. Dulu Brazil dan Belanda juga menarik Dubesnya, namun tidak disertai dengan ‘kemarahan diplomatik, dan selang beberapa lama dikembalikan lagi ke Jakarta. Kemurkaan diplomatik dalam hal ini sudah sangat tinggi dan pasti diluar perhituntan Brazil. Terus apa hasil akhir dari permainan diplomatik Brazil ini? Hasilnya ternyata semakin mengeraskan Indonesia untuk lanjut dengan eksekusi berikutnya, dan salah satunya adalah Warga Brazil.
*****


Demikianlah Artikel Murka Diplomatik atas Hukuman Mati: Lain Australia Lain Pula Brazil

Sekianlah artikel Murka Diplomatik atas Hukuman Mati: Lain Australia Lain Pula Brazil kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Murka Diplomatik atas Hukuman Mati: Lain Australia Lain Pula Brazil dengan alamat link https://www.cyberlaw.my.id/2015/02/murka-diplomatik-atas-hukuman-mati-lain.html