INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL

INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL - Hallo sahabat Cyberlaw Indonesia, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel law of treaties, Artikel treaties and domestic law, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL
link : INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL

Baca juga


INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL

Dinamika Posisi Indonesia terhadap Hukum Internasional

Dimuat di OPINI JURIS KEMLU RI, Vol. 15, Januari-April 2014

Damos Dumoli Agusman
A  Pendahuluan       
Pakar hukum Belanda, Lambertus Erades, pernah mengekpresikan kegelisahannya bahwa “the relation between international law and municipal law is a subject with which many generations of lawyers have wrestled, are wrestling and will continue to wrestle”.[1]  Para pakar hukum telah lama berdebat soal bagaimana hubungan kedua bidang hukum ini yang akhirnya melahirkan teori legendaris yang disebut dengan monisme dan dualisme dan berlanjut dengan derivatif-nya yaitu teori adopsi dan transformasi. Studi tentang hubungan kedua hukum ini sudah banyak, tidak hanya soal interaksi antara kedua hukum ini namun juga menguak konflik diantara keduanya. Namun sayangnya, studi ini masih terbatas pada negara-negara modern[2] dan belum banyak mengkaji sistem-sistem hukum di negara-negara berkembang. Belum banyak terkuak bagaimana hubungan hukum internasional dan hukum nasional di negara-negara baru yang lahir setelah PD II dan yang melepaskan diri tradisi hukum kolonial-nya  seperti Indonesia.[3]
Negara-negara bekas koloni, yang mewariskan sistem hukum negara penjajahnya, lebih gampang menjelaskan hubungan kedua hukum ini karena negara-negara ini cenderung mewarisi sistem hukum yang dianut oleh negara penjajahnya yang telah menyediakan doktrin untuk persoalan ini.[4] Bekas jajahan Inggris akan serta merta mewarisi sistem common law yang telah menyediakan doktrin untuk persoalan hubungan hukum internasional dan hukum nasional yang cenderung menganut dualisme, namun untuk Indonesia persoalan ini tampaknya belum jelas.[5]
Indonesia adalah negara baru yang memperoleh kemerdekaannya dan pejajahan Belanda dengan perjuangan pahit. Akibatnya, Indonesia cenderung anti penjajah dan menjadi tidak antusias mengadopsi tradisi hukum Belanda sehingga cenderung membangun sistem hukumnya sendiri.[6]Bagi Indonesia, secara historis hukum internasional adalah pro establishement yang memberi legitimasi bagi negara penjajah untuk terus menjajah negara jajahannya. Hukum internasional pada waktu itu menjadi sangat tidak bersahabat bagi Indonesia. Itulah sebabnya, hukum internasional menjadi agak asing bagi sistem Indonesia dan menjadi elemen yang cenderung baru dalam arsitektur hukum Indonesia. Akibatnya, bagaimana sistem hukum Indonesia menyikapi hukum internasional khususnya perjanjian internasional belum mendapatkan perhatian dalam sistem hukum ini.[7]
Persoalan tentang hubungan perjanjian internasional dan hukum nasional menjadi sangat menarik dan unik. Pengalaman sejarah Indonesia sedikit banyak dapat menjelaskan relasi ini. Indonesia melepaskan diri dari sistem kolonialisme Belanda yang waktu itu dilabelkan sebagai dunia Barat, dunia yang menciptakan “hukum internasional”. Tradisi Indonesia sudah diwarnai oleh sentime nasionalisme, resistensi dan perlawanan terhadap apa yang diyakini sebagai “hukum internasional kolonial”. Persepsi dan tradisi ini, seperti kata  Ko Swan Sik[8]akan mewarnai sikap Indonesia terhadap hukum internasional.
Indonesia memisahkan diri dari Belanda dengan cara revolusioner dan dengan demikian menolak mewarisi tradisi hukum Belanda  tentang hukum internasional.[9] Indonesia membangun sistem hukumnya sendiri dan menetapkan sikap tersendiri terhadap hukum internasional. Sekalipun mempertahankan tradisi civil law  Belanda, Indonesia merumuskan UUD-nya sendiri setelah kemerdekaan.
Sejak kemerdekaan, Indonesia berjuang keras untuk memperoleh pengakuan internasional yang akhirnya diperoleh pada tahun 1949. Setelah itu, Indonesia mengalami 3 periode rejim pemerintahan, pertama disebut dengan ‘order lama’[10] yang ditandai dengan sistem demokrasi terpimpin oleh Presiden Sukarno yang sangat dominan dalam politik nasional. Pada awalnya Presiden Sukarno berorientasi pada demokrasi namun lambat laun mengarah pada pelanggengan kekuasaan yang ditandai dengan istilah Presiden seumur hidup.  Krisis ekonomi pada tahun 1960-an menggiring keruntuhan rejim ini dan selanjutnya diganti dengan rejim ‘orde baru’ yang dipimpin oleh pemerintahan militer Presiden Soeharto.  Krisis ekonomi yang sama terjadi pada tahun 1998 dan juga memaksa rejim orde baru ini mengakhiri kekuasaannya yang kemudian diganti dengan rejim ketiga yaitu rejim ‘reformasi’ yang menguasai sampai saat ini.
Pada masa rejim otoritarian baik orde lama maupun orde baru, perdebatan tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional tidak berkembang.  Sistem politik yang dominan pada waktu itu dengan serta merta akan memberikan jawaban politik terhadap persoalan juridis ini. Persoalan ini tidak kontroversial dan tidak merangsang publik untuk membahas persoalan ini dari segi hukum. Namun di era reformasi pertanyaan tentang status hukum dari suatu perjanjian internasional di dalam sistem hukum Indonesia sudah mulai mencuat. Pertanyaan ini lahir karena tekanan dari dua arah secara bersamaan yaitu internal maupun eksternal.  Secara internal, Indonesia mulai mempraktekkan demokrasi modern yang harus ditandai dengan prinsip rule of law, partisipasi parlemen, pembagian kekuasaan dan kepastian hukum. Prinsip-prinsip demokrasi ini menuntut adanya ketegasan hukum tentang status suatu perjanjian internasional dalam sistem hukum.
 Tekanan eksternal terjadi akibat globalisasi. Ciri utama dari globalisasi adalah semakin kaburnya batas perbedaan antara hukum internasional dan hukum nasional. Dewasa ini telah lahir banya perjanjian internasional yang bersifat intrusif ke hukum nasional seperti perjanjian tentang lingkungan hiudp, HAM dan perdagangan. Sifat intrusif dari perjanjian ini telah mendorong para pakar Indonesia untuk menemukan jawaban terhadap status perjanjian ini dalam kaca mata hukum nasional.

B. Respon Indonesia terhadap Hukum Internasional

1) Sikap Permusuhan (1945-1966)

Indonesia memiliki sikap yang sama dengan negara-negara Asia pada umumnya terhadap hukum internasional, yakni selektif: memilih norma hukum internasional yang bermanfaat bagi perjuangannya dan menolak norma yang merugikannya.[11] Sikap ini selaras dengan pengalaman sejarahnya yang melihat hukum internasional sangat menguntungkan negara penjajah dan sebaliknya merugikan setiap negara yang hendak merdeka karena karakternya yang  ‘separatism”.[12] Sentimen ini telah mendorong para pendiri bangsa untuk mencap bahwa kolonialisme adalah dunia Barat si pencipta hukum internasional.  Hukum ini menjustifikasi penundukan bangsa Asia Afrika terhadap kolonialisme.[13] Sebaliknya, proklamasi kemerdekaan oleh dunia Barat dituduh sebagai tindakan sepihak yang melanggar hukum internasional.[14]
Berakhirnya perang kemerdekaan ditandai dengan pembentukan the Netherlands-Indonesia Union pada tahun 1949 dan sejak itu sikap Indonesia terhadap hukum internasional berorientasi pada Belanda yakni sangat bersahabat. Namun sikap bersahabat ini hanya berlansung singkat karena sejak 1950 Indonesia memutuskan secara sepihak Konferensi Meja Mundar 1949, yang waktu itu dikritik sebagai melanggar hukum internasional. Sejak itu, seiring dengan memburuknya hubungan Indonesia dengan Belanda, sikap anti Barat semakin menguat dan cenderung menjadi identik dengan sikap anti hukum internasional. Sikap Indonesia menjadi sangat anti Barat dan cenderung membangkitkan semangat revolusi yang pernah dikobarkan pada era perang kemerdekaan.[15] Akibatnya, sentimen ini berimbas pada sikap yang sama yaitu anti terhadap hukum internasional.
Beberapa kebijakan Indonesia pada era ini sangat sarat dengan perlawanan terhadap hukum internasional. Pada tahun 1957, kekecawaan Indonesia terhadap PBB semakin memuncak  karena PBB dianggap tidak lagi membantu Indonesia dalam pertikaian dengan Belanda atas Irian Barat sehingga pada tahun 1958 Indonesia mengeluarkan PP No. 23 tahun 1958 yang menasionalisasikan semua Perusahaan Belanda di Indonesia. Berdasarkan penjelasan dari PP ini, kebijakan ini diambil dalam rangka penyelamatan kelangsungan dan kelancaran ekonomi akibat perjuangan pembebasan Irian Barat. Kebijakan nasionalisasi ini telah menimbulkan kontroversi dan melahirkan gugatan terhadap Indonesia di pengadilan Jerman.[16] Para pakar hukum internasional juga angka bicara mengkritisi kebijakan ini sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional.[17]  Pakar hukum internasional Mochtar Kusumaatmadja sendiri mengakui bahwa kebijakan ini prima facie bertentangan dengan hukum internasional tentang perlindungan warga asing beserta propertinya.[18]
Resistensi Indonesia terhadap hukum internasional memuncak pada waktu munculnya ancaman strategis yang diakibatkan oleh hukum laut yang berlaku pada saat itu. Lebar laut yang hanya diperkenankan 3 mil telah mengakibatkan Indonesia dipisahkan oleh laut bebas dan membuka ruang bagi kebebasan kapal-kapal perang Belanda di tengah-tengah perebutan Irian Barat. Akibatnya Indonesia melihat hukum laut yang berlaku saat itu sangat merugikan kelangsungan hidup Indonesia karena wilayah Indonesia menjadi tercerai berai dan sangat rawan terhadap disintegrasi oleh daerah-daerah yang pada waktu itu cenderung menguat. Ancaman ini menimbulkan persoalan ketahan dan keamanan negara dan semakin meningkatkan sentimen negatif bahwa hukum internasional tidak adil.[19]
Sebagai reaksi terhadap ketidakadilan hukum laut ini maka pada tahun 1957 Indonesia mengeluarkan deklarasi unilateral yang terkenal dengan Deklarasi Djuanda. Deklarasi ini menegaskan bahwa laut yang berada diantara pulau-pulau adalah laut yang menghubungkan pulau-pulau ketimbang memisahkannya. Untuk itu, Deklarasi menetapkan penarikan garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar dan selanjutnya mengklaim bahwa perairan didalamnya yang semula adalah laut bebas menjadi perairan pedalaman. Deklarasi ini tentu saja mengundang protes keras dari negara-negara Barat[20] khususnya Amerika Serikat[21]  yang menganggap Deklarasi ini  sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional. Walaupun deklarasi ini ditolak dalam Konferensi Jenewa 1958 tentang Hukum Laut, Indonesia tetap bersikukuh dengan kebijakan ini dengan mengeluarkan UU No. 4 Tahun 1960 yang mempertahankan  sikap  ‘persistent non-compliance’ terhadap international law’, sampai akhirnya gagasan ini diterima dalam Konvensi PBB 1982 tentang Hukum Laut.
Sikap apatis terhadap hukum internasional semakin meningkat manakala politik luar negeri Indonesia mendekat ke blok sosialis Russia dan China di era perang dingin, dan eskalasinya semakin buruk pada tahun 1963 waktu Presiden Soekarno menggagas ide kontroversial tentang ‘new emerging forces’ (NEFOS) yang mewakili negara-negara Asia, Amerika Latin, negara-negara sosialis dan berhadapan dengan apa yang dia sebut sebagai ‘old emerging forces’ (OLDEFOS) yang merujuk pada negara-negara kapitalis. Gerakan ini berakhir ketika Soekarno dipaksa turun dari kekuasaannya pada tahun 1966. Sikap perlawanan terhadap hukum internasional mencapai klimaks pada saat Indonesia melalui suratnya tanggal 20 January 1965 menyatakan mundur [22]dari keanggotaan PBB dan semua organnya dengan dasar pertimbangan sbb:
… that in the circumstances which have been created by colonial powers in the United Nations so blatantly against our anti-colonial struggle and indeed against the lofty principles and purposes of the United Nations Charter, the Government felt that no alternative had been left for Indonesia but withdrawal from the United Nations.
Sikap permusuhan Indonesia terhadap hukum internasional juga memperoleh dukungan dari para pakar Indonesia. Dalam rangka pembelaan terhadapa posisi Indonesia yang menarik diri sepihak dari Perjanjian Konferensi Meja Bundar 1949 yang dituduh sebagai pelanggaran pacta sunt servanda, Roeslan Abdulgani, berpendapat bahwa tindakan itu bisa dibenarkan berdasarkan prinsip rebus sic stantibus.[23] Dalam pernyataannya di London Conference on the Suez Canal Crisis1956, Abdulgani mengklarifikasi posisi Indonesia terhadap perjanjian internasional dengan menyatakan:
Mr. Chairman, I understand fully Sir Anthony Eden’s remarks this morning about respect for the sanctity of international law. However Mr. Chairman, I should add one comment upon this, and that is that most of international treaties which are a reflection of international law do not respect the sanctity of men as equal human beings irrespective of their race, or their creed or locality. Most of the existing laws between Asian and African and the old-established western world are more or less outmoded and should be regarded as a burden of modern life. They should be revised and be made more adaptable to modern international relations and the emancipation of all parts of mankind.[24]
Presiden Soekarno juga menggunakan dalil yang diungkapkan oleh Roeslan Abdulgani diatas dalam setiap pidato retorikanya yang akhirnya berhasil menarik hati rankyat Indonesia untuk mendukung kebijakan anti terhadap hukum internasional. Soekarno mengkritik para ahli yang terlalu menekankan pada kesakralan perjanjian internasional karena setiap perjanjian harus dapat direvisi jika bertentangan dengan keadilan dan kemanusiaan. Menurut Soekarno, perjanjian internasional yang merestui penjajahan harus segera diakhiri. [25]Pakar hukum lain yang mengecap pendidikan di Belanda, Muhammad Yamin, juga mengkritik hukum internasional yang berlaku saat itu sebagai ciptaan Eropa Barat dimana negara-negara Eropa Timur dan Asia tidak terlibat dalam permubataannya.[26]
Sentimen anti hukum internasional ini telah mengkristal menjadi persepsi publik dan mengakibatkan perkembangan hukum internasional pada era ini di Indonesia sangat lambat bahkan mengarah ke apatisme.

2) “Sikap Bersahabat” Era Orde Baru (1966-1998)

Sejak 1966, Indonesia dibawah kekuasaan rejim orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto sampai tahun 1998. Rejim ini ditandai dengan dominasi kekuasaan eksekutif yang senantiasa mampu mengambil keputusan politik yang sangat solid. Pengalaman ketatanegaraan sebelumnya telah mendorong rejim ini untuk menekankan stabilitas politikd dan ekonomi sehingga menutup ruang adanya perubahan konstitutional yang bakal rawan terhadap stabilitas dimaksud.
Dibawah rejim ini, sikap terhadap hukum internasional cenderung “bersahabat” karena kiblat politik luar negeri-nya sangat bersahabat dengan dunia Barat. Terjadi pergeseran yang signifikan dari yang semula bermusuhan menjadi lebih berkerjasama dengan dunia internasional. The attitude had moved from being hostile to being more cooperative with respect to international law. Pergeseran ini ditegaskan oleh pakar hukum internasional, Mochtar Kusumaatmadja, yang berupaya mencari keseimbangan antara kebutuhan negara-negara berkembang dan stabilitas hukum internasional yang berlaku saat itu.  Dia menyadari bahwa hukum internasional yang berlaku mungkin sudah usang dan tidak lagi sesuai dengan perubahan masyarakat internasional. Namun dalam menyikapi keusangan hukum internasional ini sikap penolakan Indonesia tidak harus diartikan sebagai pelanggaran hukum ini. Selanjutnya dia mengembangkan dalil bahwa Indonesia dapat saja tidak menerapkan norma hukum internasional yang usang itu sepanjang Indonesia juga memperhatikan kepentingan hukum negara-negara lain. Dalam hal ini Indonesia sangat ingin berkontribusi terhadap perubahan hukum internasional yang lebih memenuhi kebutuhan masyarakat internasional yang telah berubah ini.[27]
Politik luar negari Indonesia selanjutnya terinspirasi dengan gagasan konstruktif dari Mochtar Kusumaatmadja sehingga penolakan terhadap hukum laut internasional yang kerasa di jaman orde lama bergeser menjadi politik keterlibatan yang konstuktif di jaman orde baru. Sejak era ini, Indonesia tidak lagi menolak membabi buta hukum laun namun turut aktif menegosiasikan klaim Deklarasi Djuanda-nya pada rangkaian perundingan hukum laut di PBB yang berakhir dengan diterimanya konspe negara kepulauan pada  Konferensi PBB tentang Hukum Laut 1982.[28] Suksesnya Indonesia memeperoleh pengakuan atas apa yang selama ini dinilai sebagai  “pelanggaran hukum internasional” telah mengubah pola pikir para ahli bahwa apa yang dilakukan oleh Indonesia adaah “membuat hukum internasional” ketimbang melanggarnya (making istead of breaking international law).[29]  Mochtar Kusumaatmadja[30] selalu menekankan bahwa klaim unilateral yang didorong oleh kebutuhan prinsip suatu negara dapat mengkristal menjadi suatu norma hukum baru berdasarkan kebiasaan internasional. Dalam hal ini menurunya, klaim unilateral dari negara berkembang, terlepas apakah itu destruktif atau konstruktif terhadap hukum internasional pada awalnya, tidak harus berarti tetap desruktif pada akhirnya. Dalil ini telah dibuktikan dengan pengalaman Indonesia di bidang hukum laut.
Mengingat bahwa rejim order baru didukung oleh kekuasaan militer yang kuat di wilayah politik, hukum internasional juga dimaknai dan diperlakukan dalam konteks berdasarkan politik ketimbang hukum. Dalam hal ini kehendak politik Presiden sangat menentukan tentang bagaimana hukum internasional beroperasi di wilayah hukum nasional. Sehingga tidaklah mengherankan jika keputusan politik lah yang mendorong Indonesia menerima jurisdiksi Mahkamah Internasional untuk penyelesaian konflik pulau Sipadan dan Ligitan dengan Malaysia pada tahun 1997. Kekuatan politik pula yang mendorong Indonesia mengintegrasikan Timtim kedalam wilayah Indonesia tahun 1976, yang oleh masyarakat internasional dinilai sebagai pelanggaran hukum internasional.[31] Artinya, hukum internasional tidak berakar pada sistem hukum nasional melainkan ditegakkan dan bahkan dilanggar oleh pertimbangan politik yang kuat.
Issue HAM sangat menonjol di era orde baru. Dalam hal ini Indonesia mengembangkan prinsip hukum internasional tentang penolakan campur tangan asing kedalam masalah dalam negeri dalam rangka serangan internasional di bidang HAM.[32] Mengingat kekuatan militer di Indonesia berorientasi pada keamanan nasional yang acap kali memasuki wilayah sipil, maka hukum internasional tentang HAM menjadi tidak kompatibel dengan politik pemerintah. Kecaman HAM terhadap Indonesia semakin memuncak pada waktu Indonesia menduduki Timtim pada tahu 1975. Dalam rangka menjawab kecaman internasional ini, Indonesia menggalang kekuatan Asia dan mengembangkan konsep Asian value dengan melahirkan apa yang disebut konsep cultural relativism (melawan Western universality of human rights)[33] yang oleh dunia akademisi dikecam sebagai upaya untuk melegitimasi kekuasaan otoriter.[34]
Kebijakan HAM ini pada hakekatnya didasarkan pada konsep tentang negara integral yang telah digagas oleh Professor Soepomo pada watu pendirian negara di awal kemerdekaan, yang pada waktu itu menolak ide individualisme.[35] Pada tahap  persiapan kemerdekaan RI, ide negara integralistik dinilai lebih berakar pada kultur Indonesia yang menekankan bahwa hak individu dan hak negara tidak dapat dipisahkan. Ide ini secara efektif diterapkan oleh pemerintah order baru sehingga tidak membuka ruang bagi penghormatan HAM individu seperti yang dibayangkan oleh dunia Barat.

3) Hukum International di Era Reformasi (1998-sekarang)

Rerformasi politik yang berlangsung sejak 1999 telah melahirkan perubahan radikal dalam sistem hukum dan kelembagaan ketatanegaraan Indonesia. Dalam perubahan radikal ini, hukum internasional sayangnya belum memperoleh perhatian yang memadai dan bahkan tidak melahirkan sama sekali aturan konstitusi tentang hukum internasional. Luputnya perhatian politik terhadap hukum internasional dapat dimaklumi. Reformasi yang terjadi sejak tahun 1998 dipicu oleh tekanan politik domestik dalam rangka menyelesaikan persoalan dalam negari akibat krisis multi dimensi yang dipicu oleh krisi ekonomi. Sehingga arah reformasi lebih diorientasikan pada pembangunan kelembagaan konstitusional dimana hukum internasional bukan merupakan prioritas. Dalam konteks ini gerakan reformasi tidak melihat ada yang salah dalam hukum internasional dalam sistem hukum Indonesia dan kalau pun ada tidaklah langsung bersentuhan persoalan reformasi itu sendiri. Oleh sebab itu persoalan status hukum internasional tidaklah merupakan agenda penting dalam reformasi.
Faktor utama lainnya yang mengakibatkan hukum internasional tidak menjadi perhatian reformasi adalah karena disiplin hukum ini tidak terlalu popular dalam kesharian masyarakat dan tidak terlalu menarik minat publik Indonesia. Hukum internasional masih difahami sebagai bidang yang ekslusif tugas pemerintah khususnya kementerian luar negeri. Ketertarikan terhadap hukum internasional masih terbatas pada komunitas akademis dan itu pun masih diajarkan secara minimalis dan masih jauh dari standar negara-negara maju[36] sehingga studi dan penelitian tentang hukum internasional masih sangat langka.[37]Sekalipun merupakan mata kuliah dalam berbagai universitas, hukum ini masih diajarkan secara terisolasi tanpa perlu mengkaitkannya dengan hukum nasional. Di lain pihak, disiplin hukum tata negara dan administrasi negara telah berkembang dengan pesat di Indonesia namun agak membisu soal hukum internasional. Bab tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional sekalipun diajarkan di mata kuliah hukum internasional jarang merujuk kepada praktik Indonesia dan kalau pun ada hanya bersifat indikasi saja.[38] Pakar hukum Indonesia secara umum masih belum memiliki minat untuk mendalami tentang status hukum internasional di dalam sistem hukum nasional.
Sampai pada tahun 2000-an, hubungan hukum internasional dan hukum nasional belum menjadi perhatian akademis dan belum menyinggung kepentingan praktis para praktisi sehingga bukanlah merupakan issue yang kontroversial. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor sbb:
a)      Pakar konstitusi/tatanegara dan pakar hukum internasional di Indonesia masih terpaku dengan wilayah disiplinnya sendiri-sendiri dan memandang hukum internasional menurut perspektif masing-masing.[39] Bagi pakar konstitusi/tatanegara, perjanjian internasional secara teoritis adalah sumber hukum tatanegara. Sedangkan bagi pakar hukum internasional, perjanjian internasional adalah dokumen hukum yang tunduk pada hukum internasional. Pakar hukum internasional tidak tertarik untuk membahas status hukum ini dalam sistem hukum nasional. Karena perjanjian internasional ditangani oleh eksektuf yang kuat dan dominan maka issue-issue praktis tentang perjanjian internasional tidak pernah muncul dalam wacana dan perdebatan publik.  Jika timbul permasalahan maka keputusan politik akan dengan serta merta menuntaskannya tanpa hiruk pikuk debat publik. Komunitas akademis menjadi tidak terstimulasi untuk memperdebatkannya dan kalaupun didiskusikan maka akan terlihat kurangnya aspek-aspek internasional dari hukum tatanegara, dan sebaliknya lemahnya pembahasan aspek konstitusional dari hukum internasional.
b)      Sejak kemerdekaan RI tahun 1945, dunia akademisi Indonesia diwarnai oleh sentimen nasionalisme yang tinggi dan memandang hukum internasional sebagai hukum kolonial. Para pakar akan melirik hukum internasional hanya jika mempengaruhi kepentingan hukum nasionalnya.[40]
c)      Sebagai negara kepulauan (archipelagic state), Indonesia berada pada wilayah terpencil yang jauh dari interkasi lintas perbatasan. Hubungan internasional hanya dilihat sebagai hubungan antar pemerintah ketimbang hubungan antar manusia. Pola pikir ini mendorong para pakar untuk bersikap konservatif tentang hukum internasional sehingga hanya memandang perjanjian internasional sebagai dokumen antar negara urusan ekslusif kementerian luar negeri. Pertanyaan tentang status domestik dari perjanjian internasional tidak meyangkut kepentingan publik sehingga tidak menjadi perhatian para pakar konstitusi/tatanegara maupun pakar hukum internasional.

C. Perlunya Rejim Hukum yang jelas tentang Perjanjian Internasional dalam transisi demokrasi Indonesia

1) Konsekuensi dari Sistem Hukum yang berlandaskan Demokrasi  

Indonesia sedang menuju ke arah sistem demokrasi penuh. Dalam suatu negara demokrasi, prinsip rule of law/Rechtsstaat, yang bercirikan legalitas, kepastian hukum dan equality adalah bagian yang tidak terpisahkan.  Semua negara demokrasi pada umumnya akan mengalami tuntutan tentang elemen-elemen ini yang pada akhirnya harus memperjelas tentang status perjanjian dalam sistem hukum nasionalnya. Mengingat perjanjian internasional akan menciptakan hak dan kewajiban terhadap individu maka validitasnya dalam hukum nasional harus jelas secara konstitutional dan tidak didasarkan pada suatu diskresi semata. Dengan kata lain, rejim hukum yang jelas yang mengatur status perjanjian dalam hukum nasional adalah conditio sine quo non untuk suatu sistem negara demokrasi. Proses transisi demokrasi di Indonesia mensyaratkan rejim hukum yang jelas tentang hukum internasional.
Sebelum menjadi negara demokrasi, pada umumnya suatu negara tidak memiliki rejim hukum yang jelas tentang status hukum internasional dalam hukum nasionalnya. Afrika Selatan, contohnya, sebagai bekas jajahan negara-negara persemakmuran seyogianya sudah memiliki rejim yang jelas dari negara penjajahnya, namun kenyataannya asumsi ini tidak tercermin dalam jurisprudensinya.[41]Rejim hukum yang jelas tentang status hukum khsusunya perjanjian internasional baru tercipta sejak lahirnya Konstitusi baru tahun 1994 Afrika Selatan.[42]Untuk pertama kalinya, Konstitusi Afrika Selatan menyediakan memuat norma yang mengatur perjanjian dan hukum internasional dalam hukum nasionalnya. Hubungan hukum internasional dan hukum nasional lebih jelas diatur pasca reformasi di Afrika Selatan.[43]
Negara-negara demokrasi baru di Eropa Timur dan bekas Uni Soviet juga mengalami situasi yang sama dan pada umumnya dituntut untuk memperjelas status perjanjian dan hukum internasional dalam hukum nasionalnya. Sebelum proses demokratisasi, status hukum internasional sama sekali tidak diatur dalam konstitusi maupun undang-undang nasionalnya. Akibatnya, sistem hukumnya menjadi tidak konsisten dan tidak tegas dalam teori dan prakteknya. Itulah sebabnya, para pakar di negara-negara ini mendesak agar hubungan hukum internasional dan hukum nasional diatur secara jelas dalam konstitusi.[44]Sekalipun masing-masing negara berbeda dalam mengatur hubungan ini namun klausula tentang ini sudah terdapat di banyak konstitusi negara-negara tersebut.[45]
Indonesia pada akhirnya harus melalui tuntutan seperti yang dialami negara-negara demokrasi dimaksud. Sejak jatuhnya orde baru, terdapat tuntutan yang keras untuk perubahan struktur dan bangunan politik Indonesia.[46] Struktur politik dan ketatanegaraan ini telah telah mengalami reformasi melalui amandemen UUD 1945 yang berlangsung antara tahun 1999-2002. Reformasi konstitusional telah menghasilkan perubahan fundamental yang ditandai dengan pembagian kekuasaan yang signifikan dalam rangka terbentuknya sistem demokrasi.
UUD 1945 sebelum amandemen telah dikritik oleh para ahli HTN karena memiliki banyak kelemahan.  Pakar konstitusi Moh. Mahfud[47]menyatakan bahwa UUD 1945 sebelum amandemen menciptakan sistem ekesekutif yang lebih kuat, lemahnya checks and balances, banyaknya pendelegasian aturan ke level UU, banyaknya norma konstitusi yang rancu, serta penekanan pada kemauan politik dan integritas para politisi.**** Amandemen UUD 1945 telah menciptakan sistem yang secara teori dalam mengatasi kelemaahan-kelemahan ini melalui pemberian kekuasaan lebih besar kepada Parlemen, terciptaknya sistem checks and balances serta dianutnya prinsip rule of law. Namun sayangnya, persoalan tentang status perjanjian internasional dalam hukum Indonesia masih belum terjamah oleh amandemen. Sebelum amandemen, pertanyaan ini ditangani melalui diskresi pemerintah tanpa proses checks and balances dari kekuasaan parlemen. Sistem yang terbentuk dapat menciptakan stabilitas dalam mengeimplementasikan perjanjian internasional namun secara bersamaan gagal menjelasan tentang statusnya dalam hukum nasional.
UUD 1945 yang telah diamandemen telah mentransformasikan beberapa  ciri-ciri sbb:
(a) dari otoriter ke pemerintahaan demokratis,
(b) dari executive heavy ke equal checks and balances,
(c) dari kekuasaan militer ke supremasi hukum
(d) dari pengingkaran ke penghormatan terhadap HAM,
 (e) dari sentralisasi ke otonomi daerah.
Konstelasi kekuasaan ketatanegaraan dewasa ini tentunya membutuhkan adanya sistem hukum yang jelas termasuk rejim hukum yang mengatur hubungan hukum internasional dan hukum nasional. Struktur ketatanegaraan pasca amandemen telah memperjelas kekuasaan masing-masing lembaga negara, baik eksekutif, legislatif dan judikatif. Kekuasaan eksekutif telah diberi kekuasaan yang terbatas namun masih memegang kekuasaan untuk membuat perjanjian internasional dan implementasinya. Kekuasaan legislatif diberi kekuasaan yang lebih besar dalam pembuatan undang-undang dan tentunya akan mencakup kekuasaan yang dapat mempengaruhi penentuan status norma internasional kedalam hukum nasional. Kekuasaan judikatif saat ini telah bebas dari pengaruh eksekutf dan tentunya berwenang menginterpretasikan dan menentukan kekuatan mengikat perjanjian internasional. Selain itu, bebasnya kekuasaan judikatif juga melahirkan pertanyaan apakah kekuasaan ini mencakup unuk menguji perjanjian internasional terhadap UUD 1945. Dalam sistem checks and balances ini, setiap organ negara harus memiliki posisi konstitusional yang jelas tentang hak dan kewajiban dari perjanjian internasional.
Perdebatan tentang hubungan hukum nasional dan hukum internasional khususnya perjanjian internasional telah menjadi agenda publik. Pertanyaan tentang status perjanjian internasional dalam hukum nasional telah mencuat tidak hanya di kalangan praktisi melainkan juga di kalangan pembuat UU dan penegak hukum. Perjanjian internasional yang dibuat oleh Indonesia semakin meningkat baik dari segi kualitas maupun kuantitias. Perjanjian yang dibuat deawas ini cenderung mulai mengatur hak dan kepentingan individual seperti HAM, lingkungan hidup dan perdagangan sehingga melahirkan pertanyaan tentang bagaimana penerapaknya dalam hukum nasional.[48] Dengan perkembangan ini maka ketiadaan rejim hukum yang jelas akan melahirkan ketidakpastian hukum tentang hak dan kewajiban individual yang lahir dari perjanjian-perjanjian tersebut. Dari perspektif internasional, Indonesia tentunya dituntut untuk memenuhi kewajiban internasionalnya yang lahir dari setiap perjanjian internasional yang mengikatnya. Para pakar meyakini bahwa negara yang tidak memiliki rejim hukum yang jelas tentang hukum internasional akan mengalami risiko ganda, yaitu melanggar hukum internasional dan merusak balance of powers dalam sistem konstitusinya.[49]
Ketidakpastian akibat tidak adanya rejim hukum yang jelas tentang hukum internasional semakin diperparah dengan derasnya arus globalisasi. Karakter perjanjian internasional di era globalisasi ini sangat intrusif dan menyentuh wilayah ekslusif hukum nasional, seperti perjanjian-perjanjian di bidang HAM, lingkungan hidup dan perdagangan.[50] Hukum Indonesia tidak dapat lagi berdiri sendiri. Pengalaman negara-negara lain menunjukkan bahwa setiap sistem hukum nasional saat ini harus melakukan rekonsiliasi terhadap standar internasional. Jika di masa-masa lalu hukum nasional bisa kebal dari pengaruh internasional maka dewasa ini telah mengkristal adanya syarat minimum bagi setiap negara untuk mematuhi suatu perjanjian internasional.[51]
Sebagai negara demokrasi yang terinspirasi dengan model Barat, Indonesia saat ini berupaya untuk menerapkan standar negara-negara modern. Sistem negara hukum, partisipasi parlemen, pembagian kekuasaan, kepastian hukum merupakan ciri-ciri negara demokrasi yang hendak dibangun oleh negara Indonesia. Konsekuensi logis dari upaya ini adalah bahwa Indonesia perlu memiliki rejim hukum yang jelas yang mampu menjawab secara pasti dan predictable tentang status perjanjian internasional dalam hukum nasional. Pertanyaan tentang status perjanjian ini juga akan terkait dengan kedudukan hirarkis-nya dalam sturktur perundang-undangan. Sejak kemerdekaannya, Indonesia telah menganut teori Stufenbau dari Hans Kelsen. Dengan teori ini maka Indonesia telah membangun secara hirarkis sumber hukum dan tata urutan perundang-undangannya yang dimulai dari norma fundamental Pancasila, UUD 1945, UU dan seterusnya.[52] Sistem hirarkis ini juga akan menyisakan pertanyaan tentang bagaimana kedudukan hukum internasional khsusunya perjanjian internasional dalam bangunan hirarkis tersebut.[53]

2) Pentaatan terhadap Hukum Internasional

Indonesia menghadapi tekanan dinamis dari dua arah sekaligus secara bersamaan Pertama, tekanan dari dinamika reformasi yang menuntut adanya standar demokrasi serta penegakan dan pentaatan hukum termasuk kewajiban internasional Indonesia yang lahir dari hukum termasuk perjanjian internasional.  Kedua, tekanan dari globalisasi yang juga membentuk suatu sistem dalam masyarakat internasional yang telah menuntut adanya standar minimum tentang postur suatu sistem hukum nasional dalam mengimplementasikan kewajiban internasionalnya.[54]
Sejak kemerdekaan, Indonesia telah membuat banyak perjanjian internasional dan telah merupakan aktivitas rutin dari pemerintah. Indonesia turut aktif membuat perjanjian internasional dalam berbagai forum baik multilateral, regional maupun bilateral. Sampai saat ini, Indonesia telah mendpositkan sekitar 4000 dokumen “perjanjian” yang mengatur berbagai issue. Jumlah perjanjian yang membutuhkan pemberlakuan dalam hukum nasional juga semakin meningkat khususnya di bidang ekonomi seperti pasar bebas, investasi, penghindaran pajak berganda; kerjasama hukum seperti ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, pembrantasan kriminal terorganisasi, anti korupsi, dan pemberantasan terorisme.
Sejak reformasi tahun 1998, semua Presiden yang memerintah sampai saat ini secara konsisten menetapkan politik luar negeri yang berorientasi pada peningkatkan peran Indonesia di fora internasional, menciptakan perdamaian, pemulihan citra Indonesia di mata dunia, dan mendorong terciptanya tata ekonomi dunia yang lebih baik pada tingka regional maupun internasional serta mendukung pembangunan nasional.[55]Untuk memperoleh reputasi dan kredibilitas dimata internasional seperti yang dicanangkan dalam politik luar negeri itu Indonesia harus memperlihatkan kepatuhannya kepada hukum internasional.[56]Pentaatan terhadap perjanjian internasional merupakan parameter utama. Sebagai pihak dalam perjanjian internasional Indonesia terikat pada prinsip pacta sunt servanda, suatu prinsip fundamental dalam hukum perjanjian internasional bahwa para pihak harus melaksanakan perjanjian dengan itikad baik.[57]Kegagalan untuk melaksanakan perjanjian akan melahirkan pelanggaran hukum internasional dan hanya akan merusak reputasi dan kredibilitas Indonesia di mata dunia.
Kegagalan mentaati perjanjian internasional akan melahirkan pertanggungjawaban internasional dan negara tidak dapat berlindung dibalik hukum nasoinalnya untuk menjustifikasi kegagalan ini. Dalam hal ini, suatu negara justru harus memastikan bahwa pentaatan perjanjian ini mendapat justifikasi dari hukum nasionalnya. Di lain pihak, bagaimana perjanjian internasional ditransformasikan,  di adopsi, dan diperingkatkan dalam hukum nasonal adalah urusan hukum nasional.[58] Kedaulatan hukum nasonal untuk menentukan status ini akan tetap dihormati sepanjang hukum internasional masih berkarakter Westphalian.[59] Mengingat bahwa hukum nasional harus menentukan status ini maka setiap hukum nasional harus memiliki rejim hukum yang jelas tentang hukum internasional khususnya perjanjian internasional.
Globalisasi saat ini cenderung mensyaratkan adanya kepastian bahwa setiap hukum nasional negara pihak mentaati perjanjian internasional sehingga dan untuk itu hukum internasional telah mulai mengembangkan suatu mekanisme pentaatan perjanjian. Indonesia telah menjadi pihak pada berbagai perjanjian internasional yang menyediakan mekanisme pentaatan dimaksud seperti Konvensi-konvensi HAM yang diperlengkapi dengan mekanisme monitoring.[60]Indonesia telah dimonitor secara regular oleh mekanisme ini dan dari perspektif politik luar negeri tetap berkomitment untuk mentaati kewajiban perjanjiannya.[61]Mengingat konvensi-konvensi HAM mengatur hak indvidu yang merupakan domain hukum nasional, maka implementasi dari hak-hak ini di dalam hukum nasional menjadi mutlak. Untuk maksud itu, Indonesia sudah menghadapi berbagai persoalan hukum tentang bagaimana perjanjian ini beroperasi di dalam hukum nasional.[62]
Dalam kontek regional, Indonesia saat ini terlibat dalam proses konstitusionalisasi di ASEAN. Diberlakukannya Piagam ASEAN 2008 telah melahirkan pertanyaan baru tentang hubungan Piagam ASEAN termasuk aturan turunannya dengan hukum nasional setiap negara. Para pakar telah membayangkan munculnya perosalan-persoalan hukum dari meningkatnya konstitusionalisasi hukum internasional yang disebabkan beroperasinya Piagam ASEAN termasuk persoalan bagaimana mengintegrasikan norma-norma yang lahir dari sistem ASEAN kedalam hukum nasional,  menginterpretasikannya serta menerapkannya dalam domain hukum nasional.[63]

3) Desentralisasi

Salah satu agenda utama dari reformasi 1998 adalah tuntutan desentralisasi kekuasaan yang selama ini terkonsentrasi pada pemerintah pusat. Sebelumnya, pemerintah pusat memegang kendali pemerintahaan atas pemerintah daerah. Kekuasaan pemerintah daerah bersumber dari pemerintah pusat sehingga dalam pelaksanaan fungsinya pemerintah daerah bertindak atas nama pemerintah pusat.
UUD 45 hasil reformasi telah memberi ruang bagi otonomi daerah yang memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada daerah melalui sistem tiga lapis: pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Masing-masing tingkat diberikan otonomi untuk melaksanakan fungsi pemerinthaan untuk hampir di semua bidang kecuali politi luar negeri, pertahana, keamanan, keuangan, kehakiman dan agama.
Secara pararel terdapat pula otonomi khusus yang diberikan kepada dua provinsi yaitu Provinsi Aceh dan Papua. Otonomi khusus ini diberikan karena secara historis terdapat karakteristik khusus dari kedua daerah ini yang berbeda dengan daerah-daerah lain. Tuntutan akan otonomi khusus ini sudah ada sebelum reformasi berlangsung dan selama ini telah menjadi issue politik yang sensitif antara pusat dan daerah. Konflik antara pusat dan daerah ini telah mengundang perhatian internasional dan berpontensi untuk gerakan separatisme yang melibatkan negara-negara lain. Dengan otonomi khusus ini maka kedua daerah tersebut memperoleh kekuasaan yang lebih besar dibandingkan provinsi-provinsi lainnya.
Adanya otonomi daerah ini akan melahirkan pertanyaan baru tentang kekuasaan membuat perjanjian internasional pemerintah daerah khususnya jika materi yang diperjanjikan berada dibawa kewenang eksklusifnya. Terlebih lagi dengan otonomi khusus yang diberikan kepada Pemerintah Papua dan Aceh telah melahirkan tuntutan baru agar mereka dapat langsung berinteraksi dengan masyarakat internasional atas namanya sendiri yang pada akhirnya menimbulkan pertanyaan apakah mereka berwenang untuk membuat perjanjian dengan pihak asing. Pertanyaan ini bukan hal yang baru bagi setiap negara modern dan selalu muncul di banyak negara khususnya yang berkarakter federalisme.
Para pakar hukum sepakat bahwa konstitusi masing-masing negara sangat menentukan dalam pemberian kekuasaan membuat perjanjian oleh entitas daerah. Kekuasaan ini dapat dinikmati oleh pemerintah daerah jika diberikan oleh konstitusinya.[64] Draft akhir dari Komisi Hukum Internasional tentang Perjanjian Internasional[65]yang kemudian dihapus pada saat Konferensi pada tahun 1969 menyerahan persoalan ini kepada konstitusi masing-masing negara. Draft tersebut menyatakan: States members of a federal union may posses a capacity to conclude treaties if such capacity is admitted by the federal constitution and within the limits there laid down. Dihapuskan draft pasal ini tidak diartikan sebagai penolakan terhadap kekuasaan negara bagian untuk membuat perjanjian internasional.[66]
Menurut pandangan tradisionl, kekuasaan membuat perjanjian internasional secara keseluruhan berada di tangan Raja sebagai atribut kedaulatan. Namun gerakan konstitusionalisme dan pemisahan kekuasaan dewasa ini telah mendorong lahirnya aturan konstitusi yang membedakan antara membuat perjanjian internasional dengan melaksanakan perjanjian internasional.[67]Sebagai konsekuensi, kekuasaan membuat perjanjian telah telah dialokasikan kepada berbagai organ negara baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal terdapat tuntutan untuk adanya partisipasi parlemen sehingga terjadi pembagian kekuasaan antara pemerintah dan parlemen dan memberikan kepada parlemen kekuasaan untuk melaksanakan perjanjian dalam kerangka fungsi legislasi. Secara vertikal telah lahir pemerintah daerah yang memiliki kewenangan eksklusif atas beberapa urusan pemerintahaan yang mengakibatkan mereka harus berpartisipasi jika urusan eksklusif ini diperjanjikan dengan pihak asing.
Persoalan ini sangat nyata dalam sistem federalisme karena kekuasaan pemerintah terbagi antara pemerintah pusat dan daerah dan setiap penduduk akan tunduk pada dua otoritas pembuat undang-undang secara bersamaan. Dalam hal ini masing-masing otoritas tidak tunduk satu sama lain (subordinasi) melainkan bersifat koordinatif.[68]Praktek negara menunjukkan bahwa ternyata persoalan kontroversi tentang kekuasaan membuat perjanjian internasional oleh entitas atau bagian negara tidak hanya melulu terjadi pada situasi negara federalisme melainkan juga dalam situasi hubungan kolonial. overseas territories, dan dependent territories. Ini membuktikan bahwa persoalan kekuasaan membuat perjanjian bisa muncul di setiap entitas selain negara.
Walapun terdapat kecenderungan negara-negara untuk menghapuskan kekuasaan membuat perjanjian dari entitas daerah,[69]persoalan dasarnya masih mewarnai hubungan pusat dan daerah. Tantangan yang muncul saat ini adalah bagaimana menangani konflik antara pusat dan daerah jika pemerintah pusat membuat perjanjian yang materinya dibawah kekuasaan eksklusif dari pemerintah daerah. Saat ini muncul gagasan bahwa keterlibatan pemerintah daerah untuk membuat perjanjian tidaklah semata-mata untuk maksud melindungi kepentingan daerah tsb melainkan adalah konsekuensi dari desentralisasi dan globalisasi. Di era globalisasi terdapat kebutuhan adanya kebijakan luar negeri oleh otonomi daerah sebagai konsekuensi dari demokratisasi, federalisme, tingkat pertumbuhan ekonomi, meningkatnya internasionalisasi pasar.[70]
Terlepas dari apa pun struktur negara, apakah kesatuan atau federalisme, pertanyaan tentang bagaimana kewenangan eksklusif daerah diperlakukan jika urusan yang dibawah wewenang eksklusif ini menjadi objek dan materi dari suatu perjanjian internasional. Pertanyaan ini akan bersentuhan dengan kekuasaan membuat perjanjian internasional menurut hukum konstitusinya. Beberpa perjanjian justru telah membuka ruang bagi partisipasi sub-negara jika materinya adalah wewenang eksklusif dari sub-negara itu yang berada diluar kewenangan pemerintah pusat.[71]Dalam hal ini fenomena desentralisasi tetap melahirkan persoalan kontroversi terhadap posisi negara terhadap perjanjian internasional.




[1] Lambertus Erades, ‘International Law and the Netherlands Legal Order’, in H.F. van Panhuys (ed.), International Law in the Netherlands, vol. III (1980), 376.
[2] Andrea Bianchi, ‘International Law and US Courts: the Myth of Lohengrin Revisited’, 15 EJIL (2004) 4, 751; Contrary to the experiences of the Western countries, Ko argued that most Asian countries have hardly discussed this question, see Swan Sik Ko, ‘International Law in Municipal Legal Orders of Asian States: Virgin Land’, in Ronald St. J. Macdonald (ed.), Essays in Honour of Wang Tieya (1994), 740. 
[3] Comparative studies with reference to some developing countries’ legal system on treaty making process and the domestic status of treaties can be found in Duncan B Hollis, Merritt R. Blakeslee and L. Benyamin Ederington (eds), National Treaty Law and Practice (2005); David Sloss (ed.), The Role of Domestic Courts in Treaty Enforcement, A Comparative Study (2009); Dinah Shelton (ed.), International Law and Domestic Legal Systems: Incorporation, Transformation and Persuasion (2011).
[4] Tiyanjana Maluwa, ‘The Incorporation of International Law and its Interpretational Role in Municipal Legal Systems in Africa: An Exploratory Survey’, 23 SAYIL(1998), 48.
[5] Former British colonies in developing world such as in South Asia (India, Pakistan, Bangladesh, etc.) and in Southeast Asia (Malaysia, Singapore, Brunei Darussalam) would inevitably apply the same principles of the British common law system on the status of treaties. However Shaw suggested that while it would be the case in common law states, the civil law states manifest certain differences, see Malcolm N. Shaw, International Law (1997), 123.
[6] Swan Sik Ko categorizes these newly independent states as virgin land, see Sik Ko (note 4), 737-752.
[7] The only available English source describing the Indonesian law of treaty so far is found in Swan Sik Ko, The Indonesian Law and Treaties 1945-1990 (1993).
[8] Sik Ko (note 4), 738.
[9] During the colonial period, Indonesia had no legal system governing treaties since it was a part of the Netherlands and had no sovereign status. Post independent period, Indonesia inherits most Dutch legal system (civil law and criminal law) except constitutional law.
[10] The term ‘old order’ (1945-1966) was used and introduced by the ‘new order’ regime (1966-1999). 
[11] James Leslie Brierly, The Law of Nations (1963), 43-44; J.J.G. Syatauw, Some Newly Established Asian States and the Development of International Law (1961), 221.
[12] The Independence of Indonesia took place before the emerging of the rules of self-determination which was developed by the UN Universal Declaration of Human Rights 1948 and Declaration of Granting Independence to Colonial People and Countries, 1960. At the later stage, following the decolonization process after the World War II, the view of developing countries towards international law was becoming a classical topic in international law standard books, see N. Shaw (note 7), 36-39; Michael Akehurst, Modern Introduction to International Law (1977), 29; Antonio Cassese, International Law (2005), 115-123. Some scholars advances discussion under the topic “Third World Approaches to International Law”, see B.S. Chimni, ‘Third World Approaches to International Law: Manifesto’, 8 International Community Law Review (2006), 3-27; David P. Fidler, ‘Revolt Against of From Within the West? TWAIL, the Developing World, and the Future Direction of International Law’, 2 Chinese JIL(2003) 29, 1-46;Antony Anghie and B.S. Chimni, ‘Third World Approaches to International Law and Individual Responsibility in Internal Conflicts’, 2 Chinese JIL (2003) 1, 77-103.
[13] The perception towards international law as buttressed colonialism was shared by the most Asian people in 20th century, see Muthucumaraswamy Sornarajah, ‘Asian Perspective to International Law in the Age of Globalization’, 5 Sing. J. Int'l & Comp. L. (2001) 2, 284-313.
[14] Sunaryati Hartono, ‘The Interaction between National Law and International Law in Indonesia’, in Paul Waart, Paul Peters and Erik Denters (eds), International Law and Development (1988), 35.
[15] B.H. Vlekke, Indonesia in 1956 (1957), 9.
[16] Decision of Landesgericht 1958 and Oberlandesgericht Bremen 1959, De Vereingde Deli Maatschapijen vs Deutsch-Indonesischen Tabak Handels G.m.b.H; Martin Domke, ‘Indonesian Nationalisation Measures before Foreign Courts’, 54 AJIL(1960) 2, 205-323 and the reply by Hans W. Baade, ‘Indonesian Nationalization Measures Before Foreign Courts- a Reply’, 54 AJIL (1960), 801-835.
[17] Board of Editors, ‘The Measure Taken by Indonesian Government against the Netherlands Enterprises’, 5 NILR (1958) 3, 227-247; Lord McNair, ‘The Seizure of Property and Enterprises in Indonesia’, 6 NILR(1959) 3, 218-256; Alfred Verdross, ‘Die Nationalisierung niederländischer Unternehmungen in Indonesien im Lichte des Völkerrechts’, 6 NILR (1959) 3, 278-290.
[18] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional (Introduction to International Law) (1976), 48-49.
[19] Some writers like Sornarajah states that: ‘once free, the new States began to construct a series of principles of international law that conserved their interest’, see Sornarajah (note 15), 286.
[20] Daniel P. O’Connell, The International Law of the Sea (1982), 39.
[21] Arthur H. Dean, ‘The Second Geneva Conference on the Law of the Sea: The Fight for Freedom of the Seas’, 54 AJIL (1960) 4, 753.
[22] The UN Charter provides no provision on withdrawal so it is argued that the Indonesian action had no basis, see Egon Schwelb, ‘Withdrawal from the United Nations: the Indonesian Intermezzo’, 61 AJIL (1967), 661-672. In 1966 Indonesian membership was resumed and the Secretary General U Thant regarded the “withdrawal” as a suspension of Indonesian activities in the UN. Consequently, Indonesia remained bearing its annual contribution in the absence of its activities, see Kusumaatmajda (note 20), 89-99.
[23] Roesland Abdulgani, Hukum dalam Revolusi dan Revolusi dalam Hukum (Law in the Revolution and Revolution in the Law) (1965), 36.
[24] Speech of the Indonesian Foreign Minister at the London Conference on Suez Canal, Aug. 16, 1956, in Abdulgani (note 25), 59.
[25] President Soekarno’s Speech on Aug. 17, 1959, Bahan-bahan Pokok Indoktrinasi (Basic Materials on Indoctrination (1964), 33.
[26] Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 (Preparatory Documents to the Constitution of 1945), vol. III (1960), 48.
[27] Kusumaatmadja (note 20), 63.
[28] The Archipelagic concept for which Indonesia sought international recognition had been submitted to the UN Conference by Mochtar Kusumaatmadja in a well descriptive international legal policy, see Kusumaatmadja, Konsepsi Hukum Negara Nusantara pada Konferensi Hukum Laut ke III  (The Legal Concept of Archipelagic State at Conference of Law of the Sea)(1977). 
[29] Barbara Kwiatkowska, ‘The Archipelagic Regime in the Philippines and Indonesia, Making or Breaking International Law’, 6 International Journal of Estuarine (1991) 1, 13-30.
[30] Kusumaatmadja (note 20), 56-65.
[31] In 1975 Indonesia ‘annexed’ East Timor by invoking that self-determination had taken place as expressed by the representatives of the people through Balibo Declaration of 1975. The UN had not recognised Indonesian claim that the people had exercised the right of self-determination and kept the issue in the agenda until 1999 when in 1999, following the United Nations-sponsored act of self-determination, East Timor became a new sovereign state.
[32] Anja Jetschke, ‘Linking the Unlinkable? International Norms and Nationalism in Indonesia and the Philippines’, in Thomas Risse, Stephen C. Ropp and Kathryn Sikkink (eds), The Power of Human Rights: International Norms and Domestic Change (1999), 141; It is held that the socialisation of states to international human rights norms can be divided into a five phase spiral model: 1. Repression; 2. Denial; 3. Tactical concessions; 4. Prescriptive status; 5. Rule-consistent behaviour.
[33] R.J. Vincent, Human Rights and International Relations(2001), 39-48.
[34] Knut D. Asplund, ‘Resistance to Human Rights in Indonesia’, 10Asia-Pacific Journal on Human Rights and Law (2009) 1, 27-47.
[35] Prof. Soepomo, a member of Investigating Committee for Independence, submitted before the Committee the idea of ‘totalitarian state’ similar to Germany under Nazi or Japan before WW II to be adopted for independent Indonesia, see Supomo, ‘Integralist State’ in Herbert Feith and Lance Castles (eds), Indonesian Political Thinking 1945-1966 (1970), 188-192.
[36] Hikmahanto Juwana, ‘Teaching International Law in Indonesia’, 5 Sing. J. Int'l & Comp. L. (2001) 412, 412-415.
[37]Some scholars have dealt with the question of treaties from the perspective of Indonesian legal policy but mainly emphasising on the conclusion instead of the status of treaties under Indonesian law, such as Harjono, Politik Hukum Perjanjian Internasional (Politics of Law of Treaties) (1999); Swan Sik Ko also introduces briefly about Indonesian Law dealing with treaties, see Swan Sik Ko, The Indonesian Law and Treaties 1945-1990 (1994).
[38] Indonesian scholar in 1950s such as Prof. Utrecht and Prof. Kusumaatmadja in 1980s have indicated that Indonesia tends to pursue monist approach, see E. Utrecht and Moh. Saleh Djindang, Pengantar dalam Hukum Indonesia (Introduction to Indonesian Law) (1983), 120; Kusumaatmadja (note 20), 65-67.
[39]The situation is also attributed to the structure of Faculties of Law in Indonesia where constitutional/administrative law and international law are separated subjects belong to separated departments.
[40] The law of the sea became an interesting subject in 1960-1982 when Indonesia submitted to the UN its national strategic interest to international archipelagic concepts.
[41] J.W. Bridge, ‘The Relationship between International Law and the Law of South Africa’, 20 ICLQ (1971), 746.
[42] Dermott Devine, ‘The Relationship between International Law and Municipal Law in the Light of the Interim South African Constitution 1992’, 44 ICLQ(1995), 1.
[43] Andre Stemmet, ‘The Influence of Recent Constitutional Developments in South Africa on the Relationship between International Law and Municipal Law’, 33 Int'l L.(1999) 1, 74.
[44] Eric Stein, ‘International Law in Internal Law: Toward Internationalization of Central-Eastern European Constitutions’, 88 AJIL(1994) 3, 427-450.
[45] Vladlen S. Vereshchetin, ‘New Constitution and the Old Problem of the Relationship between International Law and National Law’, 7 EJIL (1996), 34.
[46] I Ketut Putra Erawan, ‘Political Reform and Regional Politics in Indonesia’, 39 Asian Survey  (1999) 4, 588.
[47] Moh. Mahfud, Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara(Amending Constitution for Constitutional Reform) (1999), 52; Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia (A Shift in Legislative Function: Enhanced Parliamentary System of Legislation in the Indonesian Presidential System)(2010), 1-10.
[48] The contentious debate is revealed in a series of Focussed Group Discussions on the Status of Treaties under Indonesian Legal System convened by the Indonesian Ministry of Foreign Affairs and attended by law scholars from various universities since 2006, the proceedings can be read in Perjanjian Internasional dalam Teori dan Praktik Indonesia, Kompilasi Permasalahan (International Treaty in Theory and Practice in Indonesia, Compilation of Issues), Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Indonesia (2008); Status Perjanjian Internasional dalam Tata Perundang-undangan Nasional (Treaties under National Laws), Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Indonesia (2009).
[49] Giuliana Ziccardi Capaldo, ‘Treaty and National Law in a Globalizing Sytem’, in The Global Community, 1 Yearbook of Internatioanl Law and Jurisprudence (2003) , 140.
[50] It is commonly argued with the globalisation international law has penetrated the once exclusive zone of domestic affair to regulate relationship between governments and their own citizens, see Anne Marie Slaughter and William Burke-White, ‘The Future of International is Domestic (or, The European Way of Law)’, 47 Harv. Int'l L. J. (2006) 2, 327.
[51] Stefan Kadelbach, ‘The Transformation of Treaties into Domestic Law’, 42 GYIL (1999), 67.
[52] Since 1966, inspired by Hans Kelsen with his Grundnorm and Stufenbau des Rechts/Stufenbau der Rechtsordnung theory and Hans Nawiasky with his Staatsfundamental Norm theory, Indonesia has constructed a hierarchical system of norms. The current system is governed by the Law of the Republic of Indonesia No. 12 of 2011 which prescribes that types and hierarchies of regulations are:
       a. Constitution 1945;
       b. Decisions of the People’s Consultative Assembly;
c. Laws/Government Regulations in lieu of Laws;
       c. Government Regulations;
       d. Presidential Regulations;
       e. Provincial Regulations;
f. Local and City Regulations.
[53] The rank of treaties has commonly been acknowledged as a critical subject of the status of treaties under domestic law, see Francis G. Jacobs, ‘Introduction’, in G. Jacobs and Roberts (note 3), xxiv.
[54] Kadelbach (note 53), 67-68.
[55] Kementrian Negara Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Rencana Pembangungan Jangka Menengah 2004 – 2009, Bab 8 (The Ministry of National Development Planning, the National Medium-Term Development Plan 2004 – 2009 of Indonesia, Chapter 8).
[56] From empirical implications of pre-commitment and diffusion theories, Ginsburg finds that adopting international law is a useful strategy for democracies to lock in particular policies, encouraging trust in governments and state regimes, and bolster global reputation, see Tom Ginsburg, Svitlana Chernykh and Zachary Elkins, ‘Commitment and Diffusion: How and Why National Constitutions Incorporate International Law’, University of Illinois Law Review (2008), http://works.bepress.com/tom_ginsburg/18,  201 (last visited on 9 April 2013).
[57] Article 26 VCLT of 1969.
[58] Kadelbach (note 53), 66.
[59] Stephane Beaulac, ‘Westphalia, Dualism and Contextual Interpretation, EUI Working Papers, European University Institute (2007), 5-6; Mattias Kumm, Democratic Constitutionalism Encounters International Law: Terms of Engagement, in S. Choudhry (ed.), The Migration of Constitutional Ideas (2006), 258.
[60] Michael O'Flaherty and Claire O'Brien, ‘Reform of UN Human Rights Treaty Monitoring Bodies: A Critique of the Concept Paper on the High Commissioner's Proposal for a Unified Standing Treaty Body’, 7 Human Rights Law Review (2007) 1, 141-172.
[61] Since its inception as a democratic state in 1998, Indonesia has launched a series of plan of actions on human rights aimed at, inter alia, implementation of the norms and standards of human rights. The current plan of action (2011-2014) is stipulated in the Indonesian Presidential Regulation No. 23 of 2011.
[62] The UN Human Rights Bodies such as Committee on the Elimination of Racial Discrimination put question to Indonesia on the status of the Convention in domestic law and to what extent domestic courts may directly implement its provisions, UN Doc. CERD/C/IDN/3, Seventy-first session, Geneva, 30 July-18 August 2007, question no. 3.
[63] Diane Desierto, ‘ASEAN’S Constitutionalization of International Law: Challenges to Evolution under the New ASEAN Charter’, 49 Colum. J. Transnat’l L. (2010-2011), 268-320.
[64] Helmut Steinberger, ‘Constitutional Subdivisions of States or Unions and their Capacity to conclude Treaties’, 27 ZaöRV (1967), 428; Thomas A. Levy, ‘Provincial International Status Revisited’, 3 Dalhousie L.J. (1976-1977), 75.
[65] ILC Official Records: 21st session, Supplement No. 9 (A/6309/Rev.1), UN (1966), 10.
[66] Mark E. Villiger, Commentary on the 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties(2009), 127-128; The principle reason for deletion was that by making capacity dependent solely upon the provisions of the federal constitution, the paragraph would in practice amount to an invitation to other states to interpret the constitution themselves, see J.S. Stanford, ‘United Nations Law of Treaties Conference: First Session’, 19 U. Toronto L.J.(1969), 60-61.
[67] Luzius Wildhaber, ‘Provisions of Internal Law Regarding Competence to Conclude a Treaty’, 8 Va. J. Int'l L. (1967-1968), 94.
[68] A. Kim Campbell, ‘Federalism and International Relations: The Canadian Experience’, 85 Am. Soc'y Int'l L. Proc. (1991), 125.
[69] Oliver J. Lissitzyn, ‘Territorial Entities other than Independent States in the Law of Treaties’, RdC (1968-III), 87.
[70] Ferran Requejo, ‘Foreign Policy of Constituents Units in a Globalised World’, in Ferran Requejo (ed.), Foreign Policy of Constituents Units at the Beginning of 21st Century (2010), 11.
[71] Agreement Establishing the World Trade Organization provides in Article XII that Any State or separate customs territory possessing full autonomy in the conduct of its external commercial relations and of the other matters provided for in this Agreement and the Multilateral Trade Agreements may accede to this Agreement, on terms to be agreed between it and the WTO. Such accession shall apply to this Agreement and the Multilateral Trade Agreements annexed thereto.


Demikianlah Artikel INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL

Sekianlah artikel INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL dengan alamat link https://www.cyberlaw.my.id/2014/08/indonesia-dan-hukum-internasional.html