Paradigma Baru Dalam Penyelesaian Sengketa Hak Asuh Anak Pada Peradilan Agama

Paradigma Baru Dalam Penyelesaian Sengketa Hak Asuh Anak Pada Peradilan Agama - Hallo sahabat Cyberlaw Indonesia, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Paradigma Baru Dalam Penyelesaian Sengketa Hak Asuh Anak Pada Peradilan Agama, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Paradigma Baru Dalam Penyelesaian Sengketa Hak Asuh Anak Pada Peradilan Agama
link : Paradigma Baru Dalam Penyelesaian Sengketa Hak Asuh Anak Pada Peradilan Agama

Baca juga


Paradigma Baru Dalam Penyelesaian Sengketa Hak Asuh Anak Pada Peradilan Agama

Pembahasan mengenai pengasuhan anak kembali muncul menjadi perhatian publik dengan berbagai latar belakang pemikiran, baik berdasarkan join custodian yang muncul pada akhir tahun 2007 maupun yang didasarkan pada jurigenic effect. Kedua pembahasan mengenai pengasuhan anak tersebut lebih mengedepankan fakta yang terjadi pada peradilan di dunia Barat yang tidak terpaku lagi untuk menetapkan pengasuhan seorang anak atas dasar peraturan perundang-undangan. Join custodian lebih mengedepankan hubungan baik antara mantan pasangan suami isteri, sedangkan jurigenic effect mengedepankan pada realitas
psikologis anak saat akan ditetapkan oleh majelis hakim.
Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum materiil bagi lingkungan Peradilan Agama maupun Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama belum memberikan jawaban secara limitatif terhadap beberapa permasalahan hukum dalam menetapkan pengasuhan anak ketika kedua orang tuanya bercerai.
Dalam Kompilasi Hukum Islam setidaknya ada dua pasal yang menentukan pengasuhan anak yaitu Pasal 105 dan 156. Pasal 105 menentukan tentang pengasuhan anak pada dua keadaan. Pertama ketika anak masih dalam keadaan belum mumayyiz (kurang dari 12 tahun) pengasuhan anak ditetapkan kepada ibunya. Kedua ketika anak tersebut mumayyiz (usia 12 tahun ke atas) dapat diberikan hak kepada anak untuk memilih diasuh oleh ayah atau ibunya. Adapun Pasal 156 mengatur tentang pengasuhan anak ketika ibu kandungnya meninggal dunia dengan memberikan urutan yang berhak mengasuh anak. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 sebagai perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tidak memberikan perubahan yang berarti mengenai penyelesaian permasalahan pengasuhan anak. Nampaknya permasalahan pengasuhan anak seperti sangat sederhana dan akan cukup diselesaikan dengan Pasal 105 dan 156 KHI. Bahkan dengan adanya putusan Mahkamah Agung RI Nomor 349K/AG/2006 tanggal 3 Januari 2007 mengenai kasus perceraian antara Tamara Bleszyinski dengan Teuku Rafly Pasya di mana salah satu amar putusannya menetapkan pengasuhan anak bernama Rassya Isslamay Pasya berada dalam pengasuhan ayahnya, telah memberikan corak hukum tersendiri dalam memberikan pertimbangan hukum pengasuhan anak di luar dari yang telah ditetapkan pada Kompilasi Hukum Islam, dan ternyata terdapat beberapa permasalahan yang muncul di luar jangkauan kedua Pasal tersebut. Di antara permasalahan hukum itu adalah :
1.    Pengasuhan anak ketika orang tuanya bercerai yang disebabkan pihak isteri kembali ke agamanya semula (murtad).
2.    Kemungkinan adanya penyimpangan terhadap ketentuan tertulis tentang pengasuhan anak.
Pengasuhan anak didasarkan atas pembagian hak yang sama, satu untuk pihak suami dan satu untuk pihak isteri. Penilaian kembali terhadap usia anak yang dapat menentukan terhadap pilihan pengasuhan antara ibu atau ayahnya.
Pengasuhan Anak Bagi Ibu Yang Murtad
Mahkamah Agung telah mengambil sikap untuk menetapkan pengasuhan anak, manakala pasangan suami isteri bercerai dan si isteri kembali ke agamanya semula. Anak tersebut ditetapkan pengasuhannya kepada pihak ayah dengan pertimbangan untuk mempertahankan akidah si anak. Sebagai contoh adalah putusan Nomor : 210K/AG1996 di mana dalam putusan Mahkamah Agung tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah agama/aqidah merupakan syarat untuk menentukan gugur tidaknya hak seseorang Ibu atas pemeliharaan dan pengasuhan terhadap anaknya yang masih belum mumayyiz. Pertimbangan tentang aqidah sebagai kelayakan untuk mengasuh anak merupakan pertimbangan dari sudut syar'i yang mengedepankan salah satu maqhosidusy syar'iyyah (tujuan syari'at Islam) yaitu menjaga keutuhan agama Islam dengan ditopang oleh beberapa hadits Rasulullah.
Di sisi lain perlu dicermati dari sudut pandang yuridis normatif, pertimbangan Mahkamah Agung tersebut setidaknya telah menyimpangi dari dua ketentuan hukum :
1.       Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yang menentukan pengasuhan anak dibawah umur (dibawah usia 12 tahun) berada dalam pengasuhan ibunya, tanpa pernah menyinggung permasalahan agama ibunya. Sebagai perbandingan pasal 116 huruf h, menyebutkan bahwa perceraian karena murtad itu dapat dilakukan apabila ternyata kemurtadan tersebut akan menimbulkan perpecahan dalam rumah tangga. Dalam pemahaman a contrario, manakala kemurtadan tersebut tidak menimbulkan perpecahan rumah tangga, maka si isteri berhak untuk mengasuh anak tersebut dalam naungan ikatan perkawinan yang syah. Oleh karenanya pasangan suami isteri tetap berhak mengasuh anak tersebut, meskipun salah satu pihak murtad.
2.       Ketentuan dari hukum Hak Asasi Manusia yang tertera pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 51 ayat (2) di mana setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan anak-anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.
Seorang ibu maupun ayah mempunyai hak yang sama untuk mengasuh dan mendidik anaknya. Perlindungan hukum dalam koridor hak asasi manusia merupakan sesuatu hak yang universal, tanpa batas apapun dan berlaku bagi siapapun (tidak ada pertimbangan perbedaan agama, ras, suku maupun lainnya yang seringkali dijadikan momok untuk membedakan hak asasi seseorang dengan yang lainnya). Pengingkaran terhadap hak tersebut berarti mengingkari martabat kemanusiaan. Oleh karenanya dari latar belakang pemikiran tersebut, ketidak bolehan seorang isteri murtad yang bercerai untuk mengasuh anaknya, adalah pelanggaran yang asasi bagi seorang ibu untuk mengasuh anak yang ia kandung sendiri. Terlebih lagi manakala keadaan si anak masih sangat memerlukan pengasuhan ibunya (di usia balita).
Latar belakang pemikiran maqoshidusy syar'i (tujuan disyari'atkannya agama Islam) dalam yurisprudensi Mahkamah Agung dijelaskan oleh Achmad Djunaeni bahwa masalah aqidah merupakan syarat untuk menentukan gugur tidaknya hak seorang ibu atas pemeliharaan dan pengasuhan terhadap anaknya yangmasih belum mumayyiz. Atau dalam bahasa Syamsuhadi Irsyad, Mahkamah Agung menempatkan aqidah sebagai ukuran penentu kelangsungan atas keberlakuan hak hadlonah tersebut atau menjadi gugur karenanya Permasalahan yang kemudian muncul adalah, bagaimana menyelesaikan sengketa pengasuhan anak tersebut tanpa harus melanggar ketentuan hak asasi seorang perempuan yang kembali ke agamanya semula?
Ketentuan yang terdapat pada Pasal 49 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menerangkan tentang adanya kemungkinan orang tua (ayah ibu) atau salah satunya dicabut kekuasaannya untuk waktu tertentu dengan alasan ia sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya atau ia berkelakuan buruk sekali. Hal ini menunjukkan bahwa penetapan pengasuhan anak terhadap salah satu dari kedua orang tuanya bukan merupakan penetapan yang bersifat permanen, akan tetapi sewaktu-waktu hak pengasuhan anak tersebut dapat dialihkan kepada pihak lain melalui pengajuan gugatan pencabutan kekuasaan ke Pengadilan.
Apabila melihat adanya kebolehan terhadap pencabutan kekuasaan orang tua untuk waktu tertentu, maka secara gramatikal analogis boleh pula menetapkan pengasuhan anak terhadap salah satu pihak untuk jangka waktu tertentu. Oleh karenanya akanlah sangat bijak apabila seorang hakim dapat menetapkan pengasuhan anak belum mumayyiz kepada ibunya yang kembali ke agamanya semula dengan memberikan jangka waktu tertentu. Jangka waktu ini dapat diperhitungkan hingga anak tersebut mampu berinteraksi dan memahami agamanya, misalkan ditetapkan pengasuhan anak hingga anak mencapai usia 5 atau 7 tahun serta menetapkan pengasuhan berikutnya kepada si ayah. Dengan alternatif seperti ini, maka hakim dalam memberikan penetapannya tidak menyalahi ketentuan hak asasi dari pihak ibu dan juga tetap menjaga maqhosidusy syari'ah yaitu menjaga aqidah anak, karena ketika anak beranjak dewasa (memasuki masa mumayyiz) telah berada pada kekuasaan ayahnya.
Pertimbangan seperti ini akan memberikan jalan tengah bagi berbagai pihak. Pertama untuk kepentingan anak yang masih kecil di mana masih benar-benar memerlukan kasih sayang ibunya (terutama dalam keadaan balita). Kedua untuk kepentingan ibunya yang secara asasi mempunyai hak yang sama untuk mengasuh anak. Ketiga bagi kepentingan ayahnya dalam hal memberikan pendidikan yang Islami, di mana si ayah akan dapat mempergunakan haknya supaya anak tersebut tetap berada dalam ajaran agamanya.
Penyimpangan Terhadap Ketentuan Normatif
Diskursus tentang kepastian hukum dan keadilan selalu berujung kepada sikap hakim untuk melihat kedudukan sumber hukum dari peraturan perundang-undangan atau dalam pandangan yang lebih luas selalu dilatar belakangi oleh sistem hukum yang berlaku. Kepastian hukum dan keadilan merupakan dua faktor yang saling menunjang di dalam menjaga keserasian antara kepentingan-kepentingan di dalam masyarakat. Kepastian hukum lebih bersifat umum yang tercermin dalam bentuk peraturan maupun kaidah umum, sedangkan keadilan lebih bersifat khusus karena bersifat penghargaan bagi individu dalam masyarakat.
Selama ini seorang hakim, terlebih lagi bagi hakim tingkat pertama (judex factie) hampir tidak mungkin menyalahi suatu peraturan perundangundangan yang telah ada, karena jika hal demikian dilakukan selain dia menyalahi ketentuan peraturan juga telah menyalahi beberapa putusan hakim sebelumnya yang selalu memposisikan undang-undang sebagai sumber hukum. Dengan mengemukakan beberapa catatan, Ketua Mahkamah Agung RI (Prof Bagir Manan, SH MCL) memandang sistem hukum Indonesia tidaklah tepat digolongkan terhadap sistem hukum continental legal system atau civil legal system atau codified legal system. Dalam aliran hukum ini dikenal dengan sebutan legisme yang mengidentikan hukum dengan undang-undang. Di sisi lain ada sistem hukum Anglo Saxon, common law dengan aliran hukum frei rectsbewegung yang bertentangan dengan yang pertama. Pada hakekatnya common law adalah sebuah judge made law, artinya hukum yang dibentuk oleh peradilan hakim-hakim dan dipertahankan berkat kekuasaan yang diberikan kepada preseden-preseden (putusan) hakim-hakim
Secara yuridis, tradisi hukum Indoensia merupakan corak lain perpaduan dari sistem hukum Eropa continental dan Anglo Saxon. Hal ini dapat diketahui dengan melihat pasal 5 dan Pasal 50 (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yg menyebutkan bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Keharusan memuat pasal-pasal peraturan perundang-undangan menunjukkan bahwa undang-undang dijadikan sebagai sumber hukum yang utama seperti dalam tradisi Eropa continental. Sedangkan keharusan memuat sumber hukum tak tertulis merupakan salah satu corak Anglo Saxon, hal ini ditegaskan pula pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang mewajibkan hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Oleh karena sistem hukum di Indonesia berada pada dua kutub yang berbeda (Eropa continental dan Anglo saxon), maka perlu dipertanyakan bagaimana bila hakim dihadapkan pada situasi terjadi daya tarik yang berbeda antara peraturan undang-undang dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat ataupun dengan yurisprudensi? Dalam hal ini perlu dicermati kaidah dalam sistem common law, ketika  terjadi perbedaan antara yurisprudensi dengan peraturan perundang-undangan maka undang-undang akan menyingkirkan yurisprudensi. Akan tetapi dimungkinkan pula seorang hakim dapat menyimpangi ketentuan peraturan perundang-undangan atau dikenal dengan contra legem dengan catatan harus mencukupkan pertimbangan hukumnya secara jelas dan tajam dengan mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan hukum.
Pandangan di atas akan sedikit membantu terhadap permasalahan yang kedua mengenai adanya kemungkinan beberapa penyimpangan terhadap ketentuan normatif tentang sengketa pengasuhan anak. Yang pertama adalah pengasuhan anak yang didasarkan atas pembagian yang sama. Kemungkinan ini terjadi ketika pasangan suami isteri yang bercerai mempunyai dua orang anak atau lebih. Bila hal ini terjadi, maka pendekatan yang dilakukan bukan hanya sekedar pendekatan normatif yang menentukan pengasuhan anak berdasarkan faktor usia (Pasal 105 KHI), tetapi harus pula dipertimbangkan tentang kewenangan dan keinginan kedua belah pihak (pasangan suami isteri yang bercerai) untuk mengasuh anaknya. Pandangan legisme yang memberikan corak silogisme hukum (juridische sylogisme), suatu deduksi logis dari suatu perumusan yang luas akan memberlakukan ketentuan pasal 105 KHI dengan menetapkan langsung kedua anak tersebut berada dalam pengasuhan ibunya. Dalam keadaan ini, seorang ayah jangan sekali-kali mengharapkan akan dapat mengasuh anaknya karena hukum telah menentukan demikian.
Selama ini penyimpangan terhadap ketentuan Pasal 105 KHI hanya dimungkinkan manakala pihak suami dan isteri bersepakat untuk membagi kewenangan dalam mengasuh anak. Kesepakatan ini merupakan bagian dari kebebasan berkontrak (contractvrijheid) sesuai dengan Pasal 1338 BW akan menjadi sama nilainya seperti undang-undangan (pacta suntservanda). Tampaknya akan lebih dekat kepada keadilan tindakan hakim yang menyelesaikan sengketa pengasuhan anak (yang mempunyai 2 anak atau lebih) dengan memberikan hak langsung (tanpa harus ada kesepakatan para pihak) kepada si ayah untuk mengasuh salah seorang anaknya, meskipun menyimpangi ketentuan Pasal 105 KHI. Pada gilirannya sikap hakim ini akan dirasakan sebagai suatu keadilan bagi si ayah yang sama-sama mempunyai andil untuk menghasilkan keturunan (sesuai pendapat Soedjono keadilan merupakan suatu penghargaan individu). Sebaliknya amatlah tidak adil ketika pasangan suami isteri yang bercerai dan mempunyai dua orang anak atau lebih (masih dibawah umur), kemudian pengasuhan kedua anak tersebut ditetapkan kepada ibunya.
Permasalahan hukum yang kedua adalah peninjauan ulang terhadap ketentuan usia yang dapat memilih dalam pengasuhan antara ibu atau ayahnya. Penentuan usia 12 tahun pada Pasal 105 Kompilasi hukum Islam merupakan penentuan secara ijma yang dilakukan oleh para ulama di Indonesia (communis oppinium doctoral). Sebagai perbandingan dalam fiqh klasik membagi antara pengasuhan anak perempuan dan anak laki-laki. Dalam pengasuhan anak laki-laki menurut Imam Abu Hanifah seorang anak dapat memilih untuk diasuh oleh ibu atau bapaknya manakala ia berusia 7 tahun, sedangkan menurut Imam Malik ibunya lebih berhak mengasuhnya sampai anak itu ompong (tanggal gigi). Sedangkan dalam pengasuhan anak perempuan. Menurut Imam Syafi'i agar dilakukan pilihan oleh anak tersebut yang menurut Imam Abu Hanifah, si ibu lebih berhak mengurus hingga anak baligh. Imam Ahmad bin Hanbal seorang ibu lebih berhak mengasuh anaknya hingga anak tersebut berusia 9 tahun. Penentuan umur menurut Imam Malik tidak secara limitatif tapi ditentukan dengan keadaan ketika si anak tanggal giginya, atau sekitar usia 6 hingga 8 tahun.
Adanya pranata hukum pengasuhan anak disebabkan karena anak tersebut belum mampu berdiri sendiri atau dalam istilah hukum Islam disebut hadhanah. Konsekwensinya ketika anak tersebut sudah dianggap mampu berdiri sendiri maka pengasuhan anak tersebut akan tergantung kepada pilihan si anak untuk memilih ayah atau ibunya.
Menurut Abdul Manan ukuran yang dipakai adalah tamyiz dan mampu berdiri sendiri misalnya sudah bisa makan sendiri, mandi sendiri dan sebagainya. Permasalahan yang muncul adalah pada usia yang ke berapa tahun seorang anak dapat dikatakan telah mumayyiz? KHI berpendapat usia 12 tahun merupakan batas mumayyiz untuk menentukan hak si anak memilih pemeliharaan antara ibu atau ayahnya. Sedangkan para ulama fiqh (yang merupakan rujukan dari KHI) tidak menentukan demikian, mereka berbeda pendapat dan Imam Ahmad bin Hanballah yang menentukan batas usia paling tinggi yaitu 9 tahun untuk menentukan seorang anak sudah mumayyiz. Dalam menyikapi ini, tampaknya perlu mempergunakan metode penafsiran restriktif pembatasan makna atau metode penalaran rechtsvervijning (penyempitan makna). Dengan metode ini, maka pembatasan usia 12 tahun sebagai usia mumayyiz dalam KHI.


Dikirim melalui MM-Blackberry (27C4D790)


Demikianlah Artikel Paradigma Baru Dalam Penyelesaian Sengketa Hak Asuh Anak Pada Peradilan Agama

Sekianlah artikel Paradigma Baru Dalam Penyelesaian Sengketa Hak Asuh Anak Pada Peradilan Agama kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Paradigma Baru Dalam Penyelesaian Sengketa Hak Asuh Anak Pada Peradilan Agama dengan alamat link https://www.cyberlaw.my.id/2013/08/paradigma-baru-dalam-penyelesaian.html