Keputusan MK tentang Piagam ASEAN: Arti Penting bagi Nasib Perjanjian lainnya

Keputusan MK tentang Piagam ASEAN: Arti Penting bagi Nasib Perjanjian lainnya - Hallo sahabat Cyberlaw Indonesia, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Keputusan MK tentang Piagam ASEAN: Arti Penting bagi Nasib Perjanjian lainnya, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel News, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Keputusan MK tentang Piagam ASEAN: Arti Penting bagi Nasib Perjanjian lainnya
link : Keputusan MK tentang Piagam ASEAN: Arti Penting bagi Nasib Perjanjian lainnya

Baca juga


Keputusan MK tentang Piagam ASEAN: Arti Penting bagi Nasib Perjanjian lainnya

-->
Keputusan MK tentang Piagam ASEAN: Arti Penting bagi Nasib Perjanjian lainnya
Damos Dumoli Agusman*


Setelah ditunggu hampir 2 pasca diajukannya gugatan oleh sejumlah LSM tgl. 5 Mei 2011, akhirnya MK pada hari Selasa, 26 Februari 2013 menentukan sikap terhadap nasib Piagam ASEAN. Dalam amar putusannya, MK Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Artinya, Piagam ASEAN tidak bertentangan dengan UUD.

Putusan ini mungkin melegakan Pemerintah karena menjadi terhindar dari kemungkinan pelanggaran kewajiban internasionalnya, namun bukan berita yang menggembirakan bagi para pakar hukum khususnya hukum internasional. Bagi kalangan ini, bukan hasil putusannya yang penting namun argumen yang menggiring ke  arah putusan itu, karena argumen ini (sering disebut ratio decidendi) kelak akan menentukan nasib perjanjian-perjanjian internasional lainnya.

MK mengatakan bahwa lembaga ini berwenang untuk menguji Piagam ASEAN karena dokumen ini tidak lain dan tidak bukan adalah bagian yang tak terpisahkan dari UU yang merupakan objek yang sah untuk diuji oleh MK. Karena secara formal Piagam ini adalah UU maka tidak ada alasan bagi MK untuk tidak dapat mengujinya. Setelah memutuskan bahwa MK berwenang, selanjutnya para Hakim masuk ke materi Piagam ASEAN dan menemukan bahwa Pasal 5 ayat (2) ASEAN Charter yang dipersoalkan oleh Pemohon adalah kebijakan makro dan belum berlaku efektif.  Secara nasional berlakunya kebijakan makro tersebut tergantung kepada masing-masing negara anggota ASEAN untuk melaksanakan. Atas argument ini maka gugatan pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Argumen ini telah menguak politik hukum Indonesia tentang perjanjian internasional yang selama ini masih misteri dan dalam literatur masih diperdebatkan. Dengan tegas MK memberi pesan bahwa selama perjanjian internasional dibuat dalam bentuk UU maka semua perjanjian internasional dapat diuji oleh MK. Artinya, semua perjanjian internasional lainnya dapat diuji dan berpotensi untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD. Argumen ini sangat logis dan dapat dipahami. Namun yang lebih menarik adalah bahwa MK telah memilih aliran hukum yang menjadi kontroversi selama ini bahwa UU yang meratifikasi Piagam ASEAN tidak berbeda dengan UU lainnya dan tidak menemukan alasan yang meyakinkan mengapa UU ini harus dibedakan dengan UU lainnya, sekalipun tersedia doktrin yang menyatakan sebaliknya.

Argumen apakah Piagam ASEAN ini merupakan UU sudah sering diperdebatkan dalam dunia akademis. Kontroversi ini tampaknya mengemuka dalam perdebatan para hakim konstitusi. Dua Hakim Konstitusi melalui dissenting opinion keberatan dengan argumen yang mengidentikkan UU No. 38/2008 dengan UU pada umumnya. Menurut kedua hakim ini: ‘memang benar, formil UU 38/2008 adalah Undang-Undang, tetapi materilnya bukanlah Undang-Undang dan tidak dapat dijadikan objek pengujian undang-undang yang menjadi wewenang Mahkamah. Selanjutnya ditegaskan bahwa UU ini bukanlah suatu peraturan perundangundangan yang substansinya bersifat normatif, yang adressat normanya dapat secara langsung ditujukan kapada setiap orang, tetapi merupakan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat terhadap perjanjian internasional yang telah dibuat oleh Pemerintah untuk memenuhi Pasal 11 UUD 1945, dan diberi ”baju” dengan UU.

Kontroversi tentang status UU yang meratifikasi suatu perjanjian internasional juga melanda sistem hukum lainnya. Pengadilan Belanda pernah mengalami perdebatan ini. Beberapa ahli menilai UU (Wet)ratifikasi memiliki 2 fungsi yaitu, menyetujui Raja/Ratu melakukan ratifikasi terhadap perjanjian dan sekaligus menjadikan perjanjian itu menjadi hukum nasional yang setara dengan UU. Namun pengadilan Belanda pada 2 Januari 1899 menolak argumen ini dalam kasus ”Konvensi Manhnheim on Rhine Navigation (1868) dengan menyatakan bahwa kekuatan hukum Konvensi ini tidak bersumber dari Wet yang mengesahkannya melainkan pada tindakan pertukaran instrumen ratifikasi antara kedua negara (Belanda dan Jerman). Jurisprudensi ini menyelesaikan perdebatan pada waktu itu dan kemudian menjadi politik hukum dalam revisi Konstitusi Belanda tahun 1953 yang secara tegas menempatkan perjanjian berada diatas hukum nasional Belanda dan bahkan diatas Konstitusi.

Negara berkembang seperti Columbia juga telah menuntaskan persoalan klasik ini pada awal abad 20. Duduk perkaranya sama dengan yang dialami oleh MK saat ini. UU No. 14 Tahun 1914 yang meratifikasi Treaty antara AS dan Columbia tentang pengakuan kedaulatan Panama digugat ke Pengadilan Columbia karena bertentangan dengan UUD. Pengadilan Columbia tidak tertarik mengulas tentang apakah benar treaty ini bertentangan dengan UUD, melainkan hanya menjawab apakah Pengadilan memiliki kewenangan untuk menguji UU No. 14 Tahun 1914 dan treaty. Pengadilan ternyata berpendapat bahwa sekalipun UU ini adalah produk legislatif namun tetap harus dibedakan dengan UU pada umumnya. UU ini hanya merupakan wujud ekspresi unilateral dari Columbia untuk mengikatkan diri terhadap suatu perjanjian dan tidak menjadikan perjanjian itu berkekuatan mengikat karena masih tergantung pada tindakan yang sama dari negara pihak lainnya.

MK dalam pengujian Piagam ASEAN ternyata mengambil sikap yang sangat berbeda dengan kedua negara diatas. Tampaknya terdapat kesulitan juridis bagi sebagian besar hakim konstitusi untuk keluar dari asas legalitas bahwa UU yang meratifikasi suatu perjanjian tidak lain dan tidak bukan adalah UU. Kesulitan ini dapat terbaca karena di bagian lain MK mengatakan bahwa pilihan bentuk hukum ratifikasi perjanjian internasional dalam bentuk formil Undang-Undang perlu ditinjau kembali. Namun sayangnya, kesimpulan ini dibangun dari premis yang agak lain dan terkesan bahwa mengambil bentuk UU adalah sistem yang keliru. Pilihan bentuk UU untuk persetujuan DPR bukan hal yang baru dalam praktek Negara-negara.  Belanda, Columbia, Jerman dan banyak Negara lainnya memilih bentuk formil UU untuk persetujuan DPR. Dalam hal ini, bukan bentuk formil UU ini yang menjadi akar masalah namun bagaimana MK memberi makna terhadap UU ini yang menjadi faktor penentu. Dalam hal ini, Prof. Utrecht, pakar hukum di awal kemerdekaan mengartikan lain bahwa suatu perjanjian internasional yang disetujui DPR dan dituangkan dalam suatu undang-undang persetujuan (goedkeuringswet) adalah UU yang bersifat  formil saja.

Saran MK agar pilihan bentuk UU untuk Perjanjian Internasional ditinjau kembali sangat menarik. Dengan saran ini terdapat kecederungan bahwa seyogianya perjanjian internasional tidak dapat diuji oleh MK. Dapat tidaknya perjanjian internasional diuji oleh pengadilan nasional  hanya dapat dijawab setelah Indonesia menetapkan status perjanjian internasional dalam hukum nasional (Damos Agusman, Hukum Perjanjian Internasional, Kajian Teori dan Praktik, Bandung, 2010). Sayangnya UUD 45 yang telah diubah di era reformasi ini tidak menyediakan politik hukum ini. MK telah mengisi sebagian kekosongan konstitutional ini. Menurut penulis, saran MK ini harus ditindaklanjuti dengan amandemen Pasal 11 UUD 45 karena materi putusan MK ini adalah materi Konstitusi.

* Penulis adalah mantan Direktur Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri RI dan saat ini bertugas sebagai Konsul Jenderal RI di Frankfurt. Artikel ini murni pandangan akademis penulis.



Demikianlah Artikel Keputusan MK tentang Piagam ASEAN: Arti Penting bagi Nasib Perjanjian lainnya

Sekianlah artikel Keputusan MK tentang Piagam ASEAN: Arti Penting bagi Nasib Perjanjian lainnya kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Keputusan MK tentang Piagam ASEAN: Arti Penting bagi Nasib Perjanjian lainnya dengan alamat link https://www.cyberlaw.my.id/2013/05/keputusan-mk-tentang-piagam-asean-arti.html