ZEIN PURBA: BERBAGAI ISU AKTUAL DALAM PELAKSANAAN UU PERJANJIAN INTERNASIONAL

ZEIN PURBA: BERBAGAI ISU AKTUAL DALAM PELAKSANAAN UU PERJANJIAN INTERNASIONAL - Hallo sahabat Cyberlaw Indonesia, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul ZEIN PURBA: BERBAGAI ISU AKTUAL DALAM PELAKSANAAN UU PERJANJIAN INTERNASIONAL, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel law of treaties, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : ZEIN PURBA: BERBAGAI ISU AKTUAL DALAM PELAKSANAAN UU PERJANJIAN INTERNASIONAL
link : ZEIN PURBA: BERBAGAI ISU AKTUAL DALAM PELAKSANAAN UU PERJANJIAN INTERNASIONAL

Baca juga


ZEIN PURBA: BERBAGAI ISU AKTUAL DALAM PELAKSANAAN UU PERJANJIAN INTERNASIONAL


Oleh AchmadZen Umar Purba

I. DUALISME ATAU MONISME

1. Kedua doktrin/isme ini mendudukkan hubungan antara hukum nasional dan hukuminternasional yang diterapkan oleh suatu negara. Doktrin dualisme membedakanantara hukum internasional dan hukum nasional. Tiga alasan:

(i) sumber hukum: hukum internasional terdiri dari a.l. kebiasaan danperjanjian internasional yang berkembang dalam medan antar negara, sedangkanpada hukum nasional sumber tersebut adalah hukum yang berkembang dalam bataswilayahnya;
(ii) obyek hukum: dalam hukum nasional adalah para individu di bawah naungannegara, sedangkan dalam hukum internasional norma yang lahir sebagai produkhubungan antara negara-negara;
(iii) sifat: koordinasi antara subyek hukum internasional yang berdaulat atauindependen, hukum internasional tidak di atas para anggotanya yang berdaulat,sedangkan hukum nasional adalah hukum yang merupakan manifestasi kedaulatanterhadap para warganya.

Doktrin monisme berakar pada pemikiran bahwa:

(i) kedua-duanya pada hakekatnya mengatur perilaku individu, walaupun padaarena internasional pertanggungjawaban dilakukan melalui negara;
(ii) hukum secara esensial mengandung unsur komando yang wajib diikuti,independen dari keinginan pihak yang diaturnya;
(iii) hukum internasional dan hukum nasional adalah manifestasi konsep hukumyang tunggal.


2. Doktrin mana yang dianut oleh UU No. 24 tentang Perjanjian Internasional,seperti yang diterapkan dalam praktik?

Memang tidak jelas. Praktik di banyak negara lain pun sama-sama kabur. MisalnyaAS, Perancis, Belanda, Jerman dan Russia. Dalam suatu kasus tahun 1971, Inggrismenolak kegiatan/eksistensi Arab Monetary Fund karena belum tertuang dalamundang-undang Inggris. Tapi sekarang sikap negara ini sudah berubah.
Soalnyakarena tak bisa memberikan batasan yang pas. Di mata Peter Wismer: “The worstculprits in terms of fact-distance definition are the theories of monism anddualism.” Oleh karena itu Penulis tersebut menyimpulkan: “Monism and dualismhave, like so many ‘isms’, closed more eyes than they have opened. Unrealisticdoctrines both, the debate they have engendered has led analysis away from themany possibilities of useful and fruitful interaction between the publicinternational law sphere and the domestic law sphere”.

3. Namun tidak jelasnya praktik kita adalah karena kekurang pedulian saja. Jadikarena itu, pada hemat penulis, kita turutkan alur alamiah dengan pemonitoranperiodik yang efektif dari otoritas untuk evaluasi. Dalam rangka pemonitoranitu hádala menginventarisasi falta. Seperti disebut dalam TOR, UNCLOS 1982,kendati sudah diratifikasi, memerlukan lagi UU No. 6/1996 tentang PerairanIndonesia. Di sisi lain UU No. 5/1994 tentang Convention on Biodiversity sampaiSemarang Belem efektif.

4. Sementara itu kita sudah meratifikasi WTO Agreement dengan UU No. 7/1994.Ini diikuti pula dengan pembuatan beberapa undang-undang di bidang hak kekayaanintelektual, yang merupakan penjabaran TRIPs, dan TRIPs adalah bagian dari WTOAgreement. Relevan dengan WTO Agreement adalah prinsip “direct effect” sepertidipraktikkan di negara lain. Sekedar perbandingan tahun 1973, pengadilanbanding di Italia menolak tanggapan Menteri Keuangan bahwa WTO Agreement tidakdapat dianggap “directly effective”, sebelum ada undang-undang pelaksanaannya.Waktu itu Menteri oleh seorang pengusaha diadukan karena mengenakan“administrative services duty”, yang menurut si pengusaha bertentangan denganprinsip direct effect WTO, karena Italia telah meratifikasi perjanjian itu.



II. PERJANJIAN INTERNASIONAL: PERLU DIDEFINISI ULANG?

1. Yang pertama dan relevan Penulis Kira adalah menyimak Perubahan III UUD1845, yakni tambahan Pasal 11(2) yang berbunyi:

“Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkanakibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan bebankeuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undangharus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”

2. Apa yang dimaksud dengan “perjanjian internasional” lainnya? Dalampermohonan judicial review atas UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (“UUMigas”) di Mahkamah Konstitusi (“MK”) yang sedang berlangsung, beberapa anggotaDPR mendalilkan bahwa “perjanjian internasional lainnya” ini mencakup jugakontrak kerjasama (“KKS”) dalam kegiatan hulu migas, termasuk kontrak bagiproduksi (production sharing contractsi). Sehingga mereka meminta agar KKS jugaharus mendapatkan persetujuan DPR. Penulis kebetulan diminta menjadi salah satu“ahli”, dan berpendapat KKS dalam UU Migas bukanlah PI menurut Pasal 11 (2) UUD1945 ini.
Putusan MK tentang ini akanmenyumbang pada amandemen UU PI ini.

3. Secara resmi penambahan ayat baru dalam UUD 1945 itu dimaksudkan untukmenampung situasi masa kini , dimana PI bukan hanya merupakan transaksi “antarnegara”, tetapi juga

“antar negara dengan kelompok negara atau negara dengan subjek hukuminternasional lain yang bukan negara atau badan-badan internasional, misalnyaorganisasi internasional, Palang Merah Internasional, World Bank, IMF, danTahta Suci, yang dapat membawa implikasi yang luas di dalam negeri.”

Yang menarik dan menantang adalah kesimpulan penjelasan itu tentang perlunyaperubahan paradigma ini: “Undang-undang dasar yang modern harus mengakomodasiperkembangan tersebut,”

4. Sekarang penulis ingin mengajak melihat aspek investasi, yang akhir-akhirini cukup signifikan untuk menengok peranan PI. Setelah kasus BarcelonaTraction Light and Co., yang tidak menampung aspirasi para investor (melaluinegaranya), berbagai negara membuat bilateral investment treaties (“BIT), yangsekarang ini di seluruh dunia diperkirakan melebihi 2400 BIT, hampir 50 dan 80di antaranya melibatkan masing-masing AS dan Prancis sebagai salah satu pihak.Indonesia sendiri telah menutup 21 BIT.

5. Dalam membicarakan PI dan hukum internasional, menarik pandangan beberapasarjana.
Menurut Jean-Yves de Cara, BIT adalah refleksi pengembangan “rule oflaw” melalui perdagangan internasional: “One of the most striking examples inrecent years of the expansion of the rule of law through trade is provided forby the regulation of foreign direct investment”, kata profesor itu, yangdituangkan ke dalam BIT. Jeswald W. Salacusemengaitkan ratifikasi PI di bidang investasi dengan hukum kebiasaaninternasional.

6. Semua BIT di Indonesia hanya diratifikasi dengan Keppres/Perpres. Ini sesuaidengan kriteria pasal 10 UU PI. (Contoh: PI tentang batas wilayah dengan UU,tapi batas ZEE dan landas kontinen dengan Keppres).

7. Ilustrasi: transaksi bisnis internasional (“TBI”) dewasa ini, selalumengikutkan aspek hukum internasional dan hukum perdata internasional. Kegiatandunia usaha akan tergantung pada PI, seperti BIT. Namun keterlibatan duadisiplin ilmu ini tidak menerobos baju masing-masing.

8. Uraian di atas diharapkan akan menyumbang pada pertanyaan: apakah PI perludidefinisi ulang?


III. LOAN AGREEMENTS: PERJANJIAN INTERNASIONAL?

1. Ketentuan tentang pinjaman dan hibah luar negeri telah ditampung dalam UU PI(Pasal 10 angka f).

Pertanyaan apakah pengundangan APBN, yang a.l. mengandung berbagai kebijakanfinansial, termasuk pagu kredit, selama ini dianggap sebagai dasar pembuatanloan agreement (“LA”). Apakah UU tentang APBN bisa dianggap sebagai tindakanratifikasi? Secara akademis tidak. Namun LA punya karakter tersendiri, karenastatusnya yang hybrid.

2. Salah satu unsur penting dalam Pasal 11 (2) UUD 1945 adalah unsur-unsurkumulatif “akibat yang luas dan mendasar” serta “terkait dengan beban keuangannegara”. Ini satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam kaitan dengan LA.

IV. NOMENCLATURE: BERKAITAN DENGAN BOBOT YURIDIS PI?

Penulis sepakat dengan pandangan sebagian besar sarjana bahwa titel perjanjiantidak berpengaruh terhadap isi. Ini juga sejalan dengan praktik dalam suasanalokal dan kontrak-kontrak TBI. Sehaluan pula dengan sikap modern bahwa isilebih penting dari baju. Tapi kepiawaian memberi judul menunjukkan ketangkasanberpikir juga.


V. LEMBAGA NEGARA DI LUAR EKSEKUTIF, DAPAT MEMBUAT PI?

Masalah ini menurut Penulis lebih bernuansa hukum tata negara ketimbang hukuminternasional. Secara prinsipil hal ini dapat saja dilakukan. Namun harusdiatur agar sejalan dengan kedudukan eksekutif dalam makna yang seharusnya. Apalagi kalau ada kemungkinan liabilitas di kemudian hari.

VI. ASEAN

ASEAN adalah lembaga kerjasama antara negara-negara se kawasan dengan fokuspada bidang ekonomi.
ASEAN jelas bukan lembaga integrasi. Namun seperti kata mantanSekjennya, Rudolfo Severino: “ASEAN has made a leap from cooperation tointegration.” , kendati lompatan itu dalam skala “evolution” dari satu “looseorganization based on the ASEAN way to a more legalistic framework based onrules and a dispute settlement mechanism. . Ini bermakna memperkuat posisiASEAN yang memiliki “an international legal personality” (ASEAN Charter Art. 3)

Penandatanganan oleh Sekjen ASEAN jelas mengikat ASEAN selaku badan yangindependen, namun hanya mengikat anggotanya dalam konteks/topik perjanjian itu.Perkembangan status ASEAN yang sudah melompat dari hanya sekedar cooperationtidak bisa diartikan bahwa ASEAN sebagai institusi independen darinegara-negara anggotanya dapat mengikat individu satu atau beberapa negaraanggota atas satu transaksi di luar mandat yang diberikan kepadanya berdasarkanCharter. Paling tidak ini keadaan saat sekarang.


------------------------
L. Oppenheim, INTERNATIONAL LAW: A TREATISE (Ed. By H. Lauterpacht), 7 Ed(London: Longmans, 1952), pp. 35-36

Tom Ginsburg, Locking in Democracy: Constitutions, Commitment and InternationalLaw, 38 NEW YORK UNIVERSITY JOURNAL OF INT’L LAW&POLITICS, pp. 719 et seq.(2006); 58 JeanYves de Cara, International Trade and the Rule of Law, MERCER L.REV., p. 1368 (2007).

Peter Wismer, Bring Down the Walls -On the Ever- Increasing Dynamic between theNational and International Domain, 5 CHINESE JOU OF INT’L L., p. 511 (2006).

Ray August, INTERNATIONAL BUSINESS LAW (Upper Saddle: Pearson, 2004), pp.369-370
Sekretariat Jenderal MPR RI, PANDUAN PEMASYARAKATAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARAREPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945, h. 71 (2007)

Jean-Yves de Cara, op. cit., p. 1377


Menurutnya: “Since the beginning of the BIT movement, scholars have debated theextent that BITs constitute customary international law with respect to foreigninvestment.” Melihat meningkatnya jumlah BIT, akhirnya dia mempertanyakan “towhat extent have the principles and concepts of international investmenttreaties, because of their number, come to constitute international customs”Jeswald W. Salacuse, op. cit., pp. 164, 165.

Lihat a.l Ralph H. Folsom, et. al. INTERNATIONAL BUSINESS TRANSACTIONS, St.Paul, Minn.: West Group 1999; Detlev F. Vagts., TRANSNATIONAL BUSINESSPROBLEMS. New York: Foundation Press, 1998; dan M. Sornarajah, THEINTERNATIONAL LAW ON FOREIGN INVESTMENT, Cambridge: Cambridge University Press,2004. TBI diajarkan secara teratur di FHUI.

Rudolfo Severino, dalam makalah pada Second Regional Workshop on Beyond AFTA,Bangkok, 2 October 2000; cf.: Jean-Yves de Cara, op. cit., p. 1366, yangmembandingkan ASEAN dengan EU, walaupun belum sampai setingkat itu, masih“cooperation or integration process”.

Paul J. Davidson, The ASEAN Way and the Role of Law in ASEAN EconomicCooperation, 8 S’PORE YEAR BOOK OF INT’L L., p. 176 (2006); Asia Tenggaraberbeda dari EU, “and not confident enough in their own capacity to pursue deeptransnational cooperation. Within its context, however, ASEAN has been quitesuccessful, and the distinctive ASEAN style has in fact heightened confidencein the region”, lihat Tim Ginsburg, The ASEAN Sovereignty in Southeast Asia,PROCEEDINGS OF THE 99th ANNUAL MEETING OF THE ASIL, p. 422 (2005).


Demikianlah Artikel ZEIN PURBA: BERBAGAI ISU AKTUAL DALAM PELAKSANAAN UU PERJANJIAN INTERNASIONAL

Sekianlah artikel ZEIN PURBA: BERBAGAI ISU AKTUAL DALAM PELAKSANAAN UU PERJANJIAN INTERNASIONAL kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel ZEIN PURBA: BERBAGAI ISU AKTUAL DALAM PELAKSANAAN UU PERJANJIAN INTERNASIONAL dengan alamat link https://www.cyberlaw.my.id/2012/04/zein-purba-berbagai-isu-aktual-dalam.html