STATUS HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM HUKUM NASIONAL RI: TINJAUAN DARI PERSPEKTIF PRAKTEK INDONESIA

STATUS HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM HUKUM NASIONAL RI: TINJAUAN DARI PERSPEKTIF PRAKTEK INDONESIA - Hallo sahabat Cyberlaw Indonesia, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul STATUS HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM HUKUM NASIONAL RI: TINJAUAN DARI PERSPEKTIF PRAKTEK INDONESIA, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel law of treaties, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : STATUS HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM HUKUM NASIONAL RI: TINJAUAN DARI PERSPEKTIF PRAKTEK INDONESIA
link : STATUS HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM HUKUM NASIONAL RI: TINJAUAN DARI PERSPEKTIF PRAKTEK INDONESIA

Baca juga


STATUS HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM HUKUM NASIONAL RI: TINJAUAN DARI PERSPEKTIF PRAKTEK INDONESIA


Oleh :Damos Dumoli Agusman*

Hukum, doktrin dan praktek Indonesia tentang status perjanjian internasionaldalam hukum nasional RI belum berkembang dan acapkali menimbulkan persoalanpraktis dalam tataran implementasi perjanjian internasional di dalam kerangkasistem hukum nasional. Ketidakjelasan ini merupakan bagian dari ketiadaan hukummaupun doktrin pada sistem hukum Indonesia tentang hubungan hukum internasionaldan hukum nasional. Berbagai kebingungan mencuat dalam dunia praktisi dalammenjawab pertanyaan tentang status perjanjian internasional dalam sistem hukumRI. Terhadap pertanyaan ini di kalangan pemerintah dan opini publik berkembangberbagai alur pikiran yang dapat dipetakan sbb :

1. Alur pikiran yang menempatkkan perjanjian internasional yang telah disahkan(ratifikasi) sebagai bagian dari hukum nasional.
2. Alur pikiran yang mengharuskan adanya legislasi nasional tersendiri untukmengimplementasikan suatu perjanjian internaional yang telah disahkan

Secara teoritis, persoalan ini berakar pada ketidakjelasan tentangaliran/doktrin yang dianut oleh hukum Indonesia tentang hubungan hukuminternasional dan hukum nasional. Pada negara-negara maju, aliran inidicerminkan dalam constitutional provisions atau UU nasional yang secara tegasmemuat kaidah tentang apa status hukum internasional dalam hukum nasionalnya.Sistem hukum Indonesia sayangnya masih belum memberi perhatian padapermasalahan ini sehingga jangankan suatu constitutional legal provisions,wacana publik ke arah pembentukan politik hukum tentang persoalan ini jugabelum dimulai.

Dalam teori, terdapat beberapa pilihan politik hukum yaitu:
(a) Aliran Dualisme yang menempatkan hukum internasional sebagai sistem hukumyang terpisah dari hukum nasional. Dalam hal ini tidak terdapat hubunganhirarki antara kedua sistem hukum ini. Konsekuensi dari aliran ini adalahdiperlukannya lembaga hukum “transformasi” untuk mengkonversikan hukum internasionalkedalam hukum nasional berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlakuuntuk prosedur konversi ini. Dengan dikonversikannya kaidah hukum internasionalini ke dalam hukum nasional maka kaedah tersebut akan berubah karakter menjadiproduk hukum nasional dan berlaku sebagai hukum nasional serta tunduk dan masukpada tata urutan perundang-undang nasional.

(b) Aliran Monisme yang menempatkan hukum internasional dan hukum nasionalsebagai bagian dari satu kesatuan sistem hukum. Hukum internasional berlakudalam ruang lingkup hukum nasional tanpa harus melalui proses transformasi.Kalaupun ada legislasi nasional yang mengatur masalah yang sama maka legislasidimaksud hanya merupakan implementasi dari kaidah hukum internasional dimaksud.
Dalam hal ini, hukum internasional yangberlaku dalam sistem hukum nasional akan tetap pada karakternya sebagai hukuminternasional.

Selain kedua aliran tersebut diatas terdapat pula negara yang menempatkan hukuminternasional lebih tinggi dari hukum nasional.

Pada negara-negara hukum modern seperti AS, Inggris dan negara-negara EropaBarat, pengembangan doktrin tentang hubungan hukum ini telah digulirkan sejakawal abad 20-an melalui proses yang cukup panjang baik pada proses legislasimaupun jurisprudensi yang akhirnya terkristalisasi dalam suatu pilihan politikhukum baik monisme, dualisme maupun kombinasi keduanya. Pada negara-negaratersebut, persoalan status hukum internasional, baik hukum kebiasaaninternasional maupun perjanjian internasional dalam hukum nasional mereka telahtuntas dan pada umumnya dapat dipetakan sebagai penganut aliran monisme(Belanda, Jerman, Perancis), dualisme (AS, Inggris, Australia) atau kombinasikeduanya (Indonesia?).

Sistem hukum indonesia sayangnya belum mengindikasikan apakah menganut monisme,dualisme atau kombinasi keduanya. Namun di dalam literatur Indonesia, Prof.Mochtar Kusumaatmadja (Pengantar Hukum Internasional, Bina Cipta, 1976) secarajelas memotret bahwa Indonesia mengarah pada monisme primat hukum internasionaldan menyarankan agar di kemudian hari pilihan politik hukum yang diambil adalahaliran ini.

Constitutional Provisions atau ketentuan Indonesia tentang masalah ini jugamasih sangat minim dan belum mengindikasikan apa pun tentang politik hukum yanghendak dianut. Pasal 11 UUD 1945 hanya menyebut bahwa Presiden dalam membuatperjanjian internasional harus mendapat persetujuan DPR serta menetapkankriteria umum tentang perjanjian lainnya yang perlu mendapat persetujuan DPR.Aturan yang mungkin agak relevan tentang masalah ini adalah Pasal 22 a Algemene Bepalingen (AB) yangmenyatakan bahwa kekuasaan hakim dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yangditetapkan oleh hukum internasional.

UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang diharapkan sertaseyogianya memberi warna tentang politik hukum tentang masalah ini ternyatatidak terlalu tegas menjawab pertanyaan tentang status perjanjian internasionaldalam hukum nasional. Menurut pengamatan penulis sebagai salah satu anggotayang pernah turut dalam proses awal pembahasan RUU ini, ketidaktegasan inidisebabkan oleh beberapa faktor yang mewarnai proses penyusunan UU ini, yaitu:

1. Para perumus UU ini dipengaruhi oleh pemikiran yang berkembang saat itumelalui pandangan Prof. Mochtar Kusumaatmadja yang mengindikasikan bahwaIndonesia menganut aliran monisme primat hukum internasional. Pandangan inijuga mewarnai pandangan Departemen Luar Negeri RI sebagai lembaga pemerintah yangmembina standarisasi tentang pembuatan perjanjian internasional. Akibatnya, isutentang hubungan perjanjian internasional dengan hukum nasional tidak menjadiagenda krusial dalam pembahasan UU ini dan dapat diasumsikan bahwa teorimonisme merupakan pedoman dasar dalam penyusunannya. Hal ini tercermin dariPasal 13 UU ini yang menginstruksikan bahwa setiap UU atau Perpres yangmengesahkan perjanjian internasional ditempatkan dalam lembaran negara. Padapenjelasannya diartikan bahwa dengan penempatannya dalam lembara negara makaperjanjian tersebut mengikat seluruh warga negara RI. Suatu konstruksi yangsangat kental dengan warna monisme.

2. UU ini hanya merupakan kodifikasi dari praktek negara RI tentang pembuatanperjanjian internasional yang sebelumnya dilandaskan pada Surat Presiden RI No.1826/HK/1960 kepada DPR tentang Pembuatan Perjanjian-perjanjian dengan negaralain. Praktek Indonesia sebelum UU ini nyaris tidak mengalami konflik yangbersumber dari hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional. Hal inimungkin disebabkan oleh perhatian publik baik akademisi maupun praktisi belummelirik permasalahan ini. Selain itu, ketertiban orde baru serta pendekatanpragmatis yang kuat pada waktu itu belum membuka ruang untuk adanya wacanatentang implikasi benturan kedua sistem hukum ini.

3. Dunia akademis pada waktu itu tidak atau belum menyediakan jawaban/doktrintentang hubungan hukum internasional dan nasional. Sekalipun masalah inimerupakan bagian khusus dari mata kuliah hukum internasional namun belumterdapat penelitian yang cukup memadai tentang persoalan ini dalam kaitannyadengan sistem hukum Indonesia. Di lain pihak, status hukum internasional dalamhukum nasional belum merupakan pokok bahasan dalam kurikulum mata kuliah hukumtata negara Indonesia. Dapat dipastikan bahwa hukum internasional dan hukumtata negara sibuk berkutat dengan domainnya sendiri sehingga melupakan bahwapersoalan status hukum internasional dalam hukum nasional merupakan wilayahpersentuhan antara kedua cabang ini. Dalam hal ini belum terdapat suatu displinyang kolaboratif dari hukum internasional dan hukum tata negara tentang masalahini.

4. Jurisprudensi Indonesia belum memberi kontribusi untuk teridentifikasinyapersoalan ini sehingga nyaris bukan merupakan persoalan juridis yang perlumendapat perhatian perumus UU ini.

Inkonsistensi dalam pengaplikasian perjanjian dan khususnya dewasa ini menjadiberkembang akibat ketidakjelasan tentang status perjanjian dalam hukumnasional. Derasnya arus globalisasi mengakibatkan persentuhan antara hukuminternasional dan nasional semakin intensif dan bahkan acapkali melahirkanbenturan. Akibatnya, semua negara termasuk Indonesia tidak lagi dapatmenghindari benturan ini dan cepat atau lambat harus mengatur hubungan kedua sistemini.

Dalam praktek Indonesia, sekalipun suatu perjanjian internasional telahdiratifikasi dengan UU, masih dibutuhkan adanya UU lain untukmengimplementasikannya pada domain hukum nasional, misalnya UNCLOS 1982 yangdiratifikasi oleh UU No. 17/1985 tetap membutuhkan adanya UU No. 6/1996 tentangPerairan. Di lain pihak, terdapat pula perjanjian internasional yangdiratifikasi namun langsung dijadikan dasar hukum untuk implementasi, sepertiKonvensi Wina 1961/1963 tentang Hubungan Diplomatik/Konsuler yang diratifikasidengan UU No. 1/1982. Fatwa MA 2006 tentang kasus tanah Kedutaan Besar SaudiArabia merujuk langsung prinsip kekebalan diplomatik pasal 31 Konvensi Wina1961 tentang Hubungan Diplomatik sebagai aturan yang mengikat dalam hukumnasonal Indonesia tanpa harus menyandarkannya pada ketentuan perundang-undangannasional.

Bersamaan dengan itu, persoalan juridis lainnya kemudian muncul, yaitu apastatus hukum UU atau Perpres yang meratifikasi suatu perjanjian? Terdapatpandangan yang menyatakan bahwa UU atau Perpres ini adalah sama dengan UU atauPerpres dalam pengertian sebenarnya. Dalam hal ini, UU atau Perpres tersebutadalah produk legislasi. Namun terdapat pandangan lain yang melihat UU inihanya semata-mata sebagai jubah terhadap persetujuan DPR terhadap suatuperjanjian sehingga hanya merupakan format prosedural yang tidak samakedudukannya dengan UU biasa.

Pada tataran praktek, persoalan juridis ini melahirkan keruwetan tersendiri.Pada saat Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982 melalui UU No. 17/1985, UU PerpuNo. 4/1960 tentang Perairan masih berlaku sehingga menimbulkan pertanyaanmenarik tentang apa hakekat dari UU No. 17/1985 yang meratifikasi UNCLOS 1982.Jika UU No. 17/1985 hanya merupakan UU prosedural maka sejak diratifikasi,kaidah UNCLOS 1982 belum merupakan kaidah hukum nasional.

Dalam hal ini sistem hukum Indonesia tidak terlalu mengkonstruksikan secarategas tentang pembedaan antara ratifikasi dalam dimensi hukum internasionaldengan ratifikasi dalam dimensi hukum nasional. Akibatnya, hukum Indonesiasulit menjawab pertanyaan tentang apa arti negara Indonesia mengikatkan diripada suatu perjanjian internasional bagi hukum nasional. Jika negara Indonesiameratifikasi suatu perjanjian, apakah perjanjian tersebut mengikat dalam hukumnasional?

Terhadap pertanyaan ini, UU No. 24/2000 tentang Perjanjian Internasional jugatidak terlalu tegas memberikan jawaban.
Seperti diuraikan diatas, alur pikiran para perumus UUini didominasi oleh pemikiran monisme. Akibatnya, UU ini hanya menyentuh konsepratifikasi (pengesahan) dari dimensi hukum internasional sehingga tidakmemberikan rumusan apa pun tentang konsep ini dalam dimensi hukum nasional.Seperti diketahui, pengertian ratifikasi dapat dilihat dalam dimensi eksternal(hukum internasional) yaitu kaidah hukum yang mengatur tentang prosedurbagaimana suatu negara mengikatkan diri pada suatu perjanjian seperti yangdimaksud oleh hukum perjanjian internasional. Ratifikasi seharusnya juga diaturdalam dimensi hukum nasional yaitu kaidah ketatanegaraan yang mengatur tentangkewenangan pemerintah negara tersebut untuk mengikatkan diri pada suatuperjanjian.

Pengertian ratifikasi dalam UU ini kenyataannya hanya diartikan sebagaipernyataan eksternal negara untuk mengikatkan diri (consentto be bound by a treaty) seperti yang dimaksud oleh Konvensi Wina1969 tentang Perjanjian Internasional. Memang UU ini membahas tentang modelpersetujuan DPR terhadap suatu perjanjian dalam bentuk UU, namun modelpersetujuan ini dimaksudkan untuk memberi dasar bagi negara untuk melakukanpernyataan eksternal dalam bentuk instrumen ratifikasi yang ditandatangani olehMenteri Luar Negeri. Pertanyaan tentang apa konsekuensi hukum dari persetujuanDPR tersebut dalam tataran hukum nasional tetap tidak terjawab.

Bentuk persetujuan DPR dalam format UU, atau persetujuan Presiden dalam formatPerpres sebagai dasar bagi Negara untuk memberikan pernyataan (eksternal)mengikatkan diri pada suatu perjanjian memberikan keruwetan hukum tersendiri.Seperti diuraikan diatas, terdapat interpretasi bahwa UU yang meratifikasisuatu perjanjian hanya merupakan bentuk persetujuan DPR seperti yangdisyaratkan oleh Pasal 11 UUD 1945. UU ini hanya merupakan jubah bagipersetujuan DPR dan tidak memuat aturan substantif sebagaimana layaknya suatuUU. Namun dilain pihak, dan umumnya secara tidak sengaja dianut oleh publik, UUini tetap dianggap sebagai UU substantif dan diartikan sebagai UU yangmentransformasikan perjanjian itu kedalam format hukum nasional dengan tingkatyang setara dengan UU. Asumsi perumus UU No. 24/2000 pada waktu itu, karenadiwarnai oleh warna monisme, juga telah menganggap bahwa pengesahan dalamformat UU dan Perpres diartikan sebagai inkorporasi perjanjian kedalam wadahhukum nasional. Namun, di lain pihak timbul juga pertanyaan, jika UU danPerpres dimaksud adalah produk legislasi maka mengapa format PeraturanPemerintah Pengganti UU dan Peraturan Pemerintah tidak dijadikan salah satuformat untuk meratifikasi suatu perjanjian. Pertanyaan menggelitik lainnyaadalah dapatkah UU dan Perpres tersebut dilakukan judicial review? Dapatkahprinsip hirarki perundang-undangan diberlakukan terhadap UU dan Perpres yangmeratifikasi sesuai dengan UU No. 10/2004 tentang Peraturan PembuatanPerundang-undangan?

Penjabaran Konvensi PBB 1982 tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) kedalam hukumnasional merupakan contoh klasik yang menggambarkan keruwetan ini. Menyusulsejak dikeluarkan deklarasi Juanda 1957, maka melalui UU Perpu No. 4/1960tentang Perairan ditetapkan bahwa perairan di dalam garis pangkal kepulauanIndonesia adalah rejim perairan pedalaman (Internal Waters). Selanjutnya UNCLOS1982 sebagai hukum internasional menetapkan bahwa perairan di dalam garispangkal kepulauan adalah rejim perairan kepulauan (Archipelagic Waters). UNCLOS1982 ini diratifikasi oleh Indonesia melalu UU No. 17/1985. Kemudian munculberbagai pertanyaan krusial yaitu:
1. Apakah pada saat Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982 melalui UU No. 17/1985telah terjadi perubahan rejim perairan dari internal waters menjadiarchipelagic waters?
2. Jika ya, apakah UU No. 17/1985 dapat dijadikan dasar hukum nasional untukpemberlakukan rejim archipelagic waters?
3. Jikaya, mengapa UU Perpu No. 4/1960 tidak dicabut oleh UU No. 17/1985? Bukankahdengan demikian terdapat dua UU yang saling bertentangan?
Praktek Indonesia dalam implementasi UNCLOS 1982 mencerminkan pola pikirdualisme yang umumnya dianut oleh Departemen Kehakiman pada waktu itu. UU No.17/1985 bukan merupakan UU substantif melainkan prosedural sehingga masihdibutuhkan suatu UU lain yang mentransformasikan UNCLOS 1982 ke dalam hukumnasional, yaitu UU No. 6/1996 tentang Perairan yang pada hakekatnya adalahpenulisan kembali (“copy paste”) pasal-pasal pada UNCLOS 1982. UU inilah yangmencabut UU No. 4/1960 tentang Perairan Indonesia.

Namun dilain pihak, baik praktek administrasi negara maupun jurisprudensi dalambeberapa kasus memperlihatkan wajah monisme. Konvensi Wina 1961/1963 tentangHubungan Diplomatik/Konsuler yang diratifikasi dengan UU No. 1/1982 telahdijadikan dasar hukum bagi pemerintah untuk memberikan pembebasan pajak sertafasilitas diplomatik lainnya kepada para korps diplomatik di Indonesia. Dalamhal ini tidak diperlukan transformasi kaidah Konvensi kedalam hukum nasionaldan bahkan sampai saat ini tidak ada legislasi nasional yang memuat kaidahkonvensi ini.
Jurisprudensi MA juga telahmelakukan rujukan langsung terhadap Konvensi ini tanpa harus tergantung padaperundang-undangan nasional.

Mahkamah Konstitusi dalam judicial review tentang UU No. 27 Tahun 2004 tentangKomisi Kebenaran dan Rekonsiliasi telah melakukan rujukan langsung pada“praktek dan kebiasaan internasional secara universal”. Terobosan ini sangatmenarik dalam diskusi monisme-dualisme karena menimbulkan pertanyaan tentang bagaimanahakim dapat terikat pada kaidah hukum internasional. Beberapa pakar menyebutkanbahwa yang menjadi dasar sehingga hakim terikat pada praktek dan kebiasaaninternasional secara universal adalah melalui konstruksi yang dikenal dalamhukum internasional yaitu keterikatan setiap negara terhadap hukum kebiasaaninternasional dengan atau tanpa persetujuan negara tersebut (monisme). Namundilain pihak keterikatan hakim ini juga dapat dijelaskan melalui konstruksiketatanegaraan yang dikenal selama ini yaitu bahwa kaidah internasionaldimaksud telah menjadi konvensi ketatanegaraan yang setara dengan konstitusisehingga mengikat secara hukum nasional termasuk hakim. Konstruksi ini justrumencerminkan aliran dualisme yang sangat mengental pada konsepsi hukum ketatanegaraanIndonesia. Namun pada gilirannya, jurisprudensi MK ini tetap belum memberikankejalasan arah bagi status hukum internasional dalam hukum nasional.

Keruwetan ini juga akhirnya merambah pada praktek pembuatan perjanjianinternasional khususnya terhadap pola pikir para juru runding Indonesia dalammelakukan suatu perundingan perjanjian internasional. Pertanyaan mendasarkemudian muncul, apakah juru runding Indonesia dapat menerima klausulaperjanjian yang bertentangan dengan hukum nasional?. Pertanyaan semacam initidak terlalu mengemuka pada era orde baru mengingat pada era ini kekuatanpolitik militer menjadi panglima dalam pembuatan perjanjian internasional.Sepanjang keputusan politik mengijinkan, dapat saja suatu perjanjianditandatangani sekalipun menabrak hukum nasional. Hukum nasional kemudiandiharapkan dapat melakukan penyesuaian dengan perjanjian dimaksud.
Namun pada erareformasi, pertanyaan ini justru menjadi beban tersendiri bagi para jururunding. Nyaris dapat digambarkan bahwa tidak seorang pun juru runding pada erareformasi ini berani merumuskan suatu klausula perjanjian yang diketahuimenabrak hukum nasional.

Dalam praktek negara, adanya perjanjian internasional yang mengharuskan negaramengubah hukum nasionalnya bukanlah sesuatu yang tidak lazim. Asumsi dasar dariperspektif hukum internasional justru menekankan bahwa maksud negara untukmembuat perjanjian adalah untuk menghindari penerapan hukum nasional. Jururunding Indonesia dalam menegosiasikan UNCLOS 1982 justru menabrak UU Perpu4/1960 tentang Perairan Indonesia. Dalam hal ini perjanjian dapat sajadirundingkan dengan maksud untuk kemudian mengubah hukum nasional.

Namun pada era reformasi ini, prinsip bahwa suatu perjanjian harus selarasdengan hukum nasional (pursuant to the respective laws and regulations) sangatditekankan oleh Indenesia dalam rangka mengamankan serta untuk memastikan bahwaperjanjian yang disepakati tetap dalam koridor hukum nasional. Prinsip inidikedepankan karena para juru runding menghindari adanya klaim bahwa telahterjadi pengabaian terhadap hukum nasional.
Nuansa ini terlihatjelas dalam perundingan Economic Partnership Agreement RI-Japan 2007. Padaperundingan ini, Delri secara ketat berpedoman pada peraturan UU yang berlakudan untuk itu Perjanjian ini harus mengikuti hukum nasional Indonesia bukansebaliknya. Bahkan, perjanjian ini baru dapat dituntaskan serta ditandatanganisetelah dikeluarkannya UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal yang baru.

Prinsip untuk semata-mata mengedepankan hukum nasional dalam perundinganperjanjian internasional sebenarnya tidak memiliki justifikasi hukum. Dalamhukum Indonesia tidak terdapat aturan yang melarang pembuatan perjanjian yangmenabrak hukum nasional. Pasal 4 (2) UU No. 24/2000 tentang Perjanjian Internasionalhanya menyatakan bahwa dalam pembuatan perjanjian internasional harusberpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaankedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupunhukum internasional yang berlaku. Terjadinya pembuatan perjanjian yangbertentangan dengan hukum nasional justru diberi ruang oleh UU no. 24/2000antara lain melalui pasal 10 e tentang perjanjian yang berkaitan denganpembentukan kaidah hukum baru. Pembentukan kaidah hukum baru dapat berupakaidah baru dalam rangka mengisi kekosongan hukum atau kaidah baru yangmenggantikan kaidah yang lama (yang berarti bertentangan dengan kaidah yanglama). Contoh perjanjian ini adalah UNCLOS 1982. Praktek perumusan naskahakademis dan naskah penjelasan untuk UU dan Perpres yang mengesahkan suatuperjanjian juga mengindikasikan kemungkinan benturan antara perjanjian denganhukum nasional. Dalam dokumen ini terdapat suatu bab khusus yang berjudul“Harmonisasi dengan Peraturan Perundang-undangan yang ada” yang isinya adalahmengidentifikasi hukum nasional yang bertentangan dengan perjanjian untukdilakukan penyesuaian.

Keengganan para juru runding untuk menabrak hukum nasional justru disebabkanoleh ketidakjelasan aturan tentang masalah ini yang berakar pada ketidakpastianhukum tentang hubungan perjanjian internasional dengan hukum nasional.Sekalipun tidak ada larangan hukum nasional untuk menabrak hukum nasonal dalampembuatan perjanjian, para juru runding tetap dibayangi ketidakpastian akibatketiadaan aturan yang secara jelas mengijinkan mereka untuk melakukan itu.

Inkonsistensi juga terjadi pada pola pikir Pemerintah dalam meratifikasi suatuperjanjian. Pada era orde baru, meratifikasi suatu perjanjian yang bertentangandengan hukum nasional bukan merupakan kendala hukum. Namun pada era reformasiterdapat kecenderungan untuk menyesuaikan dulu hukum nasional sebelummeratifikasi perjanjian internasional. Hal ini misalnya terjadi pada PerjanjianKawasan Ekonomi Khusus Batan, Karimun, Bintan RI-Singapura 2006 yang harusmenunggu dikeluarkannya Perpu 1/2007 tentang Kawasan Khusus sebelum dilakukanproses ratifikasi.

Sebaliknya pertanyaan mendasar lainnya adalah dapatkah DPR dan Presidenmengesahkan suatu perjanjian yang bertentangan dengan hukum nasional? PraktekIndonesia justru membuktikan bahwa banyak perjanjian internasional yang tidakselaras dengan hukum nasional diratifikasi oleh DPR/Presiden. Namun jika di erareformasi ini DPR diperhadapkan dengan suatu perjanjian yang jelas menabrakhukum nasional, dapatkah argumentasi “terjadinya pelanggaran hukum nasional”dijadikan sebagai dasar untuk menolak ratifkasi perjanjian tersebut? Pertanyaansemacam ini akan tetap menjadi kontroversi sepanjang hukum Indonesia tidakmenyediakan jawaban yang tegas tentang status perjanjian internasional dalamhukum nasional.

Bagaimana produk legislasi Indonesia mengidentifikasi serta menempatkan hukuminternasional juga diwarnai oleh kegamangan. UU No. 39/1999 tentang HAM pasal 7ayat (2) secara tegas menyebut bahwa “Ketentuan hukum internasional yang telahditerima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadihukum nasional”. Ketentuan ini jelas dipengaruhi oleh warna dualisme karenasecara tegas melalui pasal ini ketentuan hukum internasional ditransformasikanmenjadi hukum nasional. Dalam kaitan ini hakim dapat merujuk langsung padaketentuan internasional HAM dalam karakternya sebagai hukum nasional. Namundemikian UU ini tidak jelas menentukan kapan negara RI telah menerima suatuketentuan hukum internasional, apakah melalui mekanisme pengesahan (ratifikasi)atau mekanisme lain seperti pernyataan unilateral atau the absence of itspersistent objections?. Jika penerimaan (transformasi dalam konteks dualisme)dilakukan melelaui pengesahan maka UU ini sudah memberi kontribusi dalampembangunan sistem dualisme dalam kaitannya dengan hubungan hukum internasionaldan hukum nasional.

UU No 34/2004 tentang TNI juga membuat rujukan terhadap hukum internasionalmisalnya dalam beberapa pasal menyebut: hanya terikat pada “hukum internasionalyang telah diratifikasi”. Klausula ini sangat rancu karena pengertianratifikasi hanya dapat dilakukan terhadap perjanjian internasional sebagaisalah satu instrumen hukum internasional, sedangkan hukum kebiasaaninternasional tidak bisa diratifikasi namun hanya bisadiinkorporasi/transformasi (melalui UU nasional) atau ditolak dalam rangkapersistent objections.

UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal merupakan salah satu contoh produklegislasi yang sarat dengan kegamangan persoalan hubungan perjanjianinternasional dan hukum nasional. Dalam penjelasan umum ditegaskan bahwa UU inidimaksudkan untuk mengantisipasi berbagai perjanjian internasional yang berartibahwa UU ini disesuaikan dengan dinamika perjanjian internasional yang telahdemikian pesat. Namun, warna dualisme dimunculkan dalam beberapa pasal misalnyapasal 16 yang mewajibkan agar setiap perjanjian internasonal yang akan dibuatoleh Indonesia disesuaikan dengan UU ini. Kontradiksi dari pasal ini tanpadisengaja muncul pada pasal 6 (1) yang mengijinkan adanya perlakukan istimewa(yang hakekatnya bertentangan dengan UU ini) terhadap investor negara asingberdasarkan perjanjian internasional. Kewajiban untuk menyesuaikan setiapperjanjian dengan UU ini di satu pihak, serta diperbolehkannya memberikanperlakuan istimewa yang menyimpang dari prinsip UU ini di lain pihak, tetapmeyisakan berbagai pertanyaan krusial yaitu apakah UU ini dapat menganulirperjanjian internasional yang bertentangan dengan UU ini?, atau apakah suatuperjanjian internasional dapat mengecualikan UU ini? Ketidakjelasan ini tentuakan membingungkan para juru runding Indonesia dalam menghadapi perjanjian dibidang penanaman modal.

Globalisasi juga ditandai dengan berkembangbiaknya perjanjian-perjanjianinternasional yang mencoba mengatur permasalahan-permasalahan yang menjadidomain hukum nasional. Perjanjian-perjanjian semacam ini tidak langsungmenciptakan aturan melainkan hanya melakukan standard-setting yang kemudian akandiundangkan oleh negara-negara anggota dalam hukum nasionalnya. Perjanjian initidak menciptakan norma itu sendiri melainkan mewajibkan negara anggota untukmembuat UU nasional yang menciptakan norma-norma dimaksud. Contoh perjanjianini adalah Konvensi tentang hukum perdata internasional, HAKI, Anti Korupsi,Organisasi Kriminal Terorganisasi dll. Dalam perspektif hubungan hukuminternasional dan hukum nasional, perjanjian-perjanjian semacam ini acapkalidijadikan contoh secara kurang tepat. UU Antikorupsi sering diartikan sebagaiUU yang mentransformasikan Konvensi Antikorupsi, atau UU Patent/Merk selaludiartikan sebagai UU yang mentransformasikan Konvensi tentang Patent/Trademark.Menurut penulis, UU dimaksud bukanlan UU transformasi dalam perspektif dualisme,melainkan UU yang mengimplementasikan kewajiban negara anggota terhadapKonvensi untuk mengundangkannya dalam hukum nasional terlepas dari aliran apapun yang dianut oleh Indonesia. Konvesi dimaksud tidak bersentuhan dengan hukumnasional karena materi yang dimaksud oleh Konvensi berada pada domain hukumnasional. Konvensi-konvensi dimaksud hanya membatasi diri pada formula eachstate shall adopt in its national legislation....Dengan demikian, UU yangmengimplementasikan konvensi-konvensi yang bersifat standard-setting tidak adakaitannya dengan persoalan hubungan hukum internasional dan hukum nasional.

Kejelasan doktrin dan hukum yang mengatur tentang hubungan hukum internasionaldan hukum nasional sudah menjadi kebutuhan hukum mutlak bagi Indonesia. Padaera globalisasi dewasa ini, telah berkembang kaidah hukum internasional yangtelah berlaku umum dengan atau tanpa persetujuan negara. Kaidah-kaidah yangmenyangkut kehidupan manusia seperti terorisme, HAM, dan isu-isu lingkungantanpa disadari telah mengikat Indonesia dan bahkan, khususnya tentang HAM,telah mengikat para hakim Indonesia sekalipun belum ditransformasikan kedalamhukum nasional. Apa yang menjadi dasar hukum positif sehingga para hakimterikat pada kaidah HAM sangatlah sulit dijawab karena belum ada doktrin, apalagi legal provision, yang dibangun untuk menjelaskan tentang status hukuminternasional dalam hukum nasional. Tantangan ini telah mengharuskan Indonesiauntuk mengambil sebuah kebijakan nasional (politik hukum) yang mengatur hubungankedua sistem hukum ini. Kebijakan tersebut akan menentukan status perjanjianinternasional, memberikan arah bagi konsistensi penerapan perjanjianinternasional, dan menentukan sejauh mana hukum internasional dapatmempengaruhi sistem hukum nasional. Absennya kebijakan tersebut akanmengakibatkan inkonsistensi yang lebih besar dan menjadi preseden buruk bagikepastian hukum di tatanan nasional.

Era globalisasi juga ditandai dengan interaksi yang semakin intensif antarakaidah hukum kebiasaan internasional dengan hukum nasional. Dalam metodologihukum internasional, negera terikat terhadap hukum kebiasaan internasionalkecuali negara dimaksud melakukan penolakan secara konsisten (persistentobjections). Hukum internasional juga tidak memperdulikan bagaimana keterikatanini dikonstruksikan dalam hukum nasional karena masalah ini adalah domain hukumnasional. Dalam prakteknya Indonesia sebagai anggota komunitas negara tundukpada kaidah hukum kebiasaan internasional ini namun sayangnya belum terdapat konstruksinyadalam hukum nasional. Akibatnya, terdapat kemungkinan bahwa Indonesia sebagainegara melanggar hukum kebiasaan internasional namun pada saat bersamaanmenegakkan hukum nasional. Contoh yang hipotetis tentang pertentangan iniadalah jika seorang Menlu negara asing berkunjung ke Indonesia dan melakukantindak pidana, maka aparat hukum Indonesia mulai dari kepolisian, penuntut umumdan hakim akan menerapkan prinsip bahwa Menlu tersebut tidak memiliki imunitaskarena tidak ada UU nasional yang memberikan imunitas dimaksud. Namun menuruthukum kebiasaan internasional yang juga mengikat Indonesia, seorang Menlumemiliki imunitas. Menjatuhkan pidana bagi Menlu dimaksud adalah sesuai denganUU Indonesia namun secara bersamaan perbuatan Indonesia tersebut telahmelanggar hukum kebiasaan internasional.

Sehubungan dengan itu maka sudah waktunya bagi sistem hukum Indonesia untukmulai mengembangkan aturan tentang hubungan hukum internasional dan hukumnasional yang sekaligus dapat menjawab tentang status perjanjian internasionaldalam hukum nasional. Penelitian akademis perihal ini tapkanya sudah harusdimulai dan dikembangkan. Pengguliran yang dimulai dari wacana akademisi memanglebih disarankan ketimbang menyerahkan sepenuhnya kepada kecenderungan praktekIndonesia. Praktek Indonesia sepanjang tidak dibangun oleh suatu doktrin dankajian akademis yang memadai tetap akan menunjukkan inkonsistensi yang mengarahpada ketidakpastian hukum. Pengalaman praktek Indonesia seperti diuraikandiatas telah membuktikan hal tersebut.

Hukum Perjanjian Internasional sendiri telah cukup jelas menempatkan kedudukanhukum nasional. Pasal 26 Vienna Convention 1969 on the Law of Treaties mengaturprinsip fundamental hukum perjanjian internasional, Pacta Sunt Servanda yang menyatakanbahwa perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya dan harus dilaksanakandengan itikad baik. Lebih lanjut negara tidak dapat menggunakan hukum nasionaluntuk menjustifikasi kegagalannya dalam menjalankan kewajibannya yang timbuldari perjanjian internasional.

* Penulis adalah lulusan FH Unpad (1987) dan University of Hull, Inggris (1990)yang saat ini menjabat Direktur Perjanjian Ekososbud, Direktorat Jenderal Hukumdan Perjanjian Internasional, DEPLU. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi danbukan merupakan pandangan resmi DEPLU

---------------------------

BIBLIOGRAPHY

Jackson, John H, “Status of Treaties in Domestic Legal System: A PolicyAnalysis”, AJIL, Vol, 86, No. 2 (Apr. 1992), pp. 310-340

Anthony Aust. Modern Treaty Law and Practice. Cambridge University Press, 2000.
Charlotte Ku & Paul F. Diehl. International Law: Classic and ContemporaryReadings. London: Lynne Rienner Publishers, Inc, 2003.

D. J. Harris. Cases and Materials on International Law. London: Sweet &Maxwell, Ltd, 1998.

Delano Verwey. The European Union and the International Law of Treaties.Cambridge University Press, 2004.

Jan Klabbers. The Concept of Treaty in International Law. Martinus NijhoffPublishers, 1996.

Malcolm N. Shaw. International Law. Cambridge University Press, 1997.

Marvin A. Chirelstein. Concepts and Case Analysis in the Law of Contracts. NewYork: Foundation Press, 2001.

Shaw, M.N., “International Law”, Grotius Publication, 1991

Wallace, Rebecca, “International Law”, Sweet & Maxwell, London, 2005

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bina Cipta 1975.
Syahmin AK. Hukum Kontrak Internasional.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006. CliffordJ. Hynning, Treaty Law for the Private Practitioner, The University of ChicagoLaw Review, Vol. 23.

Cassese, Antonio, International Law, Oxford, 2005


Demikianlah Artikel STATUS HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM HUKUM NASIONAL RI: TINJAUAN DARI PERSPEKTIF PRAKTEK INDONESIA

Sekianlah artikel STATUS HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM HUKUM NASIONAL RI: TINJAUAN DARI PERSPEKTIF PRAKTEK INDONESIA kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel STATUS HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM HUKUM NASIONAL RI: TINJAUAN DARI PERSPEKTIF PRAKTEK INDONESIA dengan alamat link https://www.cyberlaw.my.id/2012/04/status-hukum-perjanjian-internasional.html