MOCHTAR KUSUMAATMADJA: HUBUNGAN ANTARA HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL

MOCHTAR KUSUMAATMADJA: HUBUNGAN ANTARA HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL - Hallo sahabat Cyberlaw Indonesia, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul MOCHTAR KUSUMAATMADJA: HUBUNGAN ANTARA HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel international law, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : MOCHTAR KUSUMAATMADJA: HUBUNGAN ANTARA HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL
link : MOCHTAR KUSUMAATMADJA: HUBUNGAN ANTARA HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL

Baca juga


MOCHTAR KUSUMAATMADJA: HUBUNGAN ANTARA HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL


Disadur dari buku MochtarKusumaatmadja, “Pengantar Hukum Internasional: Buku I- Bagian Umum”, BinaCipta, Bandung, 1990, hlm. 65-67)
Jika demikian halnya denganmasalah hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional secara umum danpraktek beberapa Negara termasuk Indonesia, bagaimanakah kiranya dudukpersoalan hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional itu menuruthukum positif Indonesia.

Mengingat bahwa seperti telah dikatakan di atas persoalan ini tidak diaturdalam Undang-Undang Dasar 1945, satu-satunya petunjuk dalam usaha menjawabpertanyaan ini harus didasarkan atas praktek kita bertalian dengan pelaksanaankewajiban kita sebagai peserta beberapa perjanjian internasional yang telahkita adakan.

Memperhatikan kenyataan tentang hal ini penulis berpendapat bahwa kita tidakmenganut teori ”transformasi” apalagi sistem Amerika Serikat. Kita lebihcondong pada sistem Negara-Negara kontinental Eropa yang disebut halamanterdahulu, yakni langsung menganggap diri kita terikat dalam kewajibanmelaksanakan dan menaati semua ketentuan perjanjian dan konvensi yang telahdisahkan tanpa perlu mengadakan lagi perundang-undangan pelaksanaan(implementing legislation).

Orang yang meragukan kesimpulan demikian dapat mengatakan bahwa kecenderungan kitamengikuti sistem yang dianut beberapa Negara Eropa, bukannya disebabkan karenakita melakukannya dengan sadar tetapi untuk menutupi kenyataan bahwa kita belumatau lalai memproses kewajiban kita berdasarkan Perjanjian Internasional yangtelah diadakan ke dalam bentuk perundang-undangan Nasional.

Dalam beberapa hal tertentu terutama dalam keadaan kita turut serta dalam suatukonvensi yang mengandung berbagai perubahan dan pembaharuan, kelalaian demikianmemang bisa menimbulkan keadaan yang kurang diinginkan. Orang, terutama parapetugas di lapangan tentu berpegang pada ketentuan perundang-undangan yang ada(dan belum) diubah yang didasarkan atas konvensi yang lama, sedangkan sebagaiNegara kita sudah resmi terikat pada konvensi yang baru.[1]

Memang tak dapat disangkal bahwa sebaiknya kita mengundangkan apa yang sebagaipihak peserta suatu perjanjian telah mengikat kita apalagi apabila kelalaianmelakukan hal itu bisa menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaan hukum yangberlaku.

Sebaliknya dapat dikemukakan bahwa dalam beberapa hal pengundangan demikiantidak terlalu perlu karena masalahnya tidak menyangkut banyak orang ataupersoalannya sangat teknis dan ruang lingkupnya sangat terbatas. Contohperjanjian atau konvensi demikian ialah Konvensi tentang Hukum mengenaiPerjanjian Internasional, Konvensi tentang Hubungan Diplomatik dan KonvensiICAO. Dalam hal ada pertentangan dengan ketentuan perundang-undangan (yangbelum diubah) bagi Hakim atau pihak yang bersangkutan satu-satunya batu ujianbagi terikat atau tidaknya Negara yang bersangkutan ialah apakah perjanjiantersebut telah mengikat kita dengan sah atau tidak.

Tetapi dalam beberapa hal menurut pendapat penulis pengundangan dalamUndang-Undang Nasional adalah mutlak diperlukan yakni antara lain apabiladiperlukan perubahan dalam Undang-Undang Nasional yang langsung menyangkut hakWarga Negara sebagai perorangan. Misalnya apabila turut sertanya Indonesia padasuatu konvensi mengakibatkan bahwa suatu kejahatan yang dapat dipidana yangsebelumnya tidak dikualifikasikan demikian atau apabila ada perubahan dalamancaman hukuman, seperti misalnya dalam hal kejahatan penerbangan (hijacking)dan kejahatan terhadap sarana penerbangan.[2]Demikianlah pendapat penulis mengenaisuatu hal yang di Negara kita yang masih muda ini memang tidak diaturseperti juga persoalan pengesahan Perjanjian Internasional yang sedikit banyakturut menentukan jawaban atas persoalan ini.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]Untuk menyebut satu contoh saja yakni mengenai pelaksanaan suatu Konvensi dibidang Keselamatan Jiwa di Laut: Indonesia telah lama menjadi peserta Safety ofLife at sea Convention (disingkat SOLAS) 1960, tetapi perundang-undangannasional yang berlaku yakni Schepen-Ordonnanties dan Schepen-Verordening tahun1931 dibuat berdasarkan SOLAS tahun 1928.
Sementara itu SOLAStahun 1960 sudah diganti/diubah dengan adanya SOLAS tahun 1972.
[2]Lihat Undang-Undang No.4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan BeberapaPasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bertalian dengan Perluasanberlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana,Kejahatan Penerbangan, danKejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan.








Demikianlah Artikel MOCHTAR KUSUMAATMADJA: HUBUNGAN ANTARA HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL

Sekianlah artikel MOCHTAR KUSUMAATMADJA: HUBUNGAN ANTARA HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel MOCHTAR KUSUMAATMADJA: HUBUNGAN ANTARA HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL dengan alamat link https://www.cyberlaw.my.id/2012/04/mochtar-kusumaatmadja-hubungan-antara.html