Judicial Review Piagam ASEAN

Judicial Review Piagam ASEAN - Hallo sahabat Cyberlaw Indonesia, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Judicial Review Piagam ASEAN, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel News, Artikel treaties and domestic law, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Judicial Review Piagam ASEAN
link : Judicial Review Piagam ASEAN

Baca juga


Judicial Review Piagam ASEAN

SINAR HARAPAN, 09.06.2011
Penulis : Damos Dumoli Agusman*   

Diskusi tentang uji materi (judicial review) terhadap Piagam ASEAN ke Mahkamah Konstitusi di harian ini melalui artikel Achmad Suryono (Menggugat Arogansi Negara) dan Kristanto Hartadi (Menggugat Masyarakat Asean 2015) sangat menarik.
Tanpa mengurangi inti persoalan tentang konstitusionalitas Piagam ASEAN yang memang cukup penting, namun terdapat pertanyaan mendasar yang mengitarinya yang mungkin tidak kalah penting, yaitu apakah mekanisme konstitusi kita memungkinkan suatu perjanjian internasional di-judicial review?
Persoalan status hukum perjanjian internasional dalam hukum nasional RI belum jelas (Damos Agusman; Hukum Perjanjian Internasional, Teori dan Praktek Indonesia, 2010). Apakah perjanjian internasional merupakan bagian dari hukum nasional RI?
Pandangan publik selama ini selalu akan serta merta mengartikan bahwa Piagam ASEAN adalah identik dengan UU No. 38 Tahun 2008 yang meratifikasinya. Karena Piagam ASEAN adalah (telah menjadi) UU maka akan menjadi logis pula untuk berpandangan bahwa UU ini dapat di-uji materi-kan ke MK.
Tetapi apakah benar bahwa UU No 38/2008 identik dengan Piagam ASEAN itu sendiri? Perdebatan yang sebenarnya justru pada aspek prosedural ini. Bagi ahli hukum tata negara kemungkinan besar akan melihat ini identik karena memang UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan UU secara implisit tidak membedakan UU dengan UU yang meratifikasi suatu perjanjian internasional.
Namun bagi pengamat hukum internasional, persoalannya agak lain. Kalangan ini cenderung melihat Piagam ASEAN sebagai produk hukum yang berdiri sendiri terlepas dari legislasi nasional yang meratifikasinya.
Menurut teori yang dikenal dalam Hukum Tata Negara RI, perjanjian internasional (traktat) sudah dikenal sebagai sumber hukum dan kedudukannya adalah berdiri sendiri dan terpisah dari UU.
Namun, seperti yang disinyalir oleh Prof. Bagir Manan (2008), dituangkannya perjanjian internasional ke dalam bentuk UU pengesahan, terlepas dari arti kedudukan UU ini, merupakan suatu “kontradiksi keilmuan”.
Sejak mulai berlakunya UUD 1945, tidak terdapat praktik bahkan wacana sekalipun untuk mengkonstruksikan perjanjian internasional ke dalam sistem perundang-undangan.
Dalam hukum dan praktik Indonesia sampai akhir Orde Baru, status perjanjian internasional tidak dipersoalkan dalam perpektif perundang-undangan karena memang belum ada ketertarikan hukum tata negara Indonesia tentang kedudukan dan status perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional.
Tidak Menjelaskan
UU No. 24 tentang Perjanjian Internasional tidak secara tegas menjelaskan kedudukan perjanjian internasional dalam sistem perundang-undangan namun hanya menyatakan bahwa perjanjian internasional disahkan dengan undang-undang/Peraturan Presiden tanpa lebih lanjut menjelaskan apa arti dan konsekuensinya bagi perundang-undangan Indonesia.
Apakah dengan pengesahan dengan UU maka perjanjian internasional menjadi setara dengan UU merupakan pertanyaan yang masih belum terjawab sampai saat ini.
Namun ada baiknya untuk menelusuri prosedur hukum Indonesia tentang pemberlakuan suatu perjanjian internasional sampai dia mengikat Indonesia. Pasal 11 UUD 45 hanya menyebutkan “Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, damai dan membuat perjanjian dengan Negara lain”.
Muhammad Yamin sebagai salah satu perumus UUD 1945 pernah menyatakan bahwa “tidak diterapkan dalam Pasal 11 bentuk juridis lain daripada persetujuan DPR, sehingga persetujuan DPR itu sendiri berupa apapun telah mencakupi syarat formil menurut Konstitusi Pasal 11 (Naskah Persiapan UUD 1945, Jilid III, 1960)". Dari konstruksi ini maka UU No. 38 Tahun 2008 pada hakikatnya, dan tidak lain, adalah bentuk ”persetujuan DPR” dan bukan Piagam ASEAN itu sendiri.
Hal ini terlihat karena UU No 38/2008, sebagaimana layaknya UU yang meratifikasi lainnya, hanya memuat 2 pasal, yang pertama hanya menyebut "mengesahkan Piagam ASEAN", yang kedua hanya mengatakan tanggal mulai berlakunya UU ini.
Ini semakin dibuktikan dengan prosedur berikutnya. Setelah diterbitkannya UU ini maka Menteri Luar Negeri mengeluarkan suatu dokumen formal yang disebut instrumen ratifikasi untuk disampaikan kepada Sekjen ASEAN.
Dengan diterimanya instrumen ratifikasi ini maka sejak itulah Piagam ASEAN mulai berlaku terhadap Indonesia. Tanggal berlakunya UU No 38/2008 dengan tanggal berlakunya Piagam ASEAN berbeda. Hal ini sudah memperlihatkan bahwa kedua dokumen ini tidak pernah identik. Kalau keduanya tidak identik, yang mana yang akan di-judicial review oleh MK?
Jika dua pasal pada UU No 38/2008 yang akan di-judicial review maka tidak akan ditemukan masalah konsitutionalitas. Namun jika Piagam ASEAN yang akan di-judicial review, pertanyaannya adalah dapatkah MK menguji perjanjian internasional sebagai produk hukum internasional?
Secara teoritis, persoalan ini berakar pada ketidakjelasan tentang aliran/doktrin yang dianut oleh hukum Indonesia tentang hubungan perjanjian internasional dan hukum nasional. Pada negara-negara maju, aliran ini telah dicerminkan dalam UUD yang secara tegas memuat kaidah tentang apa status perjanjian internasional dalam hukum nasionalnya.
Sistem hukum Indonesia sayangnya masih belum memberi perhatian pada permasalahan ini sehingga jangankan pada tataran konstitusi, wacana publik ke arah pembentukan politik hukum tentang persoalan ini juga belum dimulai.
Setidaknya dua faktor yang mengakibatkan politik hukum tentang status perjanjian internasional dalam hukum nasional tidak pernah berkembang. Pertama, perjanjian internasional masih merupakan kajian primadona dari para pakar hukum internasional ketimbang pakar hukum tata negara.
Sekalipun para pakar hukum tata negara Indonesia secara tegas mengakui bahwa traktat adalah salah satu sumber hukum tata negara, namun kajian tentang traktat tersebut dalam perspektif hukum tata negara masih sangat terbatas.
Di lain pihak, kajian hukum perjanjian internasional, sekalipun sudah menjadi kurikulum baku di Indonesia, masih berhenti pada aspek hukum internasional tentang perjanjian internasional dan belum memasuki wilayah hukum tata negara Indonesia.
Kedua, pada masa Orde Baru, di tengah-tengah kekuasaan eksekutif yang sangat dominan, nyaris tidak ada persoalan atau perdebatan tentang status serta perjanjian internasional di Indonesia. Kalaupun persoalan ini muncul, maka penyelesaian politik ketimbang hukum lebih diutamakan.
Dalam situasi ketiadaan dasar konstitusi yang jelas inilah MK diperhadapkan dengan gugatan uji materi Piagam ASEAN. Apa pun yang menjadi keputusan MK akan menjadi sangat penting, bukan hanya bagi penggugat dan Pemerintah RI/DPR, namum juga bagi dunia akademisi hukum.
Namun yang patut dicatat adalah jika MK memutuskan bahwa Piagam ASEAN bertentangan dengan UUD 1945, maka dilema hukum akan muncul bagi Indonesia (sebagai Negara), yaitu menghormati UUD 1945 dengan cara melanggar hukum internasional, atau menghormati hukum internasional dengan cara melanggar UUD 1945.
Sebab, menurut hukum internasional, Indonesia tidak boleh menolak melaksanakan perjanjian yang disetujuinya dengan alasan bertentangan dengan hukum nasional.
*Penulis adalah mantan Direktur Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri RI dan saat ini bertugas sebagai Konsul Jenderal RI di Frankfurt. Artikel ini murni pandangan akademis penulis.


Demikianlah Artikel Judicial Review Piagam ASEAN

Sekianlah artikel Judicial Review Piagam ASEAN kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Judicial Review Piagam ASEAN dengan alamat link https://www.cyberlaw.my.id/2012/04/judicial-review-piagam-asean.html