DISKUSI BAPAK I WAYAN PARTHIANA DENGAN BAPAK DAMOS DUMOLI AGUSMAN MENGENAI MASALAH-MASALAH POKOK/KAJIAN AKADEMIS (TEORITIS DAN PRAKTIS) SEKITAR PEMBUA

DISKUSI BAPAK I WAYAN PARTHIANA DENGAN BAPAK DAMOS DUMOLI AGUSMAN MENGENAI MASALAH-MASALAH POKOK/KAJIAN AKADEMIS (TEORITIS DAN PRAKTIS) SEKITAR PEMBUA - Hallo sahabat Cyberlaw Indonesia, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul DISKUSI BAPAK I WAYAN PARTHIANA DENGAN BAPAK DAMOS DUMOLI AGUSMAN MENGENAI MASALAH-MASALAH POKOK/KAJIAN AKADEMIS (TEORITIS DAN PRAKTIS) SEKITAR PEMBUA, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel law of treaties, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : DISKUSI BAPAK I WAYAN PARTHIANA DENGAN BAPAK DAMOS DUMOLI AGUSMAN MENGENAI MASALAH-MASALAH POKOK/KAJIAN AKADEMIS (TEORITIS DAN PRAKTIS) SEKITAR PEMBUA
link : DISKUSI BAPAK I WAYAN PARTHIANA DENGAN BAPAK DAMOS DUMOLI AGUSMAN MENGENAI MASALAH-MASALAH POKOK/KAJIAN AKADEMIS (TEORITIS DAN PRAKTIS) SEKITAR PEMBUA

Baca juga


DISKUSI BAPAK I WAYAN PARTHIANA DENGAN BAPAK DAMOS DUMOLI AGUSMAN MENGENAI MASALAH-MASALAH POKOK/KAJIAN AKADEMIS (TEORITIS DAN PRAKTIS) SEKITAR PEMBUA


Komentarini ditulis dalam rangka menanggapi Paper Bapak Parthiana yang disampaikandalam Expert Group Meeting tentang Perjanjian Internasional yangdiselenggarakan di LPHI FH UI Depok, 9 Januari 2007 yang tidak sempat sayabahas dalam pertemuan tersebut.

Secara umum Paper tersebut sangat bermanfaat bagi kami di Deplu yangsehari-hari berkecimpung dalam praktek pembuatan perjanjian internasional.Terlebih lagi berdasarkan pengamatan kami bahwa Bapak Parthiana adalah salahsatu dari sedikit akademisi yang sangat loyal dan devoted terhadap pengembangancabang hukum perjanjian internasional. Sehingga tidaklah mengherankan bahwapaper ini menyentuh banyak aspek-aspek yang sangat tidak asing bagi kami diDeplu dan bahkan sangat membantu dalam meyakini bahwa masih banyak permasalahanyang perlu dibenahi.

Komentar saya terhadap Paper ini lebih ditekankan kepada persepsi praktekterhadap isssue yang diangkat oleh Bapak Parthiana. Dalam kaitan ini, sayalebih menekankan pada apa kata praktek Indonesia terhadap permasalahan yangdiangkat. Seperti difahami, dalam hukum internasional, praktek suatu negaramerupakan fundasi utama dalam menganalisa suatu norma hukum internasional olehsebab itu saya akan melengkapi analisa Bapak Parthiana dalam perspektif praktekIndonesia sehingga tidak terjadi kesenjangan antara apa yang dibayangkan olehpara akademisi dengan praktek negara.

Secara umum, pertanyaan-pertanyaan yang diangkat oleh Bapak Parthiana dalampapernya adalah sebagian besar tentang ”status perjanjian internasional dalamhukum nasional”, masalah sentral yang saya perkenalkan dalam Expert GroupMeeting tersebut. Sekalipun Bapak Parthiana tidak menghendaki pendekatanmonisme-dualisme dalam menganalisa masalah ini, namun tanpa disadari pandanganyang dianut mengarah pada satu isme, yang dalam rapat interdep pada PemerintahRI merupakan salah satu kubu yang cukup kuat.

Motivasi saya untuk membuat komentar ini adalah guna mendorong adanya diskusidan diskursus yang intensif tentang masalah ini guna mengklarifikasipermasalahan yang kita hadapi dalam dunia praktek. Menurut saya, masalah inisudah berlarut-larut dalam praktek dan cenderung mengarah pada inkonsistensidan menimbulkan ketidakpastian hukum. Oleh sebab itu sudah saatnya masalah inidikembalikan pada tataran akademisi guna mendapatkan kejelasan tentang anatomipersoalan ini yang menurut hemat saya berakar dari perdebatan tentang teorihubungan hukum internasional dan hukum nasional. Dalam kaitan ini, saya menyambutgembira adanya kesimpulan Expert Group Meeting tersebut tentang perlunyadiambil suatu sikap dalam bentuk legal provisions tentang hubungan hukuminternasional dan nasional di Indonesia.

Mengenai Pasal 11 UUD 1945
è Komentar I WayanParthiana


Dengan jatuhnya Orde Baru pada tangal 16 Mei 1998 dan kemudian lahirnya OrdeReformasi yang salah satu agendanya adalah mengubah (mengamendemen) UUD 1945antara lain karena UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepadaeksekutif yang telah melahirkan sistem pemerintahan yang otoriter untuk diubahdengan sistem yang lebih memberikan jaminan keseimbangan antara eksekutif danlegislatif. Salah satu Pasalnya yang juga tidak luput dari perubahannya adalahPasal 11 yang mengalami dua kali perubahan, yang pertama pada Perubahan Ketiga(2001) dan yang kedua kalinya pada Perubahan Keempat (2002). Sedangkan padaPerubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang Pertama (1999) dan Kedua (2000), Pasal11 tidak mengalami perubahan atau tetap seperti naskah Pasal 11 yang lama.

A. Pasal 11 UUD 1945 Perubahan Ketiga (2001) dan Keempat (2002)

Dalam UUD 1945 Perubahan Pertama (1999) dan Kedua (2000), ternyata Pasal 11tidak mengalami perubahan, jadi rumusannya tetap seperti semula. Pasal 11 barudiubah dalam Perubahan Ketiga (2001) dan Keempat (2002). Dalam Perubahan Ketiga(2001), naskah Pasal 11 lama tampaknya dihapuskan sedangkan ayat 2 dan 3nyaadalah merupakan hasil Perubahan Ketiga(2001). Jelasnya, rumusan Pasal 11 ayat2 dan 3 tersebut adalah sebagai berikut:

Pasal 11 ayat 2:
Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibatyang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangannegara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang, harusdengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 11 ayat 3:
Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur denganundang-undang.

Akan tetapi dalam Perubahan Keempat (2002), Pasal 11 naskah yang lama ternyatadimunculkan lagi dan dijadikan sebagai Pasal 11 ayat 1. Dengan demikian,rumusan akhir yang selengkapnya dari Pasal 11 ayat 1, 2, dan 3 yang terdiridari Perubahan Ketiga (2001) dan Perubahan Keempat (2002) adalah sebagaiberikut:
(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang,membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.

(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkanakibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan bebankeuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang,harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur denganundang-undang.

Ada beberapa catatan dan komentar yang dapat dikemukakan berkenaan dengan substansidari Pasal 11 ayat 2 dan 3 Perubahan Ketiga (2001) dan Perubahan Keempat (2002)ini sebagai berikut:

Pertama, terhadap ayat 1 yang merupakan naskah lama (semula), tidak tepat untukdisatukan pengaturan tentang menyatakan perang dan membuat perdamaian pada satupihak dan membuat perjanjian internasional pada lain pihak di dalam satu pasalataupun ayat, sebab keduanya sangat berbeda. Perang dan perdamaian lebih eratdengan masalah pertahanan dan keamanan negara yang pada dasarnya harus dicegahdan dihindari. Oleh karena itu sebaiknya dipindahkan dan disatukanpengaturannya di dalam Bab tentang Pertahanan dan Keamanan Negara (Bab XII).Atau dihapuskan sama sekali dari UUD dan cukup diatur dalam bentukundang-undang sebab agak janggal jika sebuah negara seperti Indonesia yangcinta damai namun undang-undang dasarnya secara tegas mengatur tentang perang.Sangat berbeda dengan perjanjian internasional yang merupakan suatu instrumenhukum internasional yang sangat dibutuhkan untuk mengatur kehidupan masyarakatinternasional dan oleh karena itu sebaiknya secara khusus diatur di dalam Babtersendiri atau digabungkan di dalam Bab tentang Hubungan Luar Negeri, denganrumusan yang lebih sesuai dengan realitas mengenai perjanjian internasional itusendiri pada masa kini maupun yang akan datang.

Kedua, terhadap ayat 2 sebagai naskah baru yang substansinya lebih tampaksebagai kriteria tentang suatu perjanjian internasional yang harus membutuhkanpersetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Kriteria ini sebenarnya tidak perlu secaraeksplisit dinyatakan di dalam Undang-Undang Dasar tetapi lebih tepat diturunkandan dicantumkan di dalam materi undang-undang pelaksanaannya seperti ditegaskanpada ayat 3.

Ketiga, munculnya ketentuan ayat 2 yang mengharuskan Presiden memintapersetujuan Dewan dalam pembuatan perjanjian-perjanjian internasional yangmateri atau substansinya sangat penting dan menyangkut hajat hidup orangbanyak, tampaknya disebabkan karena perancang naskah ayat 2 ini menafsirkanayat 1 (Pasal 11 lama) tersebut, yakni, Presiden dengan persetujuan DewanPerwakilan Rakyat membuat perjanjian dengan negara lain, sebagai bersifatfakultatif. Hal ini tampaknya juga dihubungkan dengan fakta yang berlakusebelumnya (pada masa Orde Lama dan Orde Baru) dimana Presiden bebas menentukanapakah suatu perjanjian internasional perlu dimintakan ataukah tidak dimintakanpersetujuan kepada Dewan sementara Dewan sendiri juga tidak pernahmempermasalahkannya.

Mengenai peraturan perundang-undangan pelaksanaan dari Pasal 11 UUD 1945tersebut, -setelah selama kurang lebih empat puluh tahun berdasarkan pada SuratPresiden Nomor: 2826/HK/1960 Tanggal 22 Agustus 1960- diwujudkan dalam bentukundang-undang, yakni, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang PerjanjianInternasional yang mulai berlaku pada tanggal 23 Oktober 2000. Akan tetapiUndang-Undang ini masih berdasarkan pada Pasal 11 UUD 1945 yang lama (semula)sebagaimana tercantum di dalam Konseiderans Mengingat butir 1. Tampaknya halini disebabkan karena ketika diundangkannya Undang-Undang ini, Pasal 11 yangberlaku adalah Pasal 11 lama/semula, sebab dalam Perubahan Pertama (1999) danKedua (2000) seperti dikemukakan di atas, Pasal 11 belum diubah (masih tetapseperti naskah Pasal 11 UUD 1945 yang lama/semula.

Namun dengan diubahnya Pasal 11 yang kini menjadi Pasal 11 ayat 1, 2, dan 3 UUD1945 Perubahan Ketiga (2001) dan Keempat (2002) seperti telah dikutip di atas,timbul pertanyaan, apakah substansi dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 inimasih sesuai ataukah harus diubah lagi supaya benar-benar merupakan penjabarandari isi dan jiwa Pasal 11 ayat 1, 2, dan 3 UUD 1945 Perubahan Ketiga (2001)dan Keempat (2002) yang kini berlaku sebagai dasar hukum dari perjanjianinternasional? Jawaban atas pertanyaan ini tentulah tidak sederhana, dan untukitu perlu dilakukan pengkajian secara lebih mendalam.
è Komentar DamosDumoli Agusman

Penggabungan pernyataan perang dan membuat perjanjian dalam satu wadah (ayat)dalam ps 11 ayat 1 UUD 45 pada hakekatnya tidak perlu diperdebatkan apalagijika dikaitkan dengan karakternya yang kontras. Pasal 11 ini adalah kewenanganKepala Negara dalam kaitannya dengan hubungan dan politik luar negeri yangsecara tradisional pada waktu itu adalah perang, damai dan membuat perjanjian.Seperti dimaklumi hukum internasional tradisional adalah hukum perang dan damaidan membuat perjanjian sehingga pencantuman ketiga external relations conceptsini dalam satu nafas dapat dipahami dan sangat logis. Jika ditilik dari segikontradiktifnya maka lebih tidak mungkin perang dan damai dalam satu ayatketimbang dengan perjanjian internasional.

Pasal 11 ayat 1 UUD 45 sudah dijabarkan dalam UU No. 24/2000 dan untuk itu UUini harus dilihat, dan mungkin dapat dikonstruksikan sebagai interpretasi ataspasal 11 UUD 45. Sehingga pertanyaan atas butir I.1. b Makalah Bapak Parthianasudah terjawab.
Dalam hal ini, ”persetujuan DPR”adalah identik dengan ”pengesahan” menurut definisi UU No. 24/2000.

Apakah DPR dapat menolak memberikan persetujuan (pengesahan)? Tentu saja.Mekansime penolakan ini sama dengan mekanisme penolakan terhadap RUU yangoutputnya adalah ”RUU yang mengesahkan PI dimaksud tidak disetujui dan dengandemikian tidak diundangkan”. Pertanyaan Bapak Parthiana yang menarik adalahbagaimana jika Pemerintah tetap ngotot untuk terikat pada PI dimaksud? Sayalebih konkrit mempertajam pertanyaan ini dengan ”dapatkah dilakukan melaluiPerpu?”. Jawabannya akan sangat tergantung pada perdebatan tentang status UUyang meratifikasi PI, apakah produk legislasi atau hanya ”jubah” yangmenyatakan persetujuan DPR. Dari sisi the law of treaties, pengesahan melaluiPerpu mengandung resiko hukum, yaitu jika Perpu ditolak diundangkan makaIndonesia harus menarik diri dari Perjanjian yang sempat disahkah.

Pengertian tentang ”perjanjian internasional lainnya” pada pasal 11 ayat 2sudah dijelaskan oleh Pemerintah RI kepada MK pada kasus judicial review UUMigas, yaitu sebagai perjanjian yang dibuat dengan subjek HI lainnya dan halini didukung oleh data pada historis perumusan pasal ini. Jurisprudensi MKmengakui pengertian semacam ini.

Pertanyaan Pak Parthiana tentang apakah ps 11 ayat 2 dibaca sebagai suatukesatuan atau tersendiri (dalam legal drafting kita sering menyebutnya ”or”atau ”and” atau ”or/and”) cukup menarik. Dari segi praktis kami menilai ayatini sebagai suatu kesatuan karena historis tentang pasal ini adalah ”traumaLetter of Intent RI-IMF 1997. Kesulitan kami adalah apakah kriteria ini hanyaterhadap ”perjanjian internasional lainnya”? Apakah terhadap perjanjian internasionalversi ayat 1 cukup menggunakan kriteria pasal 10 UU No. 24/2000? Dalam hal inikekuatiran Pak Parthiana betul bahwa ini dapat menimbulkan multi interpretasi.
è Komentar I Wayan Parthiana

Saya tetap pada pendirian, bahwa Pasal 11 ayat 1 yang substansinyamenggabungkan antara perang dan perdamaian pada satu pihak dengan perjanjianpada pihak lain, adalah tidak tepat sama sekali, alasanya:
a. Landasan filosofi dari keduanya sangat berbeda;perang adalah perbuatanmenghancurkan pihak lawan dengan hasil kalah dan menang dengan segalakonsekuensinya, sedangkan perjanjian internasional adalah mewujudkanperdamaian. Keduanya sangat kontradiktif/bertolak-belakang;
b. Landasan faktualnya juga sangat berbeda; yang pertama harus dicegah atauditiadakan atau minimal dikurangi terjadinya, sedangkan yang kedua justrusangat dibutuhkan dan karena itu semakin banyak ada perjanjian internasionalmaka sangat positif bagi masyarakat internasional;
c. Hukum yang mengaturnya juga berbeda, yang pertama diatur oleh hukum perangatau sekarang: hukum humaniter, sedangkan yang kedua diatur oleh hukumperjanjian internasional;
d. Indonesia sebagai negara cinta damai, walaupun demi kemerdekaan tidak seganuntuk berperang, menjadi sangat aneh kalau UUDnya secara eksplisit mencantumkantentang perang. Oleh karena itu saya lebih ektsrim lagi berpendapat, bahwatidak perlu ada pencantuman tentang perang di dalam UUD Indonesia. Tentangperang ini, sudah cukup diatur dalam undang-undang saja sebagaipentransformasian dari Konvensi Jenewa 1949 yang sejak 1958 sudah diratifikasioleh Indonesia tetapi hingga kini belum ada undang-undang pentransformasiannya.

Memang benar Pasal 11 ayat 1 UUD 1945 ini sudah dijabarkan di dalam UU Nomor 24tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, tetapi penjabaran ini hanyaterbatas mengenai (pembuatan) perjanjian internasional saja. Sedangkan tentangperang dan perdamaian (keduanya harus dibaca sebagai satu kesatuan, bukanterpisah), hingga kini belum ada undang-undang tentang penjabarannya.

Dalam hal terjadi ketegangan antara Presiden (eksekutif) dan DPR (legislatif)berkenaan dengan perjanjian internasional (sudah tentu perjanjian yangpengikatan diri pada perjanjian internasional itu dan selanjutnya tentangpemberlakuannya ke dalam hukum nasional membutuhkan persetujuan DPR/denganundang-undang), adalah sangat besar risikonya bagi Presiden (eksekutif) jikaPresiden memaksakan kehendaknya untuk meneruskan mengikatkan diri padaperjanjian itu dengan melangkahi DPR, ataupun dengan memberlakukan (mengesahkandan mengundangkan) perjanjian internasional itu dengan PERPU, sebab sudah dapatdipastikan bahwa DPR pada waktunya nanti akan menolaknya, sehingga tindakanPresiden itu menjadi mubazir, kecuali jika belakangan DPR berubah pendirian.Bahkan DPR bisa menggunakan haknya untuk meminta interpelasi kepada Presiden.

Sebagai suatu perjanjian internasional, pada aras internasional dia sudahmendapat nama dan bentuk, apapun nama dan bentuknya itu, seperti: treaty,convention, agreement, arrangement, charter, statute, covenant, pact, act, danlain-lain. Sayangnya, nama-nama ini tidak selamanya menggambarkan bobot isiatau substansinya. Dengan kata lain, meminjam istilah Pak Damos, perjanjian itusudah mendapat “jubah”. Namun karena dia akan masuk ke dalam dan menjadi bagiandari hukum nasional negara-negara yang sudah menyatakan persetujuan terikat(meratifikasi) dan salah satu negara itu misalnya, Indonesia, maka perjanjianitu diberi jubah lagi yang tersedia di dalam hukum nasional (Indonesia),seperti undang-undang dan keppres, kecuali perjanjian internasional dalamkategori self-executing treaty di atas.

Setelah perjanjian internasional itu masuk ke dalam dan menjadi bagian darihukum (positif) nasional Indonesia, secara yuridis formal, dia sama sepertiundang-undang ataupun keppres yang lain, yakni, sama-sama mengikat sebagaihukum positif nasional. Akan tetapi, karena dia hukum yang berasal dari luaryang masuk ke dalam wilayah dan menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia,tentu saja dia berinteraksi dan menimbulkan dampak/pengaruh terhadap hukumnasional pada umumnya, peraturan perundang-undangan nasional pada Indonesiapada khususnya.

Apa saja pengaruhnya itu? Memang tidak mudah untuk menjawab secara pasti ataspertanyaan ini, sebab masalahnya menjadi cukup kompleks. Kalaupun seya jawab,akan terlalu panjang jadinya. Bahkan bisa menjadi satu makalah tersendiri. Sayasaranka, supaya Deplu bekerjasama dengan Dephukham atau dengan instansi lainyang terkait, memprakarsai penyelenggaraan seminar tentang: Status HukumPerjanjian Internasional dan Pengimplementasiannya dalam Hukum NasionalIndonesia.

Menurut pendapat saya, substansi yang beraneka macam dari perjanjian-perjanjianinternasional yang selanjutnya diberi nama oleh negara-negara yang membuatnyatanpa standar yang pasti itulah yang menjadi sumber masalah yang utama dalammenjawab pertanyaan tentang bagaimana pengimplementasian perjanjianinternasional di dalam wilayah negara (termasuk: Indonesia). Jadi substansimasing-masing perjanjian itulah yang harus dikaji secara mendalam terlebihdahulu, sehingga menjadi jelas.

Sedangkan doktrinnya, dapat disusun atau dirumuskan sesuai dengan situasi riildan yang paling sesuai dengan kenyataan di lapangan. Patut disadari, bahwadoktrin yang rumusannya abstrak dan umum, tidak berasal dari langit danditurunkan ke bumi untuk menjawab masalah-masalah di bumi, melainkan dirumuskandari kenyataan-kenyataan di bumi yang kemudia diabstraksikan ke dalam rumusansecara sistematis, abstrak dan umum dan selanjutnya itulah disebut doktrin.

Mengenai Dimensi Nasional dan Internasional Perjanjian Internasional
è Komentar I Wayan Parthiana

Selain daripada masalah-masalah yuridis-teoritis seperti dipaparkan di atasternyata masih ada masalah-masalah yuridis-praktis yang timbul sebagaikelanjutan dari pembuatan dan pengikatan diri negara Indonesia pada suatuperjanjian internasional serta pemberlakuannya ke dalam dan menjadi bagian darihukum nasional Indonesia. Masalah-masalah tersebut sebagian besar adalahmasalah-masalah dalam ruang lingkup hukum nasional Indonesia. Secarakronologis, masalah-masalah tersebut adalah:
Pertama, Indonesia sebelum mengikatkan diri atau menyatakan persetujuan terikatpada suatu perjanjian internasional sebagaimana lazimnya, akan mengkaji secaramendalam lebih dahulu substansi dari perjanjian internasional itu. Pengkajianini penting, sebab masuknya atau berlakunya suatu perjanjian internasional kedalam hukum nasional (Indonesia) dapat menimbulkan pelbagai dampak terhadaphukum atau peraturan perundang-undangan yang terkait. Persoalan-persoalan yangterkait dalam hal ini adalah, sejauhmanakah substansi perjanjian internasionalitu sesuai ataupun bertentangan dengan kepentingan nasional ataupun hukum atauperaturan perundang-undangan nasional dalam bidang yang bersangkutan,sejauhmanakah peraturan perundang-undangan nasional harus diubah dandisesuaikan dengan perjanjian internasional itu, adakah ketentuan perjanjianinternasional itu bertentangan atau tidak sesuai dengan kepentingan nasionalatau dengan peraturan perundang-undangan yang substansinya sangat fundamentaldan karena itu perlu diajukan pensyaratan (reservation), bagaiman penjabaransubstansi perjanjian internasional itu ke dalam hukum atau peraturanperundang-undangan nasional Indonesia, dan lain-lain.
Kedua, mengenai pembedaan perjanjian internasional yang pemberlakuannya kedalam hukum nasional Indonesia antara yang membutuhkan dan yang tidakmembutuhkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 10 dan 11 Undang-UndangNomor 4 Tahun 2000). Yang petama pemberlakuannya dengan undang-undang sedangkanyang kedua dengan keputusan presiden. Meskipun kriteria pembedaannyaberdasarkan Undang-Undang ini sudah lebih rinci dibandingkan dengan SuratPresiden Nomor 2826/HK/1960, namun dalam prakteknya masih ada kemungkinantimbulnya perbedaan pendapat antara Presiden dan Dewan. Oleh karena dalamprakteknya Presidenlah yang menentukan perjanjian mana yang membutuhkan danyang tidak membutuhkan persetujuan Dewan, maka timbulnya kemungkinanpenyalahgunaan akan lebih besar pada Presiden. Jelasnya, perjanjian yangseharusnya membutuhkan persetujuan Dewan dan karena itu pemberlakuannya harusdengan undang-undang tetapi oleh Presiden tidak dimintakan persetujuan Dewandan karenna itu oleh Presiden cukup diberlakukan dengan keputusan presiden.Ataupun mungkin saja bisa terjadi hal yang sebaliknya.
Ketiga, kesalahan dalam penggolongan dan pemberlakuan seperti pada Kedua diatas, misalnya, suatu perjanjian internasional yang berdasarkan substansinyaseharusnya diberlakukan dengan undang-undang (dengan persetujuan Dewan) tetapidiberlakukan dengan keputusan presiden, dapat menimbulkan persoalan apabilakeputusan presiden tentang pemberlakuan perjanjian itu dijadikan sebagaikonsiderans dari undang-undang yang merupakan pelaksanaan dari perjanjian itu.Adalah janggal jika sebuah keputusan presiden yang kedudukannya dua tingkatlebih rendah daripada undang-undang dijadikan sebagai konsideransundang-undang.
Sebagai contoh nyata, misalnya, Convention on the Rights of the Child1989 (Konvensi tentang Hak Anak 1989) yang telah diratifikasi oleh Indonesiakemudian diberlakukan dengan keputusan presiden, yakni, Keputusan Presiden R.I. Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Childpada tanggal 25 Agustus 1990. Padahal substansinya adalah tentang hak asasimanusia yang seharusnya diberlakukan dengan undang-undang. Akan tetapi ketikaPemerintah Indonesia bermaksud untuk membuat undang-undang tentang perlindungananak, ternyata Konvensi ini yang sudah masuk menjadi bagian dari hukum nasionalIndonesia berdasarkan Keputusan Presiden tersebut akan dijadikan salah satukonsideransnya. Namun karena bentuknya keputusan presiden, tentulah tidak tepatsebuah keputusan presiden dijadikan konsiderans suatu undang-undang. Akibatnya,ketika Undang-Undang tentang Perlindungan Anak diundangkan pada tanggal 22Oktober 2002, Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 ini tidak dicantumkan didalam Konsiderans Undang-Undang tersebut padahal undang-undang ini justru merupakanpenjabaran atau pentransformasian dari materi dari Konvensi tentang Hak Anaktersebut.
è Komentar DamosDumoli Agusman

Permasalahan tentang kemungkinan ada kesalahan dalam pengesahan (yangseharusnya dengan UU tapi dengan Perpres) memang sangat menarik. Jika terdapatperbedaan penafsiran antara DPR dan Pemerintah tentang masalah ini maka tentuharus ditetapkan dulu melalui mekanisme sengketa antar lembaga negara.Persoalan eksternal akan muncul jika memang Perpres itu dinyatakan batal demihukum yang memaksa Pemerintah untuk menarik diri dari keterikatannya pada PIyang sudah disahkan.
è Komentar I WayanParthiana

Keempat, adanya kemungkinan pihak-pihak yang menggugat keabsahan dari suatuundang-undang tentang pemberlakuan perjanjian internasional kehadapan MahkamahKonstitusi ataupun menggugat keabsahan dari suatu keputusan presiden tentangpemberlakuan perjanjian internasional melalui hak uji materiil di hadapan badanpengadilan. Jika Mahkamah Konstitusi membenarkan gugatan itu ataupun Pengadilanmengabulkan permohon hak uji materiil itu, misalnya, dengan menyatakanundang-undang ataupun keputusan presiden itu tidak sah dan harus dibatalkan,tentu saja hal ini akan menimbulkan dampak eksternal, yakni, berkenaan denganhak yang sudah diterima dan kewajiban yang sudah dilakukan oleh Indonesia dalamhubungannya dengan negara peserta lainnya dalam perjanjian internasionaltersebut.
Kelima, berkenaan dengan perjanjian-perjanjian internasional yang setelahpemberlakuannya ke dalam hukum nasional Indonesia yang substansinya masih perluditransformasikan menjadi undang-undang nasional. Misalnyaperjanjian-perjanjian internasional mengenai kejahatan-kejahatan internasionalyang secara langsung berdampak terhadap hukum pidana nasional baik materiilmaupun formal. Oleh karena sudah cukup banyak konvensi mengenai kejahataninternasional yang sudah diratifikasi (meskipun masih lebih banyak yang tidakatau belum diratifikasi) oleh Indonesia, hal ini membutuhkan politik hukumnasional yang tersendiri dalam menghadapinya lebih-lebih dalam rangkapengkodifikasian hukum pidana Indonesia ke dalam Kitab Undang-Undang HukumPidana (KUHP) baru yang rancangan naskahnya sudah diajukan oleh Presiden kepadaDewan Perwakilan Rakyat. Hal yang sama juga berlaku dalam rangka penyempurnaanKitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Keenam, perjanjian-perjanjian internasional dalam golongan ketiga, yakni,perjanjian internasional yang pemberlakuannya ke dalam hukum nasional Indonesiadilakukan secara langsung (tidak dengan undang-undang ataupun dengan keputusanpresiden) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 15 ayat 1 Undang-Undang Nomor 24Tahun 2000. Dengan kata lain, perjanjian-perjanjian internasional dalamgolongan ini masuknya dan berlakunya ke dalam hukum nasional Indonesia samasekali tanpa suatu bentuk tertentu, seperti undang-undang, keputusan presiden,ataupun bentuk peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih rendah.Perjanjian-perjanjian semacam ini yang pada umumnya substansinya mengenaimasalah-masalah yang bersifat teknis-operasional, secara langsung mengikat dankemudian juga secara langsung dapat dilaksanakan setelah ditandangani olehwakil-wakil masing-masing pihak yang melakukan perundingan, atau setelahpertukaran dokumen atau nota diplomatik antara para pihak. Pada satu pihak, halini memang bisa dipahami, sebab Presiden atau eksekutif membutuhkan keleluasaandan kecepatan dalam bertindak terutama dalam menghadapi masalah-masalahinternasional yang semakin kompleks dan perubahan serta perkembagnannya yang sangatcepat. Oleh karena berlakunya tanpa bentuk, tentu menimbulkan masalah dalampengawasannya oleh pihak legislatif ataupun oleh publik. Dapatkah perjanjianseperti ini dimohonkan hak uji materiil ke hadapan Pengadilan? Ataubagaimanakah sikap hakim/pengadilan jika pada suatu waktu, perjanjian sepertiini dipersoalkan dalam suatu perkara yang sedang diperiksa olehhakim/pengadilan?
Ketujuh, kalau apa yang dipaparkan di atas berkenaan denganperjanjian-perjanjian internasional yang pemberlakuannya cukup didelegasikanoleh rakyat kepada pemerintah atau Pemerintah/Presiden bersama Dewan PerwakilanRakyat, ada lagi perjanjian internasional dalam golongan yang lain lagi, yakniperjanjian-perjanjian internasional yang sedemikian besar dan pentingnya sebabbenar-benar secara langsung menyangkut hajat hidup seluruh rakyat. Pengikatandiri pada perjanjan semacam ini, tidak cukup didelegasikan kepada kedua lembaganegara itu melainkan harus secara langsung oleh seluruh rakyat Indonesiamelalui suatu referendum. Dalam hal ini, hukum nasional negara-negara anggotaUni Eropah dapat dijadikan sebagai bahan bandingan. Misalnya, ketika Uni Eropahbermaksud menetapkan “Euro” sebagai mata uang tunggal Uni Eropah atau ketikahendak menetapkan Konstitusi Uni Eropah sebagai hukum/undang-undang dasar dariUni Eropah, dilakukan melalui referendum dari masing-masing negara anggotanya.Mengacu pada Uni Eropah tersebut, dan dalam rangka demokratisasi rakyatIndonesia serta juga dalam rangka perkembangan ASEAN pada masa yang akan datang,kiranya dalam hal-hal yang sangat atau maha penting seperti ini, perludilibatkan seluruh rakyat Indonesia. Tentu saja akan timbul masalahpemberlakuannya ke dalam hukum Indonesia, apakah juga dengan undang-undangataukah dengan bentuk hukum yang lebih tinggi seperti Ketetapan MPR? Masalahini perlu dikaji secara lebih mendalam.
Kedelapan, diberikannya hak atau kewenangan kepada “daerah” berdasarkanUndang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah untuk melakukanpinjaman luar negeri (Pasal 81) dan melakukan hubungan luar negeri (Pasal 88).Di samping masalah substansial, masalah lainnya yang ditimbulkan adalah bentukperaturan perundang-undangan tentang pemberlakuannya ke dalam hukum nasionalIndonesia, apakah dalam bentuk peraturan daerah, keputusan kepala daerah(Gubernur, Bupati ataukah Walikota) sehingga juga tunduk pada hak uji materiil.Ataukah diberlakukan secara langsung tanpa diberi bentuk sama sekali sepertihalnya dengan perjanjian internasional pada Keenam di atas. Masing-masing denganmasalah ikutannya seperti telah diuraikan di atas.
Kesembilan, mengenai ruang lingkup teritorial berlakunya suatu perjanjianinternasional, yakni, disamping ada perjanjian internasional yang diberlakukandi serluruh wilayah Indonesia, juga ada yang hanya diberlakukan di sebagianwilayah saja. Misalnya, di satu propinsi saja, atau di beberapa propinsi disatu pulau atau bagian pulau saja di wilayah Indonesia ini. Terhadap perjanjianinternasional semacam ini, terutama dalam era otonomi daerah dan juga denganadanya lembaga negara yang bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD) kiranya perludipertimbangkan keterlibatannya sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Bahkanjika substansinya berkenaan dengan masalah yang sangat berpotensi membahayakandaerah, mungkin juga perlu secara khusus keterlibatan rakyat daerah itu melaluireferendum. Sebagai contoh fiktif, perjanjian bilateral antara Indonesia dengansalah satu negara sahabat seperti India tentang pembangunan dan pengembangantenaga nuklir yang akan didirikan di suatu tempat di Sumatera Barat.
Kesepuluh, perjanjian-perjanjian internasional yang sudah diratifikasi olehIndonesia dan juga sudah diberlakukan ke dalam dan menjadi bagian dari hukumnasional Indonesia yang karena sudah tidak sesuai lagi, pada suatu waktudiganti dengan perjanjian yang baru. Jika Indonesia meratifikasi danmemberlakukan perjanjian yang baru tersebut ke dalam hukum nasionalnya baikdengan undang-undang ataupun keputusan presiden, sebaiknya ada diktum tentangtidak berlakunya lagi (pencabutan) undang-undang atau keputusan presiden yanglama itu. Demikian juga halnya jika perjanjian yang bersangkutan pada tataraninternasional sudah tidak diberlakukan lagi tetapi tidak diganti dengan yangbaru, sehingga sudah tidak perlu diberlakukan atau diterapkan di dalam wilayahIndonesia, maka undang-undang ataupun keputusan presiden yang memberlakukannyaitu juga perlu dinyatakan tidak berlaku lagi dengan suatu undang-undang ataupunkeputusan presiden.
Kesebelas, diantara perjanjian inernasional yang sudah diratifikasi dandiberlakukan dengan undang-undang, kemudian pada tataran internasional adaketentuan-ketentuannya yang membutuhkan peraturan pelaksanaan yang juga berupaperjanjian, -biasanya dengan nama protokol- yang derajat substansinya setingkatlebih rendah dibandingkan dengan substansi perjanjian itu. Jika Indonesiameratifikasi dan memberlakukannya ke dalam hukum nasional Indonesia, kiranyaperlu dipikirkan bentuk hukumnya, misalnya, peraturan pemerintah. Jika ide inidapat diterima, maka akan ada tiga bentuk peraturan perundang-undangan tentangpemberlakuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional Indonesia, yaitu:undang-undang, peraturan pemerintah, dan keputusan presiden. Tentu juga harusdisertai dengan pengubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000.
Keduabelas,satu lagi persoalan yang tampaknya terlupakan, yakni, bagaimanakeberadaan dari perjanjian-perjanjian internasional peninggalan jaman kolonialBelanda dengan negara-negara (kolonial) lain? Sejauh manakah perjanjian inimasih berlaku melalui Pasal-Pasal Aturan Peralihan dari Undang-Undang Dasaryang pernah dan sedang berlaku sekarang ini? Selama ini politik hukum Indonesiaberkenaan perjanjian-perjanjian peninggalan Belanda tampaknya sifatnya sangatkasuistis atau sama sekali tidak ada politik hukum yang komprehensif. DalamUndang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 juga tidak tampak ada pengaturan tentangperjanjian-perjanjian peninggalan jaman kolonial. Hal ini memang bisadimengerti, sebab semakin lama semakin jauh jarak waktu jaman kolonial itudengan jaman modern sekarang maupun yang akan datang, sehinggaperjanjian-perjanjian jaman kolonial itu satu per satu akan terkubur dan banyakyang sudah tidak sesuai lagi dan bahkan sudah diganti dengan yang baru, sepertiperjanjian-perjanjian tentang garis batas wilayah Republik Indonesiapeninggalan Belanda dengan Inggris di pulau Kalimantan.
Dari sudut pandang suatu negara, termasuk Indonesia, setiap perjanjianinternasional sudah pasti mengandung dimensi nasional dan internasional yang keduanyatidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya.



II.A Dimensi domestik suatu Perjanjian Internasional
è Komentar I WayanParthiana

Beberapa dimensi domestik (nasional) dari suatu perjanjian internasional,adalah:

a. Lembaga pemerintah/lembaga negara yang manakah yang berwenang untukmengambil inisiatif untuk membuat atau mengadakan perjanjian internasionaldengan negara lain ataupun dengan subyek-subyek hukum internasional lain selaindaripada negara?;

b. Bagaimana proses penunjukan dan pengangkatan serta pemberian surat kuasa(full powers) bagi wakil atau utusan Pemerintah Indonesia dalam melakukanperundingan ataupun menghadiri konperensi internasional yang akan merumuskannaskah perjanjian internasional?

c. Target ataupun sasaran yang hendak dicapai oleh Indonesia ataupunmasalah-masalah apa saja yang akan diperjuangkan oleh Indonesia dalamperundingan atau konperensi internasional yang akan merumuskan naskahperjanjian internasional tersebut?

d. Untuk perjanjian-perjanjian internasional yang pada arasinternasional,sebelumnya sudah ada atau sudah berlaku sebagai hukuminternasional positif, lembaga negara/pemerintah yang manakah yang berwenangmenyatakan persetujuan terikat pada (meratifikasi) suatu perjanjianinternasional?

e. Bagaimanakah proses pemberlakuan (pengesahan dan pengundangan)perjanjian-perjanjian internasional dimana Indonesia sudah menyatakanpersetujuannya untuk terikat atau sudah meratifikasinya, ke dalam wilayahIndonesia sehingga perjanjian intcrnasional itu masuk ke dalam dan berlakusebagai bagian dari hukum nasional Indonesia?

f. Setelah perjanjian internasional seperti pada butir c tersebut mulai berlakudan menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia, tentu saja akan menimbulkanimplikasi domestik, baik besar ataupun kecil, baik terhadap hukum atauperaturan perundang-undangan nasional yang terkait ataupun terhadap kehidupannon-hukum (seperti ekonomi, politik, sipil dan sosial budaya);

g. Oleh karena itu, sebelum Indonesia menyatakan persetujuan terikat pada suatuperjanjian internasional dan memberlakukannya ke dalam dan menjadi bagian darihukum nasional, sebaiknya dilakukan pengkajian secara mendalam atas substansiperjanjian itu maupun dampak yang ditimbulkannya pada aras domestik.

h. Jika setelah dilakukan pengkajian, ternyata ada ketentuan perjanjian ituyang bertentangan dengan hukum ataupun kepentingan nasional Indonesia,sedangkan pada lain pihak Indonesia memandang perlu untuk menjadi pihak/pesertapada perjanjian internasional itu, maka Indonesia dapat mengajukan persyaratan(reservation) atas ketentuan perjanjian tersebut. Namun persyaratan(reservation) itu hanya diperkenankan, apabila, tidak dilarang secara tegasoleh perjanjian itu, atau jika tidak ada larangan, pensyaratan itu tidakbertentangan dengan maksud dan tujuan dari perjanjian itu, atau jikapensyaratan itu tidak berkaitan dengan kaidah hukum vang tergolong jus cogens.

i. Ruang lingkup teritorial dari berlakunya suatu perjanjian internasional didalam wilayah NKRI. Ada perjanjian internasional yang berlakunya di seluruhwilayah RI, ada pula yang hanya bisa diberlakukan di sebagian saja, atau dibagian wilayah tertentu saja.

j. Persoalan yang timbul setelah suatu perjanjian internasional yang sudahdiberlakukan ke dalam wilayah dan menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia,adalah tentang pengimplementasiannya di dalam wilayah Indonesia.

Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan, antara lain:

1. Apakah perjanjian internasional itu dapat diimplementasikan secara langsungdi dalam wilayah Indonesia, sebagaimana peraturan perundang-undangan nasionalIndonesia yang lainnya?

(Catatan: Jawaban atas pertanyaan ini tidaklah mudah, sebab nama, bentuk,macam, demikian pula substansi dari perjanjian internasional itubermacam-macam, dari hal yang paling umum dan globa hingga yang palingteknis-operasional.)

2. Bagaimana jika dalam pengimplementasiannya itu ternyata baru diketemukan,bahwa ada ketentuan perjanjian internasional tersebut yang bertentangan denganperaturan perundang-undangan nasional Indonesia, baik UUD, UU, atauptunperaturan perundang-undangan lain yang lebih rendah? Mana yang harus diutamakanpenerapannya dan mana yang harus dikesampingkan? Yang manapun diutamakan,masing-masing ada konsekuensi hukumnya.

3. Apakah terhadap suatu perjanjian internasional yang sudah diberlakukan kedalam wilayah dan menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia dapat dimohonkanhak uji materiil ke hadapan Mahkamah Agung terhadap perjanjian internasionalyang diberlakukun dengan keputusan presiden /peraturan presiden ataupun hak ujikonstitusional ke hadapan Mahkamah Konstitusi terhadap perjanjian internasionalyang diberlakukan dengan undang-undang?

4. Jika dapat dan ternyata diputuskan bahwa keppres ataupun undang-undangtentang pemberlakuan perjanjian internasional itu dinyatakan tidak sah karenabertentangan dengan undang-undang ataupun Undang-¬undang Dasar, tentu saja halini akan menimbulkan dampak internal (domestik) maupun eksternal(internasional).

k. Lembaga atau organ pemerintah/negara yang manakah yang berkewajiban untukmenyimpan atau mendokumentasikan semua dokumen dan risalah-risalah yangberkenaan dengan perjanjian internasional tersebut? Misalnya, dokumen fullpowers, dokumen persetujuan untuk terikat (peratifikasian), dokumen pensyaratanyang diajukan oleh Indonesia, dokumen penolakan yang diajukan oleh negara lainterhadap pensyaratan yang diajukan oleh Indonesia, dokumen penolakan yangdiajukan oleh Indonesia terhadap persyaratan yang diajukan oleh negara lain,dokumen penarikan diri Indonesia dari suatu perjanjian internasional, danlain-lain, dokumen yang berupa naskah perjanjian internasional itu sendiri, danlain-lain.
è Komentar DamosDumoli Agusman

Tentang dimensi domestik dari suatu PI pada makalah Bapak Parthiana dapat sayakemukakan sbb:

a. Tentang lembaga yang mana yang berwenang untuk mengambil inisiatif tidakmenimbulkan masalah praktis karena kejalasan tupoksi masing-masing lembaganegara menjadi faktor utama.

b. Pemberian full power juga tidak mengalamai masalah praktis karena selaludibahas dalam mekansime rapat interdep. Menlu sendiri sebagai pejabat yangmengeluarkan full power memiliki pengaturan khusus tentang ini.

c. Target dan sasaran yang hendak dicapai dalam pembuatan PI selalu dibahasdalam rapat interdep dan telah menjadi acuan baku mekanisme pemerintah dalammenyikapi PI

d. Pada hakekatnya yang berwenang menyatakan terikat pada PI (termasukperjanjian yang sudah menjadi hukum positif) adalah Pemerintah dengan mekanismepengesahan dari DPR jika masuk kriteria pasa 10 UU No. 24/2000. Pemerintahdalam kaitan ini harus dilihat sebagai suatu kesatuan. Namun dalam internalpemerintah, lembaga yang berwenang menentukan adalah yang memiliki tupoksi yangkemudian disetujui serta disampaikan oleh Menlu kepada Presiden. Jika terjadiperdebatan internal pemerintah maka diputuskan oleh Presiden. Dalam kaitan inikeputusan pemerintah diambil sesuai dengan mekanisme pengambilan keputusanpemerintah mulai dari tingkat teknis ke tingkat kebijakan dan politik.Pertanyaan yang justru menarik pada butir ini adalah lembaga mana yangberwenang memonitor dan mengendorse bahwa suatu hukum kebiasaan internasionalpositif mengikat RI?

e. Pertanyaan tentang proses pemberlakukan PI dalam hukum nasional adalahpertanyaan sentral yang jawabannya belum berkembang di dunia akademisi apa lagipada dunia praktis. Untuk itulah kami meminta agar hal ini menjadi bahasanakademis dengan berbagai metodologinya serta teori yang mendukungnya. Sayangsekali para akademisi justru cenderung ingin melihat masalah teoritis inisecara praktis sehingga membiarkan pertanyaan ini tetap tebuka dan tidakterjawab. Dunia praktisi tidak pernah mendapat jawaban dari dunia akademisitentang masalah ini.

f. Masalah ini hanya dapat terjawab jika butir e sudah terjawab.

g. Dalam pengesahan PI, sudah menjadi standar baku bahwa sebelum dilakukanpengesahan harus dilakukan pengkajian mendalam atas substansi maupun dampakyang ditimbulkan terhadap aras domestik. Sistematika naskah akademis/penjelasanRUU/Rperpres tentang pengesahan suatu perjanjian telah menggambarkan kajianini. Hal ini tidak pernah menjadi permasalahan praktis. Akar masalah justrukembali ada pertanyaan butir e, jika sudah disahkan apa statusnya pada arasdomestik? Pertanyaan yang tampaknya justru tidak menarik perhatian paraakademisi.

h. Pertanyaan butir h tentang reservasi terhadap PI yang bertentangan denganhukum nasional, berdasarkan pelajaran dari dunia praktis, justru ingin sayapertajam dengan ”dapatkah kita membuat perjanjian yang bertentangan denganhukum nasional”? Jika jawabannya tidak dapat maka dapat saja menggunakanreservasi. Tentang reservasi itu sendiri tidak ada masalah dari segi praktiskarena aturannya sudah jelas. Yang tidak jelas justru pada pertanyaan diatastadi.

i. Pertanyaan pada butir i tentang territorial application of a treaty justrusemakin menarik setelah lahirnya beberapa UU otonomi khusus yang memberikankewenangan kepada Daerah untuk memberikan persetujuan kepada setiap PI yangmenyangkut kepentingan Daerah tersebut. Saya justru mengkuatirkan bahwa akanmuncul apa yang disebut ”double ratification” terhada PI semacam ini, yaituoleh pusat dan daerah.

j. ”Apakah PI itu dapat diimplementasikan secara langsung di dalam wilayahIndonesia sebagaimana peraturan perundang-undangan nasional Indonesia yanglainnya”? Pertanyaan ini justru pertanyaan sentral tentang hubungan hukuminternasional dengan hukum nasional yang belum terbangun sistemnya dalam sistemhukum Indonesia. Pandangan Bapak Parthiana bahwa hal ini sulit karena nama,bentuk, macam substansi PI bermacam-macam tidaklah begitu relevan, karena untukIndonesia akar masalah bukan pada keragaman PI itu tetapi justru pada ketiadaandoktrin dan legislasi Indonesia yang mengatur tentang hubungan hukum ini.Beberapa pandangan Bapak Parthiana dalam makalahnya justru mengindikasikanbahwa ”direct application of a treaty” tidak mungkin dilakukan karena BapakParthiana tanpa sengaja menganut aliran bahwa untuk mengaplikasikan suatu PIyang sudah diratifikasi masih dibutuhkan perundang-undangan nasional yang dalamteori dikenal dengan dualisme (misalnya terindikasi dari pertanyaan pada butirIII. 9 makalah).

”Bagaimana jika ternyata PI bertentangan dengan hukum nasional?” pertanyaan inijuga inti dari masalah hubungan hukum.

k. Pertanyaan tentang organ pemerintah/negara yang me-manage ”treaty-relateddocuments” dalam praktek sudah cukup jelas dan tidak menimbulkan masalah. Pasal17 UU No. 24/2000 telah menugaskan Menlu untuk melaksanakan fungsi ini dansudah dilakukan dengan baik oleh Ditjen HPI dengan menggunakan mekanisme yangsudah established.

Beberapa masalah dimensi eksternal PI yang disinggung oleh Bapak Parthiana padaumumnya tidak merupakan issue (butir a, c, d, e, f, g) dalam aras praktiskarena telah diatur secara konkrit dalam Perjanjian itu sendiri dan tunduk padaaturan Konvensi Wina 1969/1986 serta hukum kebiasaan internasional. Tentanglembaga atau organ pemerintah/negara yang berwenang menyatakan persetujuandalam praktek diplomatik dilakukan oleh unit negara yang melakukan fungsihubungan luar negeri yang oleh hukum internasional dikenal dengan head ofstates, head of goverments and Menlu. Penyampaikan pernyataan persetujuan jugalazimnya dilakukan melalui suatu diplomatic channel. Praktek ini sudah berlakuumum dan tidak menimbulkan permasalahan. Untuk Indonesia, pernyataanpersetujuan terhadap PI dikeluarkan oleh Menlu melalui instrument ofratification/accession dengan format yang sudah baku.

***

II.B Dimensi eksternal/internasional dari suatu Perjanjian Internasional
è Komentar I WayanParthiana

Di bawah ini dapat dipaparkan beberapa dimensi eksternal atau internasionaldari suatu perjanjian internasional, antara lain:

a. Tentang surat kuasa (full powers) yang harus dibawa oleh wakil atau utusanpemerintah Indonesia untuk melakukan perundingan (negotiation) dengan wakilatau utusan negara lain ataupun untuk menghadiri konperensi internasional yangakan merumuskan naskah perjanjian internasional. Bagaimana jika keabsahan suratkuasa (full powers) tersebut dipersoalkan oleh pihak mitra berunding ataupunoleh Komisi Surat Kuasa (Full Powers Commission) dalam suatu konperensiinternasional?

b. Tentang persetujuan untuk terikat pada (meratifikasi) suatu perjanjianinternasional, lembaga atau organ pemerintah/negara yang manakah yang berwenangmenyatakan persetujuan untuk terikat (meratifkasi) suatu perjanjianinternasional? Apakah Presiden, DPR, Presiden bersarna-sama dengan DPR, ataukahjuga perlu menyertakan lembaga pemerintah/negara yang lainnya, seperti MahkamahAgung, dan lain-lain?

(Catatan: hal ini sehenarnya merupakan dimensi domestik (nasional) Indonesia,namun sekaligus juga merupakan dimensi eksternal (internasional) karena dokumenpersetujuan untuk terlibat (peratifikasian) itu harus disampaikan kepada negaralain (untuk perjanjian bilateral ataupun multilateral terbatas, atau negaraataupun organisasi internasional (untuk perjanjian -perjanjian internasionalregional ataupun unilateral) yang ditugaskan untuk menyimpan naskah yangotentik dari perjanjian internasional tersebut serta semua dokumen lain yangberhubungan dengan perjanjian itu.)

c. Tentang hak-hak yang diterima atau dinikmati dan kewajiban yang dipikul olehIndonesia sebagai konsekuensi dari posisinya sebagai pihak atau peserta padasuatu perjanjian internasional,

d. Perjanjian-perjanjian internasional yang memberikan hak dan atau membebanikewajiban kepada Indonesia. Dalam hal ini, Indonesia tidak sebagaipihak/peserta pada perjanjian internasional tersebut atau dengan kata lain,posisi Indonesia sebagai pihak-ketiga.

e. Suatu perjanjian internasional lama yang diganti dengan perjanjianinternasional baru dari Indonesia menjadi pihak/peserta pada perjanjianinternasional lama. Jika Indonesia kemudian menjadi pihak peserta padaperjanjian internasional yang baru. Hal ini dapat (tidak selalu) menimbulkanmasalah internasional, yakni, antara Indonesia dengan negara-negara pesertayang masih tetap menjadi pihak/peserta pada perjanjian yang lama pada satupihak dan antara Indonesia dengan negara-¬negara yang menjadi peserta padaperjanjian internasional yang baru pada lain pihak. Hal ini pula menimbulkanmasalah domestik, yakni, keberlakuan antara undang-undang/keppres yangmemberlakukan perjanjian yang lama dengan undang-undang/keppres yang memberlakukanperjanjian internasional yang baru yang kedua-duanya mengenai masalah pokokyang sama. Apakah cukup dengan berpedoman pada asas hukum lex posteriariderogat legi priori?

f. Perjanjian-perjanjian internasional yang beberapa ketentuannya dijabarkan secaralebih rinci dalam suatu perjanjian (seperti beberapa ketentuan suatu Konvensidijabarkan dalam suatu Protokol). Jika Indonesia memutuskan untuk menyatakanpersetujuan terikat pada Konvensinya apakah sekaligus akan menyatakanpersetujuan terikat pada Protokolnya? Atau jika sebelumnya Indonesia sudahterikat pada Konvensinya, kemudian beberapa ketentuannya dijabarkan dalam suatuProtokol, apakah Indonsia akan menyatakatan persetujuan terikat padaProtokolnya?

g. Indonesia menjadi anggota dari suatu organisasi internasional dengan caramenyatakan persetujuan terikat pada (meratitikasi) suatu perjanjianinternasional yang merupakan piagam/statuta dari organisasi internasional vangbersangkutan.
h. Indonesia menyatakan persetujuan terikat (meratifrkasi) suatu perjanjianinternasional yang substansinya secara langsung menyangkut hajat hidup danmenimbulkan pengaruh yang sangat fundamental terhadap kehidupan seluruh rakyatIndonesia. Misalnya, suatu perjanjian internasional mengenai pemberlakuan satumata uang tunggal ASEAN, suatu perjanjian internasional tentang penggabungannegara Indonesia dengan negara-¬negara lain dengan nama yang baru sama sekali.Perjanjian semacam ini tidah cukup diserahkan kepada Presiden dan DPR untukmemutuskannya, tetapi harus melalui referendum dari seluruh rakyat Indonesia.
è Komentar DamosDumoli Agusman

Beberapa masalah dimensi eksternal PI yang disinggung oleh Bapak Parthiana padaumumnya tidak merupakan issue (butir a, c, d, e, f, g) dalam aras praktiskarena telah diatur secara konkrit dalam Perjanjian itu sendiri dan tunduk padaaturan Konvensi Wina 1969/1986 serta hukum kebiasaan internasional. Tentanglembaga atau organ pemerintah/negara yang berwenang menyatakan persetujuandalam praktek diplomatik dilakukan oleh unit negara yang melakukan fungsihubungan luar negeri yang oleh hukum internasional dikenal dengan head ofstates, head of goverments and Menlu. Penyampaikan pernyataan persetujuan jugalazimnya dilakukan melalui suatu diplomatic channel. Praktek ini sudah berlakuumum dan tidak menimbulkan permasalahan. Untuk Indonesia, pernyataanpersetujuan terhadap PI dikeluarkan oleh Menlu melalui instrument ofratification/accession dengan format yang sudah baku.

Mengenai UU No. 24/2000
Komentar I Wayan Parthiana

Secara umum dapat dikatakan, bahwa Undang-Undang ini sudah lebih lengkap jikadibandingkan dengan Surat Presiden tersebut di atas. Demikian jugaUndang-Undang ini secara relatif sudah menjabarkan lebih rinci tentangpermasalahan yang berkenaan dengan perjanjian internasional. Dengan demikian,sebahagian permasalahan yang belum terjawab di dalam Surat Presiden itu, diataskertas sudah diatasi oleh Undang-Undang ini. Sedangkan dari sistematikanyatampak, bahwa Undang-Undang ini sudah mengikuti tahap-tahap dalam pembuatan,pemberlakuan, pelaksanaan, dan pengakhiran berlakunya perjanjian internasionalsebagaimana diatur di dalam Konvensi Wina 1969 dan Kovensi Wina 1986.

Akan tetapi, Undang-Undang ini menyatukan antara perjanjian internasional yangdiatur di dalam Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina 1986 padahal keduanyawalaupun ada cukup banyak persamaannya, juga ada perbedaannya. Sebaiknya,Undang-Undang ini memang mencakup keduanya, tetapi dibagi menjadi tiga bagian,yakni, bagian pertama mengenai hal-hal umum atau yang sama dari kedua Konvensi,bagian kedua tentang perjanjian antara Indonesia dan negara sahabat (KonvensiWina 1969) dan bagian ketiga tentang perjanjian antara Indonesia dan organisasiinternasional (Konvensi Wina 1986).

Memang sistematikanya sudah tampak adanya keselarasan, misalnya, mengenaiurut-urutan dalam proses pembuatan, pengikatan diri, pemberlakuan, danpengakhirannya, namun sistematika ini tidak sepenuhnya mengikuti urut-urutandalam kedua Konvensi walaupun tidak harus sama persis. Masih ada materi-materipenting yang patut diberi tempat dalam satu Bab tersendiri, tetapi dalamUndang-Undang ini ternyata tidak ada sama sekali, atau kalaupun ada, hanyamerupakan salah satu pasal atau ayat saja dari Babnya. Misalnya tentang ruanglingkup teritorial berlakunya suatu perjanjian internasional yang meskipun didalam Konvensi hanya merupakan salah satu pasal saja (pasal 29), tetapi jikadihubungkan dengan Indonesia, masalah ruang lingkup teritorial ini membutuhkanpengaturan lebih rinci. Hal ini mengingat adanya kemungkinan suatu perjanjianyang sudah diratifikasi dan diberlakukan ke dalam hukum nasional, ada yangberlakunya di seluruh wilayah negara, di wilayah satu propinsi saja, atau diwilayah dari dua atau lebih propinsi dengan segala konsekuensi internalnya.Demikian juga tentang perjanjian yang memberikan hak ataupun membebanikewajiban kepada pihak ketiga baik negara ataupun organisasi internasional,tentang pengamendemenan dan pemodifikasian suatu perjanjian internasional, dantentang penundaan berlakunya.

è Komentar DamosDumoli Agusman

Bapak Parthiana menyarankan agar bagian tentang pembuatan perjanjian dengannegara dipisahkan dengan bagian tentang pembuatan perjanjian dengan organisasiinternasional. Dari segi praktis pembagian ini tidak terlalu dibutuhkan karenamekanisme dan prosedur yang dilakukan oleh Indonesia dalam membuat perjanjiandengan kedua entitas itu tetap saja sama. Selain itu, justru para akademisimempermasalahkan kenapa harus ada Konvensi Wina 1969 yang terpisah denganKonvensi 1986 mengingat materinya sama saja. Seperti dimaklumi bahwa pemisahankedua Konvensi tersebut adalah karena pertimbangan politis dan bukan juridiskarena pada tahun 1969 negara belum rela dipersamakan kedudukannya denganorgansiasi internasional.





è Komentar I WayanParthiana

Tentang pembedaan antara perjanjian internasional antara negara dengan negaradi satu pihak dengan organisasi internasional dengan negara atau antara sesamaorganisasi internasional pada lain pihak, didasarkan atas pertimbangan sebagaiberikut:
a. Keduanya memiliki karakter yang berbeda meskipun ada pula kesamaannya;
b. Hukum Perjanjian Internasional sendiri menempatkannya dalam dua konvensiyang berbeda (Konvensi Jenewa 1969 dan 1986);
c. Kesamaannya itu tampaknya pada proses perumusan hingga pemberlakuannya(mekanisme dan prosedurnya), yang memang mendominasi hukum perjanjianinternasional itu sendiri.
d. Yang saya maksudkan adalah di dalam (satu) UU tentang PerjanjianInternasional ada Bagian tentang Perjanjian Internasional Antar Negara danBagian Perjanjian Internasional antar organisasi internasional dengan negaraatau antara sesama organisasi internasional, jadi bukan dalam undang-undangyang berbeda.
Oleh karena (mekanisme dan prosedurnya) sebagian besar sama, maka di dalamBagian tentang PI antara OI dan negara atau antara sesama OI dan negara atauantara sesama OI, cukup satu pasal yang berbunyi:
“Pasal... sampai dengan... dari Bagian...secara mutatis mutandis berlaku bagiperjanjian internasional antara organisasi internasional dengan negara atauantara sesama OI.”


III.A Tentang istilah “Pengesahan”.
è Komentar I WayanParthiana

Tidak jelasnya perbedaan antara “Pengesahan” dalam pengertian “Pengikatan diriatau Persetujuan untuk Terikat pada Perjanjian Internasional” pada satu pihakdengan “Pengesahan” dalam pengertian “Pemberlakuan (pengesahan danpengundangan) suatu Perjanjian Internasional ke dalam Hukum Nasional Indonesia”pada lain pihak. Dalam Pasal 1 butir b (Bab I: Ketentuan Umum) istilah“Pengesahan” diartikan sebagai berikut:
Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjianinternasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession),penerimaan (acceptance), dan persetujuan (approval).

Dari definisi ini tampak jelas, bahwa yang dimaksudkan dengan pengertianpengesahan dalam Pasal 1 butir b ini adalah sama dengan pengikatan diri ataupersetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional (consent to bebound by a treaty) sebagaimana diatur di dalam Pasal 11 - 17 Konvensi Wina 1969dan Pasal 11-17 Konvensi Wina 1986. Tegasnya, “pengesahan” dalam Pasal 1 butirb di atas ini sama dengan persetujuan untuk terikat pada perjanjianinternasional, yaitu, sebagai tindakan ke luar (eksternal) dari negara Indonesiayang berupa pernyataan mengenai kesediaan Indonesia untuk terikat pada suatuperjanjian internasional. Menurut Pasal 1 butir b tersebut, pengikatan diriatau persetujuan untuk terikat ini dapat dilakukan dengan cara ratifikasi(ratification), aksesi (accession), penerimaan atau akseptasi (acceptation),dan persetujuan (approval). Pernyataan pengikatan diri ini dituangkan dalamsuatu dokumen (tertulis) yang disebut piagam pengikatan diri atau lazim jugadisebut dengan piagam ratifikasi atau menurut Pasal 14 Undang-Undang Nomor 24Tahun 2000, piagam pengesahan. Bukan dalam bentuk undang-undang ataupunkeputusan presiden.

Persoalan akan bertambah lagi, jika Pasal 1 butir b ini dihubungkan denganPasal 3 yang menyatakan sebagai berikut:
Pemerintah Republik Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian internasionalmelalui cara-cara sebagai berikut:
a. penandatanganan;
b. pengesahan (cetak tebal, IWP);
c. pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik;
d. cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjianinternasional.

Jika dicermati, tampak adanya duplikasi antara Pasal 1 butir b dan Pasal 3 ini.Masing-masing Pasal itu sebenarnya menegaskan masalah yang sama, yakni, tentangpengikatan diri atau persetujuan untuk terikat pada perjanjian internasionaldengan melalui cara-cara yang ditentukan dalam masing-masing pasal itu. DalamPasal 1 butir b istilah pengesahan diartikan sebagai perbuatan hukum untukmengikatkan diri pada perjanjian internasional sedangkan dalam Pasal 3 butir bistilah pengesahan diartikan hanya sebagai salah satu cara mengikatkan diripada perjanjian internasional.
Masalahnya akan lebih bertambah lagi, jika istilah “pengesahan” dalam Pasal 1butir b dan Pasal 3 butir b ini dihubungkan lagi dengan Pasal 9 ayat 1 dan 2yang juga mengandung istilah “pengesahan” dalam rumusannya sebagai berikut:
(1) Pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah Republik Indonesiadilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut.
(2) Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.

Istilah “pengesahan” dalam Pasal 9 ayat 1 ini jelas dimaksudkan sebagaitindakan keluar (eksternal) yaitu dalam rangka pengikatan diri atau menyatakanpersetujuan untuk terikat dari pihak Indonesia pada perjanjian internasional.Lebih-lebih jika Pasal 9 ayat 1 ini dihubungkan dengan Pasal 1 butir b sepertitelah dikutip di atas.

Sedangkan istilah “pengesahan” pada Pasal 9 ayat 2, justru menimbulkanpertanyaan, yakni, apakah yang dimaksudkan adalah juga pengesahan sebagaitindakan keluar untuk mengikatkan diri pada perjanjian seperti pada Pasal 9ayat 1? Jika jawabannya ya, apakah memang benar (baik secara teori maupunpraktek) pengikatan diri pada perjanjian internasional dilakukan denganundang-undang atau keputusan presiden? Selanjutnya jika Pasal 9 ayat 1 dan 2dihubungkan dengan Pasal 14, maka persoalan baru akan muncul lagi. Namun untuklebih jelasnya, baiklah dikutip Pasal 14 yang rumusannya adalah:

“Menteri menandatangani piagam pengesahan untuk mengikatkan Republik Indonesiapada suatu perjanjian internasional untuk dipertukarkan dengan negara pihakatau disimpan oleh negara atau lembaga penyimpan pada organisasi internasional.

Pasal ini secara jelas dan tegas menyatakan bahwa piagam pengesahanlah yangmenjadi sarana atau sebagai instrumen hukum bagi Republik Indonesia untukmengikatkan diri pada perjanjian internasional, bukan undang-undang ataupunkeputusan presiden.

Akan tetapi kalau istilah “pengesahan” dalam Pasal 9 ayat 2 itu dimaksudkansebagai tindakan ke dalam (internal), yakni, undang-undang ataupun keputusanpresiden sebagai sarana untuk memberlakukan perjanjian internasional ke dalamhukum nasionalnya dimana sebelumnya Indonesia sudah mengikatkan diri atau sudahmenyatakan persetujuannya untuk terikat, secara substansial memang dapatdibenarkan. Akan tetapi, tempatnya bukan bersandingan dengan Pasal 9 ayat 1,melainkan di tempat atau pasal tersendiri.

è Komentar DamosDumoli Agusman

Saya sependapat dengan Bapak Parthiana bahwa UU No. 24/2000 tidak membedakanaspek eksternal dari pengesahan dengan aspek internalnya, atau lebih tepatnyaadalah UU ini tidak terlalu menyentuh aspek internal dari pengesahan. Hal inidisebabkan karena hukum nasional kita pada waktu itu dan bahkan sampai saat inibelum menyediakan jawaban tentang apa status PI dalam hukum nasional, sehinggapada waktu pembahasan UU ini, implikasi pengesahan PI terhadap hukum nasionaldibiarkan terbuka dan diinterpretasikan oleh hukum nasional sendiri. Namunpemahaman dan maksud perumus UU ini pada waktu itu adalah jelas bahwa jika PIsudah disahkan dengan perundang-undangan maka diasumsikan sudah menjadi bagiandari hukum nasional. Hal ini tercermin dari penjelasan Pasal 13 UU No. 24/2000:”Penempatan peraturan perundang-undangan pengesahan suatu perjanjianinternasional di dalam lembaran negara dimaksudkan agar setiap orang dapatmengetahui perjanjian yang dibuat pemerintah dan mengikat seluruh warga negaraIndonesia”. Sesuai dengan maksud perumus perundang-undangan maka UU/Perpresyang mengesahkan suatu PI adalah produk hukum yang oleh kelompok monismemungkin dianggap ”UU/Perpres yang menginkorporasi” PI tsb kedalam hukumnasional, sedangkan oleh kelompok dualisme dapat diartikan sebagai UU/Perpresyang men-transformasikan. Namun kelompok dualisme lainnya, yang tidak mengakuiUU/Perpres pengesahan ini sebagai ”yang mentransformasikan” tetap menuntutadanya legislasi (UU/Perpres material/substantif) lain untuk mentransformasikanPI tsb.

Saran Bapak Parthiana untuk membedakan kedua aspek pengesahan ini dalam UUtidak mungkin terealisasi sebelum ditegaskan hubungan kedua hukum ini.Misalnya, dapatkah HTN atau Bapak Parthiana menyetujui adanya legal provisionsyang menegaskan bahwa ”setiap perjanjian yang disahkan telah berlaku danmenjadi bagian dari hukum nasional”, atau bersediakah kelompok monisme diIndonesia (termasuk Deplu) menerima jika rumusan menjadi ”setiap perjanjianyang disahkan hanya dapat berlaku dalam hukum nasional setelah diundangkandalam perundang-undangan nasional. Jadi permasalahannya bukan padaketidakinginan memisahkan kedua aspek ini melainkan lebih kepada ketiadaanjawaban dalam HTN Indonesia tentang pendekatan mana yang harus ditempuh.
è Komentar I Wayan Parthiana

Tentang pertanyaan Pak Damos tentang legal provisions yang berupa penegasanstatus perjanjian internasional di dalam hukum nasional Indonesia: “setiapperjanjian internasional yang telah disahkan berlaku dan menjadi bagian darihukum nasional” atau “setiap perjanjian yang telah disahkan hanya dapat berlakudalam hukum nasional setelah diundangkan dalam peraturan perundang-undangannasional”, saya berpendapat ketentuan semacam ini tidak perlu.
Alasan saya adalah sebagai berikut:
a. Rumusan ini amat menyederhanakan masalah yang sebenarnya justru sangatkompleks, mengingat perjanjian internasional itu amat luas dan demikian banyakjumlah maupun jenisnya (bentuk maupun isinya);
b. Suatu perjanjian internasional yang telah diberlakukan (disahkan dan diundangkan)ke dalam hukum nasional (Indonesia), sudah dengan sendirinya menjadi bagiandari hukum nasional (Indonesia);
c. Selanjutnya bagaimana status hukum dan pengimplementasiannya di dalam hukumnasional (Indonesia), hal ini merupakan masalah lain lagi dan membutuhkanpengkajian secara lebih mendalam. Karena itu perlu diseminarkan secarakhusus/tersendiri seperti yang saya sarankan di atas.
d. Jika rumusan ini diterima, ada kemungkinan kita akan terjebak dalam masalahpraktis, sebab rumusan atau ketentuan tersebut jika diimplementasikan ternyatatidak sesuai dengan realitas praktis di lapangan, mengingat perjanjianinternasional itu demikian luasnya seperti saya tegaskan pada butir a di atasini.


III.B Tentang kriteria perjanjian internasional yang disahkan denganundang-undang dan dengan keputusan presiden
è Komentar I WayanParthiana

Dengan asumsi sementara, bahwa istilah “pengesahan” dalam Pasal 9 ayat 2 adalahpengesahan dalam pengertian pemberlakuannya (pengesahan dan pengundangannya) kedalam hukum nasional dan dengan demikian perjanjian itu akan berlaku danmenjadi bagian dari hukum nasional Indonesia, ternyata Undang-Undang inimembedakan perjanjian internasional ke dalam dua golongan yakni,
- perjanjian internasional yang diberlakukan dengan undang-undang (Pasal 10)dan
- perjanjian internasional yang diberlakukan dengan keputusan presiden (Pasal11 ayat 1 dan 2).

Sebenarnya masih ada lagi perjanjian internasional dalam golongan yang ketiga,yakni, perjanjian-perjanjian internasional yang mengikat dan diberlakukansecara langsung di dalam wilayah Indonesia tanpa bentuk hukum atau peraturanperundang-undangan apapun. Penegasan tentang adanya perjanjian dalam golonganini dapat dijumpai dalam Pasal 15 ayat 1 yang menyatakan:

Selain perjanjian internasional yang perlu disahkan dengan undang-undang ataukeputusan presiden, Pemerintah Republik Indonesia dapat membuat perjanjianinternasional yang berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumenperjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara-cara lain sebagaimana disepakatioleh para pihak pada perjanjian tersebut.

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 lebih lanjut merinci kriteria suatuperjanjian internasional yang disahkan dengan undang-undang, jadi membutuhkanpersetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat, yakni, perjanjian-perjanjianinternasional yang substansi atau materinya berkenaan dengan:
a. Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
b. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;
c. Kedaulatan atau hak berdaulat negara;
d. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e. Pembentukan kaidah hukum baru;
f. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Sedangkan Pasal 11 ayat 1 dan 2 Undang-Undang tersebut menegaskan tentangperjanjian internasional yang pengesahannya dengan keputusan presiden dandengan demikian tidak membutuhkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, yangselengkapnya menyatakan:
(1) Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materisebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan dengan keputusan presiden.
(2) Pemerintah Republik Indonesia menyampaikan salinan setiap keputusanpresiden yang mengesahkan suatu perjanjian internasional kepada DewanPerwakilan Rakyat untuk dievaluasi.


Kriteria dalam Pasal 10 ini walaupun sudah lebih rinci ketimbang Surat PresidenNomor 2826/HK/1960 (tiga berbanding enam kriteria) namun masalah-masalah yangditimbulkan oleh Surat Presiden itu akan masih tetap muncul dalam penerapanPasal 10 dan 11 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 ini. Masalah yang palingutama yang akan muncul adalah terjadinya perbedaan pendapat antaraPemerintah/Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat mengenai penerapan kriteriaitu. Tegasnya, suatu perjanjian internasional yang berdasarkan materinya,menurut Pemerintah/Presiden dalam pengesahannya cukup dengan keputusan presiden(tidak membutuhkan persetujuan Dewan), tetapi Dewan justru berpendapatsebaliknya. Untuk menghindarinya, mungkin dibutuhkan adanya peraturanpemerintah sebagai peraturan perundang-undangan pelaksanaan dari Pasal 10 dan11 Undang-Undang ini yang substansinya merinci keenam kriteria itu.
Apalagi jika Pasal 10 dan 11 Undang-Undang ini dihubungkan dengan Pasal 11 ayat2 UUD 1945 Perubahan Ketiga (2001) dan Keempat (2002) seperti telah dikutip diatas yang secara khusus juga menegaskan kriteria dari suatu perjanjianinternasional yang harus membutuhkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat.Persoalan yang timbul antara lain, sejauhmana keduanya itu menunjukkankesesuaian atau saling melengkapi, atau yang lebih rendah melaksanakan yanglebih tinggi, atau sebaliknya saling bertabrakan? Adanya dua peraturanperundang-undangan (yang lebih tinggi dan lebih rendah) yang ketentuannyaberduplikasi seperti ini, tampaknya disebabkan karena Pihak Perancang PerubahanKetiga (2001) atas Pasal 11 UUD 1945 itu ketika merundingkan dan menyepakatinaskah ayat 2 dan 3 tersebut tidak mengkaji substansi dari Undang-Undang Nomor24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, khususnya Pasal 10 ayat 1 dan2nya.
è Komentar DamosDumoli Agusman

Permasalahan tentang kemungkinan ada kesalahan dalam pengesahan (yangseharusnya dengan UU tapi dengan Perpres) memang sangat menarik. Jika terdapatperbedaan penafsiran antara DPR dan Pemerintah tentang masalah ini maka tentuharus ditetapkan dulu melalui mekanisme sengketa antar lembaga negara.Persoalan eksternal akan muncul jika memang Perpres itu dinyatakan batal demihukum yang memaksa Pemerintah untuk menarik diri dari keterikatannya pada PIyang sudah disahkan.

***
è Komentar I WayanParthiana

Jika Presiden bermaksud menyatakan persetujuan terikat pada suatu perjanjianintemasional dan selanjutnya akan memberlakukannya ke dalam wilayah danperjanjian itu selanjutnya akan menjadi bagian dari hukum nasional disebabkamoleh keadaan yang memaksa, jadi tidak sempat meminta persetujuan sebelumnyakepada DPR, Presiden setelah menyatakan persetujuan terikat (setelahmeratifikasi) selanjutnya dapat memberlakukannya ke dalam wilayah negara danmenjadikannya sebagai bagian dari hukum nasional indonesia, dengan suatuPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-¬undang (Perpu), jadi bukan dengankeppres. Selanjutnya harus diikuti prosedur dan mekanismepemberlakuan/pencabutan Perpu menjadi undang¬-undang. Sudah tentu hal ini dapatmenimbulkan dampak domestik maupun intemasional.

è Komentar DamosDumoli Agusman

Sangat menarik perhatian saya adalah pada butir ini, dimana Bapak Parthianaberpendapat:

Jika Presiden bermaksud menyatakan persetujuan terikat pada suatu perjanjianinternasional dan selanjutnya akan memberlakukannya ke dalam wilayah danperjanjian itu selanjutnya akan menjadi bagian dari hukum nasional disebabkanoleh keadaan yang memaksa, jadi tidak sempat meminta persetujuan sebelumnyakepada DPR (tidak sempat disahkan melalui UU?), Presiden setelah menyatakanpersetujuan terikat (setelah diratifikasi dengan perpres?) selanjutnya dapatmemberlakukannya ke dalam wilayah negara dan menjadikannya sebagai bagian darihukum nasional Indonesia, dengan suatu Perpu, jadi bukan dengan Keppres.Selanjutnya harus diikuti prosedur dan mekanisme pemberlakuan/pencabutan Perpumenjadi UU. Sudah tentu hal ini dapat menimbulkan dampak domestik maupuninternasonal.

Terhadap pandangan ini maka saya dapat menyimpulkan bahwa:

1. Pengesahan suatu PI tidak identik dengan pemberlakuannya ke dalam hukumnasional.
2. Perlu ada legislasi nasional untuk memberlakukan PI dimaksud
3. Legislasi nasional yang memberlakukan itu harus setingkat dengan instrumenhukum yang meratifikasi (jika diratifikasi dengan UU maka legislasinya harusUU, jika dengan Perpres maka legislasinya bisa Perpres)

Dari kesimpulan tersebut maka Bapak Parthiana telah mengambil salah satupendekatan yang memang tidak asing dalam teori hubungan hukum, yaitu “perlunyalegislasi nasional untuk memberlakukan suatu PI atau dengan kata laintransformation. Pendekatan ini sangat berdekatan dengan penganut “dualisme”.

Saya menyadari bahwa Bapak Parthiana tidak terlalu menyukai istilah dualismeini. Namun apa pun namanya, bagi kami di Deplu pandangan Bapak telah cukupmemberi wacana dan kontribusi dalam rangka membantu menjelaskan tentangeksitensi aliran ini. Pertanyaan saya yang mendasar adalah apakah pandanganyang dipilih oleh Bapak Parthiana tersebut diatas dapat diterapkan dengan sertamerta dalam praktek? Jawabnya tentu tidak, karena pandangan ini akanbertabrakan dengan aliran lain yang juga memiliki keabsahannya yaitu monisme.Pandangan Bapak Parthiana memiliki dasar ilmiah yang kuat dalam teori namunsayangnya tidak memiliki dasar hukum yang jelas dalam hukum positif Indonesia,demikian sebaliknya. Dengan demikian sebelum ada dasar hukum yang kuat terhadappandangan ini, praktek akan tetap kebingungan. Tapi bagaimana pun juga, Bapaktelah memperkenalkan dan mengembangkan suatu pandangan yang bermanfaat sebagaisuatu doktrin
è Komentar I WayanParthiana

Tentang pemberlakuan perjanjian internasional dengan PERPU: Yang saya maksudkanadalah, jika keadaan memaksa/mendesak, yakni, karena satu dan lain hal tidakada kesempatan lagi bagi Presiden untuk meminta persetujuan DPR dalam rangkameratifikasi dan memberlakukan suatu perjanjian internasional ke dalam hukumnasional Indonesia dengan undang-undang. Misalnya, karena Presiden bermaksuduntuk menghadiri konperensi internasional antar negara-negara pihak/pesertapada suatu Konvensi Internasional, dan untuk memperkuat posisi kehadiran dalamkonperensi tersebut, Presiden memandang perlu untuk menjadi pihak pada Konvensiitu dan selanjutnya memberlakukan (mengesahkan dan mengundangkan) ke dalam hukumnasional. Oleh karena dalam keadaan mendesak/memaksa seperti ini, maka Presidensebaiknya memberlakukannya ke dalam hukum nasional dengan PERPU, bukan denganKeppres/Perpres seperti yang berlaku selama ini. Dalam praktek tentulah akanlebih banyak lagi ada alasan untuk memilih bentuk PERPU dan memberlakukan suatuperjanjian internasional ke dalam hukum nasional.

Bahwa PERPU ini secara internasional (eksternal) akan menimbulkan risiko,yakni, sesuai dengan ketentuan UUD 1945, jika setelah berlaku satu tahun, PERPUitu harus dimintakan persetujuan pada DPR. Jika disetujui oleh DPR makastatusnya menjadi undang-undang (UU/Prp) sehingga tidak ada masalah apapun yangtimbul.

Jika DPR menolaknya, makan PERPU itu harus dicabut atau dinyatakan tidakberlaku lagi. Akan tetapi PERPU semacam ini mengandung dimensi internasional,yakni, tentang keterikatan Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasinya.Apakah Indonesia harus menarik diri secara sepihak, dengan alasan masalahdomestik (DPR menolaknya)? Bisa saja! Namun, alasan ini tampaknya kurang elok.

Hal ini bisa disiasati dengan mengajukan persyaratan (reservation) yang harusdiajukan dalam waktu yang bersamaan dengan pengajuan pernyataan persetujuanuntuk terikat. Pensyaratan itu ditujukan terhadap pasal perjanjian yangmengatur tentang mulai terikatnya negara yang bersangkutan (dalam kasus ini:Indonesia) pada perjanjian internasional itu. Kira-kira pensyaratan ituberbunyi sebagai berikut

“Dengan ini Indonesia mengajukan pensyaratan terhadap Pasal….., bahwa Indonesiabaru bersedia terikat pada Perjanjian ini, setelah DPR RI menyetujui untukterikat pada Perjanjian ini sebagaimana diatur di dalam hukum nasionalIndonesia. Sebaliknya, jika DPR RI menolaknya, maka Indonesia dengan sendirinyatidak akan terikat pada Perjanjian ini dan dengan demikian tidak akan menjadipihak/peserta pada Perjanjian ini.”

Sudah tentu pensyaratan tersebut bisa diajukan, apabila perjanjian itu secarategas membolehkannya, atau secara tegas tidak melarangnya, atau jika keduanyaitu tidak ada, sepanjang pensyaratan itu tidak bertentangan dengan maksud dantujuan perjanjian itu sendiri.

Tentang proses pemberlakuan suatu PI ke dalam hukum nasional (Indonesia),sebenarnya sudah terjawab dalam UU Nomor 24/2000 tentang Perjanjian Internasional,yakni:
- Pasal 9 ayat 2, Pasal 10, dan Pasal 11 ayat 1 dan 2 yang pada pokoknyamembedakan ke dalam dua kelompok perjanjian yakni, perjanjian internasionalyang disahkan dengan undang-undang dan yang disahkan dengan keppres (sekarang:perpres?).
- Pasal 15 ayat 1 berkenaan dengan perjanjian-perjanjian internasional yangberlaku (pada tataran/aras internasional maupun nasional, IWP) setelahpenandatanganan atau pertukaran dokumen-dokumen perjanjian/nota diplomatic,atau melalui cara lain sebagaimana disepakati para pihak pada perjanjian itu.

Dengan catatan, bahwa istilah “pengesahan” di dalam UU tersebut diartikansebagai pemberlakuan suatu perjanjian internasional ke dalam hukum nasional,maka menurut UU tersebut ada tiga kategori perjanjian internasional, yakni:
1.Perjanjian internasional yang disahkan (diberlakukan) dengan UU;
2.Perjanjian internasional yang disahkan (diberlakukan) dengan Keppres; dan
3.Perjanjian internasional yang diberlakukan secara langsung (perjanjianinternasional tanpa bentuk hukum/tanpa kendaraan) karena langsung diberlakukan.Inikah yang disebut: self-executing treaty?

Terakhir, tentang pandangan saya yang tidak memiliki dasar hukum yang jelasdalam hukum positif Indonesia, boleh jadi benar adanya. Akan tetapi, jikapandangan saya ini bisa diterima/disetujui, justru bisa dijadikan sebagai hukumpositif. Bahkan hukum positif yang selama ini sudah ada dan dijadikan sebagaidasar hukum oleh para praktisi, bisa digantikan oleh hukum positif yang baruyang merupakan pentransformasian dari pandangan saya tersebut.


Demikianlah Artikel DISKUSI BAPAK I WAYAN PARTHIANA DENGAN BAPAK DAMOS DUMOLI AGUSMAN MENGENAI MASALAH-MASALAH POKOK/KAJIAN AKADEMIS (TEORITIS DAN PRAKTIS) SEKITAR PEMBUA

Sekianlah artikel DISKUSI BAPAK I WAYAN PARTHIANA DENGAN BAPAK DAMOS DUMOLI AGUSMAN MENGENAI MASALAH-MASALAH POKOK/KAJIAN AKADEMIS (TEORITIS DAN PRAKTIS) SEKITAR PEMBUA kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel DISKUSI BAPAK I WAYAN PARTHIANA DENGAN BAPAK DAMOS DUMOLI AGUSMAN MENGENAI MASALAH-MASALAH POKOK/KAJIAN AKADEMIS (TEORITIS DAN PRAKTIS) SEKITAR PEMBUA dengan alamat link https://www.cyberlaw.my.id/2012/04/diskusi-bapak-i-wayan-parthiana-dengan.html