BAGIR MANAN: AKIBAT HUKUM DI DALAM NEGERI PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL (TINJAUAN HUKUM TATA NEGARA)

BAGIR MANAN: AKIBAT HUKUM DI DALAM NEGERI PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL (TINJAUAN HUKUM TATA NEGARA) - Hallo sahabat Cyberlaw Indonesia, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul BAGIR MANAN: AKIBAT HUKUM DI DALAM NEGERI PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL (TINJAUAN HUKUM TATA NEGARA), kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel law of treaties, Artikel treaties and domestic law, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : BAGIR MANAN: AKIBAT HUKUM DI DALAM NEGERI PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL (TINJAUAN HUKUM TATA NEGARA)
link : BAGIR MANAN: AKIBAT HUKUM DI DALAM NEGERI PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL (TINJAUAN HUKUM TATA NEGARA)

Baca juga


BAGIR MANAN: AKIBAT HUKUM DI DALAM NEGERI PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL (TINJAUAN HUKUM TATA NEGARA)


By Prof. Dr. Bagir Manan
Pasal 11 UUD tidak menyebut bentuk hukum (Undang-Undang atau bentuk lain). Yang disebut adalah “persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, bukan produk hukumnya. Berbeda dengan UUDS ’50 menyebutkan: “Kecuali jika ditentukan lain dengan Undang-Undang, perjanjian atau persetujuan lain tidak disahkan, melainkan sesudah disetujui dengan Undang-Undang”. Ketentuan UUDS ’50, Pasal 120 ayat (1), serupa dengan Konstitusi RIS, Pasal 175 ayat (1) kalimat kedua.(1)

Walaupun Pasal 11 UUD hanya menyebut “dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, dalam praktek ketatanegaraan sebelum Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 (Perjanjian Internasional), setiap perjanjian yang memerlukan persetujuan DPR diberi bentuk Undang-Undang. Mengapa?

Pertama: berkaitan dengan makna “persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.

Baik berdasarkan praktek kelaziman, maupun ketentuan-ketentuan yang berlaku, dalam sistem perwakilan demokrasi, ada tiga fungsi yang melekat (dilekatkan) pada DPR yaitu fungsi legislatif (legislative function), fungsi pengesahan anggaran (budget function), dan fungsi pengawasan atau kendali (control function). Perjanjian Internasional adalah kesepakatan antara dua Negara atau lebih untuk melahirkan hukum atau persetujuan mengikatkan diri pada suatu hukum yang berlaku lintas Negara (Pasal 1 angka 1, Undang-Undang No. 24 Tahun 2000).[2] Kalau pengertian Perjanjian Internasional tersebut dikaitkan dengan fungsi DPR, akan termasuk fungsi membuat Undang-Undang, karena menciptakan hukum atau menyetujui suatu hukum yang berlaku lintas Negara. Telah menjadi kesepahaman umum, bentuk hukum yang dibuat DPR dalam menjalankan fungsi legislatif adalah Undang-Undang. Karena tidak ada bentuk peraturan perundang-undangan yang bersifat atau berlaku umum yang dapat dibuat DPR, kecuali Undang-Undang. Undang-Undang adalah produk fungsi legislatif DPR, karena itu, setiap Perjanjian Internasional yang memerlukan persetujuan DPR akan diberi bentuk Undang-Undang.

Kedua: berdasarkan praktek ketatanegaraan.

“Jadi ada semacam kontradiksi keilmuan. Disatu pihak, Perjanjian Internasional ditempatkan sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri, dipihak lain Perjanjian Internasional diberi bentuk peraturan perundang-undangan.” (Undang-Undang atau Keputusan Presiden/Peraturan Presiden)”.Telah menjadi praktek ketatanegaraan (konvensi) setiap Perjanjian Internasional yang memerlukan persetujuan DPR diberi bentuk Undang-Undang. Di masa sebelum Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, berlaku pedoman atas dasar Surat Presiden No. 2826/HK/60. Surat ini dikeluarkan sebagai jawaban atas surat Ketua DPR meminta ketegasan Pemerintah mengenai bentuk hukum Perjanjian Internasional, baik yang memerlukan persetujuan DPR, maupun yang tidak memerlukan persetujuan DPR (executive agreement). Surat Ketua DPR, karena UUD 1945 tidak memuat ketentuan seperti diatur UUDS ’50, Pasal 120 ayat (1). Dalam Ilmu Hukum Tata Negara, surat semacam ini – demikian pula memorandum tertulis – dikategorikan sebagai menciptakan Konvensi Ketatanegaraan – walaupun tertulis – bukan hukum. Hal ini sesuai dengan pengertian konvensi sebagai ketentuan (rule) yang tidak dapat ditegakkan melalui pengadilan, karena bersifat etik belaka (constitutional ethic).[3] Dalam Ilmu Hukum Administrasi Negara, surat semacam ini digolongkan sebagai peraturan kebijakan (policy rules, beleidsregel), yang didasarkan pada asas manfaat (doelmatigheid), bukan berdasarkan hukum (rechtmatigheid).

Ketiga: setelah UUD 1945 berlaku kembali (5 Juli 1959), melalui Pasal II (sekarang Pasal I) Aturan Peralihan, dapat diterapkan ketentuan UUDS ’50, Pasal 120 ayat (1) kalimat kedua.

Ketentuan Pasal 120 ayat (1) kalimat kedua tetap dapat diterapkan, karena tidak bertentangan dengan UUD 1945, bahkan tersirat dalam Pasal 11 yang menyebut “dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, sekaligus mengandung makna “bentuk Undang-Undang”.

Sejak tahun 2000, argumen-argumen di atas telah dikukuhkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2), dan Pasal 10.[4]

Kedudukan dan kekuatan mengikat
Undang-Undang Perjanjian Internasional

Ilmu Hukum Indonesia atau Ilmu Tata Hukum Indonesia, mengajukan berbagai sumber hukum formal – antara lain – peraturan perundang-undangan dan Perjanjian Internasional (traktat, treaty). Dua sumber tersebut terpisah masing-masing berdiri sendiri. Tetapi dipihak lain, setiap Perjanjian Internasional yang dibuat atau dimasuki diberi bentuk Hukum Nasional yaitu Undang-Undang atau Keputusan Presiden (sekarang, lebih tepat Peraturan Presiden).[5] Undang-Undang dan Keputusan Presiden yang bersifat mengatur (Peraturan Presiden), adalah peraturan perundang-undangan. Dengan demikian ditinjau dari sumber hukum, Perjanjian Internasional (traktat, treaty), bukan sumber hukum yang berdiri sendiri, melainkan masuk sebagai salah satu sumber peraturan perundang-undangan. Jadi ada semacam kontradiksi keilmuan. Disatu pihak, Perjanjian Internasional ditempatkan sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri, dipihak lain Perjanjian Internasional diberi bentuk peraturan perundang-undangan (Undang-Undang atau Keputusan Presiden/Peraturan Presiden).

Sistematik keilmuan ini berbeda dengan misalnya pada Negara-Negara Uni Eropa (27 Negara). Semua anggota Uni Eropa tidak memberi bentuk peraturan perundang-undangan nasional (seperti Undang-Undang). Perjanjian antar anggota Uni Eropa dan peraturan-peraturan yang ditetapkan Uni Eropa, berkedudukan lebih tinggi dari semua peraturan perundang-undangan nasional. Bahkan UUD harus menyesuaikan dengan traktat Uni Eropa. Perjanjian Internasional, khususnya perjanjian antar anggota, berada pada urutan teratas sumber hukum. Dengan demikian, Perjanjian Internasional (traktat, treaty), memang mempunyai bentuk hukum tersendiri terpisah dari peraturan perundang-undangan nasional, seperti Undang-Undang.

“DPR tidak mempunyai hak amandemen dalam pengesahan Perjanjian Internasional. DPR hanya berwenang menyetujui atau tidak menyetujui, menerima atau menolak mengesahkan suatu Perjanjian Internasional.”Kembali kepada memberi bentuk Undang-Undang Perjanjian Internasional. Sebagai konsekuensi diberi bentuk Undang-Undang, maka segala tata cara membentuk Undang-Undang berlaku pada peraturan perundang-undangan Perjanjian Internasional, kecuali:

Pertama, hak inisiatif membuat atau memasuki suatu Perjanjian Internasional semata-mata ada pada Presiden. DPR tidak mempunyai hak inisiatif membuat atau memasuki suatu Perjanjian Internasional. Mengapa?
Berdasarkan sistem pembagian kekuasaan Negara, apalagi pemisahan kekuasaan, hubungan luar negeri termasuk membuat atau memasuki Perjanjian Internasional masuk ke dalam lingkungan kekuasaan eksekutif bahkan sebagai kekuasaan eksklusif (exclusive power) eksekutif (dhi. Presiden atau Pemerintah yang bertindak atas kuasa atau atas nama Presiden). Jadi, kalau pernah ada pengesahan suatu Perjanjian Internasional atas inisiatif DPR merupakan suatu penyimpangan atas Asas Pembagian Kekuasaan sebagai kekuasaan eksklusif Presiden (Pemerintah). Hal ini serupa dengan hak budget. Meskipun DPR mempunyai hak budget, tetapi tidak mempunyai hak inisiatif mengajukan RUU APBN. Membuat dan melaksanakan APBN adalah kekuasaan eksekutif, bahkan lebih khusus sebagai kekuasaan administrasi Negara. Hal semacam ini dapat diperluas pada yang dalam ilmu hukum disebut “Undang-Undang formil” (formeel wet)[6] lain, seperti Undang-Undang pembentukan daerah otonom, pembentukan pengadilan tinggi, semestinya inisiatif hanya pada Presiden. Dalam praktek dijumpai pembentukan Kabupaten, Kota, Propinsi atas inisiatif DPR.

Kedua, DPR tidak mempunyai Hak Amandemen dalam pengesahan Perjanjian Internasional. DPR hanya berwenang menyetujui atau tidak menyetujui, menerima atau menolak mengesahkan suatu Perjanjian Internasional. Rancangan Undang-Undang suatu Perjanjian Internasional adalah hasil kesepakatan yang sudah diparaf oleh masing-masing Pemerintah. Dalam hal memasuki Perjanjian Internasional, DPR hanya setuju atau tidak setuju mengikatkan diri pada Perjanjian Internasional yang sudah ada. Jadi, kalau DPR, baik di dalam atau di luar sidang berpendapat agar ada perubahan isi suatu Perjanjian Internasional, sebagai syarat pengesahan, merupakan sesuatu ucapan atau tindakan tanpa wewenang.

Setiap Undang-Undang akan serta merta mengikat setelah segala tata cara melahirkan Undang - Undang dipenuhi, kecuali :
(1) Undang-Undang itu sendiri menyatakan saat (waktu) mulai berlaku.
(2) Undang-Undang itu sendiri menyatakan akan berlaku setelah ada peraturan pelaksana (implementing regulation).

Suatu contoh, Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Undang-Undang No. 5 Tahun 1986). Undang-undang ini menegaskan akan berlaku setelah lima tahun dan ada peraturan pelaksana (Peraturan Pemerintah).

Kasus yang sama berlaku juga pada Undang-Undang Perjanjian Internasional. Undang-Undang Perjanjian Internasional akan serta merta berlaku sebagaimana Undang-Undang pada umumnya, sepanjang tidak ada ketentuan pengecualian di atas. Khusus untuk Undang-Undang Perjanjian Internasional dapat ditambahkan klausula lain sehingga tidak serta merta berlaku.
(1) Syarat jumlah Negara penandatangan. Misalnya setelah ditandatangani lebih dari separoh anggota PBB.
(2) Mencantumkan syarat peraturan pelaksanaan (implementing regulation) baik untuk seluruh atau pasal-pasal tertentu. Misalnya, terhadap ketentuan yang menimbulkan kewajiban pada warga negara (kewajiban individual).
(3) Memerlukan penyesuaian hukum nasional, seperti penyesuaian UUD yang memuat ketentuan berbeda dengan Perjanjian Internasional yang bersangkutan.
(4)
“Harus diakui ada kemungkinan suatu Undang-Undang Perjanjian Internasional, seperti juga Undang-Undang lain, mengatur sesuatu sangat umum, lebih-lebih kalau akan berlaku pada individu, sehingga memerlukan peraturan pelaksanaan. Peraturan pelaksanaan dibuat karena kebutuhan penerapan, bukan sebagai syarat berlaku efektif.”Praktek ketatanegaraan yang senantiasa memerlukan peraturan pelaksana sebagai syarat Perjanjian Internasional berlaku efektif. Praktek ini seyogyanya tidak berlaku bagi Negara yang memberi bentuk Undang-Undang pada Perjanjian Internasional.

Di atas telah dikemukakan, sepanjang Undang-Undang Perjanjian Internasional telah dibuat dengan tata cara yang diatur Undang-Undang (Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 dan Peraturan Tata Tertib DPR), Undang-Undang tersebut akan serta merta mengikat, kecuali Undang-Undang tersebut menentukan lain.

Salah satu tata cara yang perlu dicatat adalah “memuat dalam Lembaran Negara”. UUD 1945 (termasuk setelah perubahan), tidak memuat fungsi hukum “memuat dalam Lembaran Negara”. Berbeda dengan UUDS ’50 yang menegaskan: “Pengundangan, terjadi dalam bentuk menurut Undang-Undang, adalah syarat tunggal untuk kekuatan mengikat”. Hal serupa dalam Konstitusi RIS. Demikian pula dalam AB dan IS.[7]

Bagaimana praktek ketatanegaraan yang berlaku. Ketentuan wajib memuat dalam Lembaran Negara dimuat dalam Undang-Undang yang bersangkutan dengan menyebutkan: “Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini melalui Lembaran Negara Republik Indonesia”.

Secara kebahasaan, ketentuan di atas seolah-olah hanya bersifat pengumuman (agar setiap orang mengetahui). Apakah sekedar pengumuman?

Ketentuan “agar setiap orang mengetahui...” merupakan pengejawantahan fiksi hukum: “setiap orang dianggap mengetahui Undang-Undang”. Setiap Undang-Undang atau peraturan yang telah dimuat dalam Lembaran Negara, tidak ada lagi alasan mengatakan tidak mengetahui, karena itu tidak terikat. Dengan perkataan lain, memuat dalam Lembaran Negara yang secara kebahasaan seolah-olah sekedar untuk diketahui (mengetahui), secara substantif mengandung arti dengan dimuat dalam Lembaran Negara berarti setiap orang terikat. Karena itu Undang-Undang tentang suatu Perjanjian Internasional dimuat dalam Lembaran Negara, maka dengan sendirinya mempunyai kekuatan mengikat, kecuali kalau ada klausula yang sudah diuraikan di atas.

Persoalannya, mungkin ditinjau dari bentuk hukum dan prinsip-prinsip pembentukan Undang-Undang, sudah semestinya Undang-Undang Perjanjian Internasional mengikat, tetapi Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 sebagai Undang-Undang yang mengatur tata cara membuat atau memasuki Perjanjian Internasional, tidak mencantumkan ketentuan mengikat tersebut. Lebih-lebih lagi jika dihubungkan dengan praktek ketatanegaraan yang selalu menyediakan peraturan pelaksanaan agar Perjanjian Internasional berlaku efektif. Bukankah dalam keadaan semacam itu, praktek ketatanegaraan yang telah menjadi konvensi mempunyai kedudukan kuat, bahkan lebih kuat?

Acap kali ada kekeliruan (misleading) mengartikan hubungan antara hukum atau peraturan perundang-undangan yang umum dengan yang khusus. Seolah-olah yang khusus harus atau pasti mengesampingkan yang umum. Semestinya tidak demikian. Prinsip yang benar adalah, ketentuan-ketentuan yang bersifat umum tetap berlaku pada peraturan khusus yang bersangkutan. Mari simak bunyi Pasal 1 KUH Dagang: “Ketentuan-ketentuan KUH Perdata, sepanjang tidak diatur khusus dalam Kitab Undang-Undang ini (maksudnya KUH Dagang) tetap berlaku (diterapkan). Hal serupa dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 yang tidak mengatur berbagai akibat hukum Perjanjian Internasional yang berbentuk Undang-Undang, maka berlaku asas dan ketentuan berlakunya suatu Undang-Undang. Karena sudah ada Undang-Undang (Undang-Undang No. 24 Tahun 2000) yang mengatur Perjanjian Internasional dalam bentuk Undang-Undang, maka segala sesuatu harus diselesaikan dengan bentuk Undang-Undang termasuk tata cara berlaku suatu Undang-Undang.

Harus diakui ada kemungkinan suatu Undang-Undang Perjanjian Internasional, seperti juga Undang-Undang lain, mengatur sesuatu sangat umum, lebih-lebih kalau akan berlaku pada individu, sehingga memerlukan peraturan pelaksanaan. Peraturan pelaksanaan dibuat karena kebutuhan penerapan, bukan sebagai syarat berlaku efektif.

Penutup

Ditinjau dari teori dan tata cara pembentukkan Undang-Undang, suatu Undang-Undang yang materi muatannya berasal dari Perjanjian Internasional akan serta merta mengikat seperti Undang-Undang lainnya.
Agar suatu Undang-Undang yang materi muatannya bersumber dari Perjanjian Internasional tidak perlu memerlukan Undang-Undang atau peraturan pelaksanaan (implementing regulation), kecuali Undang-Undang tersebut menentukan sendiri peraturan pelaksanaan.
[1] Konstitusi RIS Pasal 175 ayat (1) kalimat kedua: “kecuali jika ditentukan lain dengan undang-undang federal, perjanjian atau persetujuan lain tidak disahkan, melainkan jika sudah disetujui dalam bentuk Undang-Undang”.
[2] Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, Pasal 1 angka 1: “Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam Hukum Internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik”.
[3] Lihat, KC. Wheare, Modern Constitutions….
[4] Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, Pasal 9 ayat (2): “Pengesahan Perjanjian Internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan Undang-Undang atau Keputusan Presiden. Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, Pasal 10 “Pengesahan Perjanjian Internasional dilakukan dengan Undang-Undang apabila berkenaan dengan:
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan Negara.
b. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Negara Republik Indonesia.
c. Kedaulatan atau hak berdaulat Negara.
d. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup.
e. Pembentukan kaidah hukum baru.
f. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
[5]Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
[6] Undang-undang formil (formeel wet) berbeda dengan Undang-Undang dalam arti formil (wet in formeel zijn). Undang-undang formil adalah Undang-Undang yang dinamakan Undang-Undang karena cara pembentukannya sehingga diberi nama Undang-Undang. Undang-undang formil tidak memenuhi kriteria mengikat (secara ) umum, bahkan isinya lebih merupakan sebuah “beschikking”. Berbeda dengan Undang-Undang dalam arti formil. Selain berbentuk Undang-Undang, juga mengikat (secara) umum.
[7] UUDS’ 50, Pasal 100 ayat (2), menggunakan kata “pengundangan”, Konstitusi RIS, Pasal 143 ayat (2) menggunakan kata “pengumuman” dengan maksud yang sama yaitu “pengundangan”. Dalam terjemahan bahasa Belanda, baik UUDS’ 50 Pasal 100 ayat (2) maupun Konstitusi RIS Pasal 143 ayat (2), sama-sama diterjemahkan “afkondiging” yang secara baku diartikan ”pengundangan”.
AB, Pasal 1: “De bepalingen door de Koning, of, in zijnen noam, door den Gouverneur General vosgesteld, verkrijgen in Indonesie kracht van wet door hare afkondiging, in de vorm bebuald bij het reglement op het beleid der regering”.
IS, Pasal 95 ayat (2): “Die afkondiging wordt gerekend geschied te zijn door plaatsing in het Staatsblad van wed-indie. Zij is, in geldigen vorm geschied, de eenige voorwaarde der verbindbaarheid”.Bentuk Hukum
“Pengesahan Perjanjian Internasional”

Focus Group Discussion tentang Status Perjanjian Internasional dalam Sistem Hukum Indonesia (kerjasama Departemen Luar Negeri dengan Unpad, Bandung, 29 November 2008).
Pasal 11 UUD tidak menyebut bentuk hukum (Undang-Undang atau bentuk lain). Yang disebut adalah “persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, bukan produk hukumnya. Berbeda dengan UUDS ’50 menyebutkan: “Kecuali jika ditentukan lain dengan Undang-Undang, perjanjian atau persetujuan lain tidak disahkan, melainkan sesudah disetujui dengan Undang-Undang”. Ketentuan UUDS ’50, Pasal 120 ayat (1), serupa dengan Konstitusi RIS, Pasal 175 ayat (1) kalimat kedua.[1]

Walaupun Pasal 11 UUD hanya menyebut “dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, dalam praktek ketatanegaraan sebelum Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 (Perjanjian Internasional), setiap perjanjian yang memerlukan persetujuan DPR diberi bentuk Undang-Undang. Mengapa?

Pertama: berkaitan dengan makna “persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.

Baik berdasarkan praktek kelaziman, maupun ketentuan-ketentuan yang berlaku, dalam sistem perwakilan demokrasi, ada tiga fungsi yang melekat (dilekatkan) pada DPR yaitu fungsi legislatif (legislative function), fungsi pengesahan anggaran (budget function), dan fungsi pengawasan atau kendali (control function). Perjanjian Internasional adalah kesepakatan antara dua Negara atau lebih untuk melahirkan hukum atau persetujuan mengikatkan diri pada suatu hukum yang berlaku lintas Negara (Pasal 1 angka 1, Undang-Undang No. 24 Tahun 2000).[2] Kalau pengertian Perjanjian Internasional tersebut dikaitkan dengan fungsi DPR, akan termasuk fungsi membuat Undang-Undang, karena menciptakan hukum atau menyetujui suatu hukum yang berlaku lintas Negara. Telah menjadi kesepahaman umum, bentuk hukum yang dibuat DPR dalam menjalankan fungsi legislatif adalah Undang-Undang. Karena tidak ada bentuk peraturan perundang-undangan yang bersifat atau berlaku umum yang dapat dibuat DPR, kecuali Undang-Undang. Undang-Undang adalah produk fungsi legislatif DPR, karena itu, setiap Perjanjian Internasional yang memerlukan persetujuan DPR akan diberi bentuk Undang-Undang.

Kedua: berdasarkan praktek ketatanegaraan.

“Jadi ada semacam kontradiksi keilmuan. Disatu pihak, Perjanjian Internasional ditempatkan sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri, dipihak lain Perjanjian Internasional diberi bentuk peraturan perundang-undangan.” (Undang-Undang atau Keputusan Presiden/Peraturan Presiden)”.Telah menjadi praktek ketatanegaraan (konvensi) setiap Perjanjian Internasional yang memerlukan persetujuan DPR diberi bentuk Undang-Undang. Di masa sebelum Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, berlaku pedoman atas dasar Surat Presiden No. 2826/HK/60. Surat ini dikeluarkan sebagai jawaban atas surat Ketua DPR meminta ketegasan Pemerintah mengenai bentuk hukum Perjanjian Internasional, baik yang memerlukan persetujuan DPR, maupun yang tidak memerlukan persetujuan DPR (executive agreement).
Surat Ketua DPR, karena UUD 1945 tidak memuat ketentuan seperti diatur UUDS ’50, Pasal 120 ayat (1). Dalam Ilmu Hukum Tata Negara, surat semacam ini – demikian pula memorandum tertulis – dikategorikan sebagai menciptakan Konvensi Ketatanegaraan – walaupun tertulis – bukan hukum. Hal ini sesuai dengan pengertian konvensi sebagai ketentuan (rule) yang tidak dapat ditegakkan melalui pengadilan, karena bersifat etik belaka (constitutional ethic).[3] Dalam Ilmu Hukum Administrasi Negara, surat semacam ini digolongkan sebagai peraturan kebijakan (policy rules, beleidsregel), yang didasarkan pada asas manfaat (doelmatigheid), bukan berdasarkan hukum (rechtmatigheid).

Ketiga: setelah UUD 1945 berlaku kembali (5 Juli 1959), melalui Pasal II (sekarang Pasal I) Aturan Peralihan, dapat diterapkan ketentuan UUDS ’50, Pasal 120 ayat (1) kalimat kedua.

Ketentuan Pasal 120 ayat (1) kalimat kedua tetap dapat diterapkan, karena tidak bertentangan dengan UUD 1945, bahkan tersirat dalam Pasal 11 yang menyebut “dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, sekaligus mengandung makna “bentuk Undang-Undang”.

Sejak tahun 2000, argumen-argumen di atas telah dikukuhkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2), dan Pasal 10.[4]

Kedudukan dan kekuatan mengikat
Undang-Undang Perjanjian Internasional

Ilmu Hukum Indonesia atau Ilmu Tata Hukum Indonesia, mengajukan berbagai sumber hukum formal – antara lain – peraturan perundang-undangan dan Perjanjian Internasional (traktat, treaty). Dua sumber tersebut terpisah masing-masing berdiri sendiri. Tetapi dipihak lain, setiap Perjanjian Internasional yang dibuat atau dimasuki diberi bentuk Hukum Nasional yaitu Undang-Undang atau Keputusan Presiden (sekarang, lebih tepat Peraturan Presiden).[5] Undang-Undang dan Keputusan Presiden yang bersifat mengatur (Peraturan Presiden), adalah peraturan perundang-undangan. Dengan demikian ditinjau dari sumber hukum, Perjanjian Internasional (traktat, treaty), bukan sumber hukum yang berdiri sendiri, melainkan masuk sebagai salah satu sumber peraturan perundang-undangan. Jadi ada semacam kontradiksi keilmuan. Disatu pihak, Perjanjian Internasional ditempatkan sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri, dipihak lain Perjanjian Internasional diberi bentuk peraturan perundang-undangan (Undang-Undang atau Keputusan Presiden/Peraturan Presiden).

Sistematik keilmuan ini berbeda dengan misalnya pada Negara-Negara Uni Eropa (27 Negara). Semua anggota Uni Eropa tidak memberi bentuk peraturan perundang-undangan nasional (seperti Undang-Undang). Perjanjian antar anggota Uni Eropa dan peraturan-peraturan yang ditetapkan Uni Eropa, berkedudukan lebih tinggi dari semua peraturan perundang-undangan nasional. Bahkan UUD harus menyesuaikan dengan traktat Uni Eropa. Perjanjian Internasional, khususnya perjanjian antar anggota, berada pada urutan teratas sumber hukum. Dengan demikian, Perjanjian Internasional (traktat, treaty), memang mempunyai bentuk hukum tersendiri terpisah dari peraturan perundang-undangan nasional, seperti Undang-Undang.

“DPR tidak mempunyai hak amandemen dalam pengesahan Perjanjian Internasional. DPR hanya berwenang menyetujui atau tidak menyetujui, menerima atau menolak mengesahkan suatu Perjanjian Internasional.”Kembali kepada memberi bentuk Undang-Undang Perjanjian Internasional. Sebagai konsekuensi diberi bentuk Undang-Undang, maka segala tata cara membentuk Undang-Undang berlaku pada peraturan perundang-undangan Perjanjian Internasional, kecuali:

Pertama, hak inisiatif membuat atau memasuki suatu Perjanjian Internasional semata-mata ada pada Presiden. DPR tidak mempunyai hak inisiatif membuat atau memasuki suatu Perjanjian Internasional. Mengapa?
Berdasarkan sistem pembagian kekuasaan Negara, apalagi pemisahan kekuasaan, hubungan luar negeri termasuk membuat atau memasuki Perjanjian Internasional masuk ke dalam lingkungan kekuasaan eksekutif bahkan sebagai kekuasaan eksklusif (exclusive power) eksekutif (dhi. Presiden atau Pemerintah yang bertindak atas kuasa atau atas nama Presiden). Jadi, kalau pernah ada pengesahan suatu Perjanjian Internasional atas inisiatif DPR merupakan suatu penyimpangan atas Asas Pembagian Kekuasaan sebagai kekuasaan eksklusif Presiden (Pemerintah). Hal ini serupa dengan hak budget. Meskipun DPR mempunyai hak budget, tetapi tidak mempunyai hak inisiatif mengajukan RUU APBN. Membuat dan melaksanakan APBN adalah kekuasaan eksekutif, bahkan lebih khusus sebagai kekuasaan administrasi Negara. Hal semacam ini dapat diperluas pada yang dalam ilmu hukum disebut “Undang-Undang formil” (formeel wet)[6] lain, seperti Undang-Undang pembentukan daerah otonom, pembentukan pengadilan tinggi, semestinya inisiatif hanya pada Presiden. Dalam praktek dijumpai pembentukan Kabupaten, Kota, Propinsi atas inisiatif DPR.

Kedua, DPR tidak mempunyai Hak Amandemen dalam pengesahan Perjanjian Internasional. DPR hanya berwenang menyetujui atau tidak menyetujui, menerima atau menolak mengesahkan suatu Perjanjian Internasional. Rancangan Undang-Undang suatu Perjanjian Internasional adalah hasil kesepakatan yang sudah diparaf oleh masing-masing Pemerintah. Dalam hal memasuki Perjanjian Internasional, DPR hanya setuju atau tidak setuju mengikatkan diri pada Perjanjian Internasional yang sudah ada. Jadi, kalau DPR, baik di dalam atau di luar sidang berpendapat agar ada perubahan isi suatu Perjanjian Internasional, sebagai syarat pengesahan, merupakan sesuatu ucapan atau tindakan tanpa wewenang.

Setiap Undang-Undang akan serta merta mengikat setelah segala tata cara melahirkan Undang - Undang dipenuhi, kecuali :
(1) Undang-Undang itu sendiri menyatakan saat (waktu) mulai berlaku.
(2) Undang-Undang itu sendiri menyatakan akan berlaku setelah ada peraturan pelaksana (implementing regulation).

Suatu contoh, Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Undang-Undang No. 5 Tahun 1986). Undang-undang ini menegaskan akan berlaku setelah lima tahun dan ada peraturan pelaksana (Peraturan Pemerintah).

Kasus yang sama berlaku juga pada Undang-Undang Perjanjian Internasional. Undang-Undang Perjanjian Internasional akan serta merta berlaku sebagaimana Undang-Undang pada umumnya, sepanjang tidak ada ketentuan pengecualian di atas. Khusus untuk Undang-Undang Perjanjian Internasional dapat ditambahkan klausula lain sehingga tidak serta merta berlaku.
(1) Syarat jumlah Negara penandatangan. Misalnya setelah ditandatangani lebih dari separoh anggota PBB.
(2) Mencantumkan syarat peraturan pelaksanaan (implementing regulation) baik untuk seluruh atau pasal-pasal tertentu. Misalnya, terhadap ketentuan yang menimbulkan kewajiban pada warga negara (kewajiban individual).
(3) Memerlukan penyesuaian hukum nasional, seperti penyesuaian UUD yang memuat ketentuan berbeda dengan Perjanjian Internasional yang bersangkutan.
(4)
“Harus diakui ada kemungkinan suatu Undang-Undang Perjanjian Internasional, seperti juga Undang-Undang lain, mengatur sesuatu sangat umum, lebih-lebih kalau akan berlaku pada individu, sehingga memerlukan peraturan pelaksanaan. Peraturan pelaksanaan dibuat karena kebutuhan penerapan, bukan sebagai syarat berlaku efektif.”Praktek ketatanegaraan yang senantiasa memerlukan peraturan pelaksana sebagai syarat Perjanjian Internasional berlaku efektif. Praktek ini seyogyanya tidak berlaku bagi Negara yang memberi bentuk Undang-Undang pada Perjanjian Internasional.

Di atas telah dikemukakan, sepanjang Undang-Undang Perjanjian Internasional telah dibuat dengan tata cara yang diatur Undang-Undang (Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 dan Peraturan Tata Tertib DPR), Undang-Undang tersebut akan serta merta mengikat, kecuali Undang-Undang tersebut menentukan lain.

Salah satu tata cara yang perlu dicatat adalah “memuat dalam Lembaran Negara”. UUD 1945 (termasuk setelah perubahan), tidak memuat fungsi hukum “memuat dalam Lembaran Negara”. Berbeda dengan UUDS ’50 yang menegaskan: “Pengundangan, terjadi dalam bentuk menurut Undang-Undang, adalah syarat tunggal untuk kekuatan mengikat”. Hal serupa dalam Konstitusi RIS. Demikian pula dalam AB dan IS.[7]

Bagaimana praktek ketatanegaraan yang berlaku. Ketentuan wajib memuat dalam Lembaran Negara dimuat dalam Undang-Undang yang bersangkutan dengan menyebutkan: “Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini melalui Lembaran Negara Republik Indonesia”.

Secara kebahasaan, ketentuan di atas seolah-olah hanya bersifat pengumuman (agar setiap orang mengetahui). Apakah sekedar pengumuman?

Ketentuan “agar setiap orang mengetahui...” merupakan pengejawantahan fiksi hukum: “setiap orang dianggap mengetahui Undang-Undang”. Setiap Undang-Undang atau peraturan yang telah dimuat dalam Lembaran Negara, tidak ada lagi alasan mengatakan tidak mengetahui, karena itu tidak terikat. Dengan perkataan lain, memuat dalam Lembaran Negara yang secara kebahasaan seolah-olah sekedar untuk diketahui (mengetahui), secara substantif mengandung arti dengan dimuat dalam Lembaran Negara berarti setiap orang terikat. Karena itu Undang-Undang tentang suatu Perjanjian Internasional dimuat dalam Lembaran Negara, maka dengan sendirinya mempunyai kekuatan mengikat, kecuali kalau ada klausula yang sudah diuraikan di atas.

Persoalannya, mungkin ditinjau dari bentuk hukum dan prinsip-prinsip pembentukan Undang-Undang, sudah semestinya Undang-Undang Perjanjian Internasional mengikat, tetapi Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 sebagai Undang-Undang yang mengatur tata cara membuat atau memasuki Perjanjian Internasional, tidak mencantumkan ketentuan mengikat tersebut. Lebih-lebih lagi jika dihubungkan dengan praktek ketatanegaraan yang selalu menyediakan peraturan pelaksanaan agar Perjanjian Internasional berlaku efektif. Bukankah dalam keadaan semacam itu, praktek ketatanegaraan yang telah menjadi konvensi mempunyai kedudukan kuat, bahkan lebih kuat?

Acap kali ada kekeliruan (misleading) mengartikan hubungan antara hukum atau peraturan perundang-undangan yang umum dengan yang khusus. Seolah-olah yang khusus harus atau pasti mengesampingkan yang umum. Semestinya tidak demikian. Prinsip yang benar adalah, ketentuan-ketentuan yang bersifat umum tetap berlaku pada peraturan khusus yang bersangkutan. Mari simak bunyi Pasal 1 KUH Dagang: “Ketentuan-ketentuan KUH Perdata, sepanjang tidak diatur khusus dalam Kitab Undang-Undang ini (maksudnya KUH Dagang) tetap berlaku (diterapkan). Hal serupa dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 yang tidak mengatur berbagai akibat hukum Perjanjian Internasional yang berbentuk Undang-Undang, maka berlaku asas dan ketentuan berlakunya suatu Undang-Undang. Karena sudah ada Undang-Undang (Undang-Undang No. 24 Tahun 2000) yang mengatur Perjanjian Internasional dalam bentuk Undang-Undang, maka segala sesuatu harus diselesaikan dengan bentuk Undang-Undang termasuk tata cara berlaku suatu Undang-Undang.

Harus diakui ada kemungkinan suatu Undang-Undang Perjanjian Internasional, seperti juga Undang-Undang lain, mengatur sesuatu sangat umum, lebih-lebih kalau akan berlaku pada individu, sehingga memerlukan peraturan pelaksanaan. Peraturan pelaksanaan dibuat karena kebutuhan penerapan, bukan sebagai syarat berlaku efektif.

Penutup

Ditinjau dari teori dan tata cara pembentukkan Undang-Undang, suatu Undang-Undang yang materi muatannya berasal dari Perjanjian Internasional akan serta merta mengikat seperti Undang-Undang lainnya.
Agar suatu Undang-Undang yang materi muatannya bersumber dari Perjanjian Internasional tidak perlu memerlukan Undang-Undang atau peraturan pelaksanaan (implementing regulation), kecuali Undang-Undang tersebut menentukan sendiri peraturan pelaksanaan.
Endnote
[1] Konstitusi RIS Pasal 175 ayat (1) kalimat kedua: “kecuali jika ditentukan lain dengan undang-undang federal, perjanjian atau persetujuan lain tidak disahkan, melainkan jika sudah disetujui dalam bentuk Undang-Undang”.
[2] Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, Pasal 1 angka 1: “Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam Hukum Internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik”.
[3] Lihat, KC. Wheare, Modern Constitutions….
[4] Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, Pasal 9 ayat (2): “Pengesahan Perjanjian Internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan Undang-Undang atau Keputusan Presiden. Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, Pasal 10 “Pengesahan Perjanjian Internasional dilakukan dengan Undang-Undang apabila berkenaan dengan:
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan Negara.
b. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Negara Republik Indonesia.
c. Kedaulatan atau hak berdaulat Negara.
d. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup.
e. Pembentukan kaidah hukum baru.
f. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
[5]Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
[6] Undang-undang formil (formeel wet) berbeda dengan Undang-Undang dalam arti formil (wet in formeel zijn). Undang-undang formil adalah Undang-Undang yang dinamakan Undang-Undang karena cara pembentukannya sehingga diberi nama Undang-Undang. Undang-undang formil tidak memenuhi kriteria mengikat (secara ) umum, bahkan isinya lebih merupakan sebuah “beschikking”. Berbeda dengan Undang-Undang dalam arti formil. Selain berbentuk Undang-Undang, juga mengikat (secara) umum.
[7] UUDS’ 50, Pasal 100 ayat (2), menggunakan kata “pengundangan”, Konstitusi RIS, Pasal 143 ayat (2) menggunakan kata “pengumuman” dengan maksud yang sama yaitu “pengundangan”. Dalam terjemahan bahasa Belanda, baik UUDS’ 50 Pasal 100 ayat (2) maupun Konstitusi RIS Pasal 143 ayat (2), sama-sama diterjemahkan “afkondiging” yang secara baku diartikan ”pengundangan”.
AB, Pasal 1: “De bepalingen door de Koning, of, in zijnen noam, door den Gouverneur General vosgesteld, verkrijgen in Indonesie kracht van wet door hare afkondiging, in de vorm bebuald bij het reglement op het beleid der regering”.
IS, Pasal 95 ayat (2): “Die afkondiging wordt gerekend geschied te zijn door plaatsing in het Staatsblad van wed-indie. Zij is, in geldigen vorm geschied, de eenige voorwaarde der verbindbaarheid”.































Demikianlah Artikel BAGIR MANAN: AKIBAT HUKUM DI DALAM NEGERI PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL (TINJAUAN HUKUM TATA NEGARA)

Sekianlah artikel BAGIR MANAN: AKIBAT HUKUM DI DALAM NEGERI PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL (TINJAUAN HUKUM TATA NEGARA) kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel BAGIR MANAN: AKIBAT HUKUM DI DALAM NEGERI PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL (TINJAUAN HUKUM TATA NEGARA) dengan alamat link https://www.cyberlaw.my.id/2012/04/bagir-manan-akibat-hukum-di-dalam.html