APA ARTI PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL? oleh Damos Dumoli Agusman

APA ARTI PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL? oleh Damos Dumoli Agusman - Hallo sahabat Cyberlaw Indonesia, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul APA ARTI PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL? oleh Damos Dumoli Agusman, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel law of treaties, Artikel treaties and domestic law, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : APA ARTI PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL? oleh Damos Dumoli Agusman
link : APA ARTI PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL? oleh Damos Dumoli Agusman

Baca juga


APA ARTI PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL? oleh Damos Dumoli Agusman


Dimuat dalam Opini Juris, Kementerian Luar Negeri, Vol. 2 (2009)

Dari sisi Hukum Perjanjian Internasional, maka Ratifikasi pada esensinya adalah Konfirmasi


Globalisasi Hubungan Internasional dewasa ini telah semakin meningkatkan persentuhan dan interaksi antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional di Indonesia. Interaksi kedua bidang hukum ini semakin mempertajam pertanyaan tentang arti lembaga “pengesahan” (ratifikasi, aksesi, acceptance, approval) dalam kaitannya dengan status Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional Republik Indonesia.

Dari tataran teoritis dan praktis, pengertian lembaga pengesahan/ratifikasi ternyata dipahami secara berbeda oleh kalangan ahli Hukum Tata Negara dan oleh ahli Hukum Internasional. Lembaga pengesahan/ratifikasi itu sendiri pada hakekatnya berasal dari konsepsi Hukum Perjanjian Internasional yang se lalu diartikan sebagai tindakan ‘konfirmasi’ dari suatu Negara terhadap perbuatan hukum dari pejabatnya yang telah menandatangani suatu perjanjian sebagai tanda persetujuan untuk terikat pada perjanjian itu. Dari sisi Hukum Perjanjian maka ratifikasi pada esensinya adalah konfirmasi. Konfirmasi ini dibutuhkan karena pada era permulaan berkembangnya Perjanjian Internasional masalah komunikasi serta jarak geografis antar Negara merupakan faktor yang mengharuskan adanya ruang bagi setiap Negara untuk mengkonfirmasi setiap perjanjian yang telah ditandatangani oleh pejabatnya. Namun demikian, lembaga ini pada perkembangan selanjutnya juga mulai dikenal dan berkembang dalam hukum ketatanegaraan setiap Negara yang digunakan untuk objek yang sama yaitu Perjanjian Internasional. Lembaga pengesahan/ratifikasi dalam hukum ketatanegaraan selalu diartikan sebagai tindakan persetujuan oleh suatu organ Negara terhadap perbuatan Pemerintah untuk membuat perjanjian atau konfirmasi organ tersebut terhadap penandatanganan suatu perjanjian oleh Pemerintahnya.


Bertolak dari perbedaan disiplin hukum tentang pengesahan/ratifikasi tersebut diatas, maka secara tradisional, pengesahan/ratifikasi Perjanjian Internasional selalu dilihat dari dua perspektif prosedur yang terpisah namun terkait, yaitu Prosedur Internal (Nasional) dan Prosedur Eksternal (Internasional).
· Dari perspektif Prosedur Internal, pengesahan/ratifikasi Perjanjian Internasional adalah masalah Hukum Tata Negara, yaitu Hukum Nasional Indonesia yang mengatur tentang kewenangan eksekutif dan legislatif dalam pembuatan Perjanjian Internasional serta mengatur produk Hukum apa yang harus dikeluarkan untuk menjadi dasar bagi Indonesia melakukan Prosedur Eksternal.

Sedangkan dari perspektif Prosedur Eksternal maka pengesahan/ratifikasi Perjanjian adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu Perjanjian Internasional dalam bentuk ratifikasi, aksesi, penerimaan dan persetujuan.
(The international act so named whereby a State establishes on the international plane its consent to be bound by a treaty) yang diatur oleh Hukum Perjanjian Internasional.


“hukum tata Negara RI tanpa sengaja mengartikan lembaga pengesahan/ratifikasi sebagai “persetujuan DPR” bukan “konfirmasi” dan hal ini tercermin dalam pasal 11 uud 1945. namun dalam praktek ketatanegaraan ri, yang kemudian ditafsirkan oleh undang-undang no. 24 tahun 2000 tentang perjanjian internasional, pengertian persetujuan ini bergeser menjadi “konfirmasi dpr” ketimbang “persetujuan DPR”.


Para perumus Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional (Komisi Hukum Internasional) menyadari adanya perbedaan ini dan bahkan mengakui bahwa kedua perspektif ini selalu membingungkan. Komisi secara tegas menyatakan bahwa “Since it is clear that there is some tendency for the international and internal procedures to be confused and since it is only international procedures which are relevant to international law of treaties, the Commission thought it desirable in the definition to lay heavy emphasis on the fact that it is purely the international act to which the terms ratification relate in the present article.”[1] Namun demikian, sekalipun membedakannya, relasi kedua prosedur ini cukup jelas bagi Komisi. Pada bagian lain, Komisi menegaskan bahwa Prosedur Internal harus dipenuhi untuk dapat dilaksanakannya Prosedur Eksternal. Komisi lebih lanjut menegaskan bahwa berlakunya perjanjian terhadap suatu Negara ditentukan oleh Prosedur Eksternal bukan Prosedur Internal.

Jika dalam Prosedur Eksternal pengertian pengesahan/ratifikasi adalah “konfirmasi” dari Negara maka pada Prosedur Internal pengertian ini dapat berupa:

a. “Konfirmasi”, yaitu organ Negara seperti parlemen memberikan konfirmasi terhadap perbuatan Pemerintah yang telah menandatangani suatu perjanjian, atau
b. “Persetujuan”, yaitu organ Negara seperti parlemen memberikan persetujuan terlebih dahulu terhadap perjanjian yang akan ditandatangani oleh Pemerintah.

Hukum Tata Negara RI tanpa sengaja mengartikan lembaga pengesahan/ratifikasi sebagai “persetujuan DPR” bukan “konfirmasi” dan hal ini tercermin dalam Pasal 11 UUD 1945.[2] Namun dalam praktek ketatanegaraan RI, yang kemudian ditafsirkan oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, pengertian persetujuan ini bergeser menjadi “konfirmasi DPR” ketimbang “persetujuan DPR”. Itulah sebabnya pasal ini masih menyisakan pertanyaan mendasar tentang “apakah DPR harus terlibat membuat perjanjian sebelum ditandatangani atau hanya terlibat setelah perjanjian ditandatangani oleh Pemerintah?” Dalam hal ini perbedaan pengertian “persetujuan” dengan “konfirmasi” pada lembaga pengesahan/ratifikasi menjadi sangat relevan. Permasalahan ini tentunya akan sangat terkait dengan persoalan wewenang membuat perjanjian, apakah wewenang eksklusif eksekutif atau tidak.

Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional per definisi hanya mengatur tentang pengesahan/ratifikasi dalam perspektif Prosedur Eksternal sehingga berkarakter “konfirmasi”, yaitu perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu Perjanjian Internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval). Namun demikian Undang-Undang ini juga mengatur tentang persyaratan internal (pengesahan/ratifikasi dengan Undang-Undang atau Perpres) sebagai dasar konstitusional untuk dapat melakukan pengesahan/ratifikasi dalam perspektif eksternal. Dalam Undang-Undang dan praktek Indonesia, untuk Prosedur Eksternal (yaitu penerbitan notification atau instrument of ratification/ accession / acceptance/approval oleh Departemen Luar Negeri) hanya dapat dilakukan setelah Prosedur Internal terpenuhi. Akibatnya, secara hakiki maka Undang-Undang ini telah memberikan interpretasi bahwa yang dimaksud dengan “persetujuan DPR” pada Pasal 11 UUD 1945 adalah “konfirmasi” yang berarti bahwa keterlibatan DPR adalah untuk menerima atau menolak pengesahan/ratifikasi perjanjian yang sudah dibuat oleh Pemerintah bukan untuk menyetujui perjanjian yang akan dibuat oleh Pemerintah. Dari kekisruhan ini maka dapat disimpulkan bahwa telah terjadi tarik menarik untuk mengartikan pengertian pengesahan/ratifikasi antara Hukum Tata Negara dengan Hukum Perjanjian Internasional. Pasal 11 UUD 1945 sebagai produk Hukum Tata Negara bergesekan dengan Undang-Undang No 24 Tahun 2000 yang sangat dipengaruhi oleh Hukum Perjanjian Internasional. Dalam kaitan ini, pandangan Prof. Bagir Manan bahwa “wewenang untuk melakukan hubungan luar negeri termasuk membuat dan memasuki Perjanjian Internasional adalah kekuasaan eksklusif eksekutif”[3] menjadi sangat relevan. Dalam hal ini maka pengertian “persetujuan DPR” pada Pasal 11 UUD 1945 harus diartikan sebagai “konfirmasi DPR” atas perbuatan hukum eksekutif.

...“Mohammad Yamin sebagai salah satu perumus UUD 1945 pernah menyatakan bahwa “tidak diterapkan dalam Pasal 11 bentuk juridis lain daripada persetujuan DPR, Sehingga persetujuan DPR itu sendiri berupa apapun telah mencakupi syarat formil menurut Konstitusi Pasal 11”...

Format Undang-Undang sebagai Output dari “Persetujuan DPR”: Formal atau Prosedural?

Persoalan mendasar lainnya adalah apa output dari tindakan “persetujuan DPR” seperti yang dimaksud oleh Pasal 11 UUD 1945? Mohammad Yamin sebagai salah satu perumus UUD 1945 pernah menyatakan bahwa “tidak diterapkan dalam Pasal 11 bentuk juridis lain daripada persetujuan DPR, sehingga persetujuan DPR itu sendiri berupa apapun telah mencakupi syarat formil menurut Konstitusi Pasal 11”.[4] Dari pandangan Muhammad Yamin tersebut maka sebenarnya “persetujuan DPR” dapat mengambil bentuk apa pun dan hanya merupakan syarat formil untuk dibuatnya suatu Perjanjian Internasional. Namun dalam perkembangan praktek ketatanegaraan Indonesia output dari “persetujuan DPR” ini telah mengambil bentuk Undang-Undang. Perkembangan ini tercermin dari praktek yang timbul menyusul Surat Presiden No. 2826/HK/1960 kepada Ketua DPR, yang selalu menuangkan “persetujuan DPR” kedalam format Undang-Undang dan dalam praktek istilah ini selanjutnya selalu diartikan secara baku sebagai “pengesahan/ratifikasi”. Pemahaman ini kemudian terkristalisasi dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang secara sengaja telah menafsirkan kata “persetujuan DPR” pasal 11 UUD 1945 sebagai “pengesahan dengan bentuk Undang-Undang”. Namun tanpa disengaja Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 ternyata mendefinisikan istilah “pengesahan/ratifikasi” sebagai perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu Perjanjian Internasional dalam bentuk ratifikasi, aksesi, penerimaan dan persetujuan.[5] Sekalipun memakai definisi eksternal, Undang-Undang ini juga ternyata mengartikan pengesahan/ratifikasi seperti yang dikenal dalam Prosedur Internal (misalnya pemakaian istilah “pengesahan dengan Undang-Undang/Keppres” sehingga tanpa disengaja telah menggunakan istilah yang sama untuk pengertian yang sebenarnya berbeda.

Selanjutnya apa konsekeunsi dari Undang-Undang atau Perpres yang mengesahkan suatu Perjanjian terhadap Hukum Nasional (aspek internal) ternyata telah pula menimbulkan perdebatan baik di kalangan akademisi maupun praktisi. Masalah ini telah menjadi perdebatan dalam kerangka pergulatan teori monisme-dualisme tentang hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional. Konstruksi yang tepat perihal ini (apakah monisme atau dualisme) belum tercermin dalam Hukum Tata Negara Indonesia. Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional ternyata juga tidak dimaksudkan untuk menyentuh masalah substansi aspek internal dari pengesahan/ratifikasi ini.

Dituangkannya “persetujuan DPR” dalam format Undang-Undang/Perpres telah melahirkan diskusi baru tentang apa arti Undang-Undang/Perpres yang mengesahkan tersebut, apakah “pengaturan” atau “penetapan”. Dengan formatnya sebagai Undang-Undang/Perpres maka Hukum Nasional dewasa ini cenderung memperlakukan Undang-Undang/Perpres ini sebagaimana layaknya produk legislasi yang dengan demikian tunduk pada kaidah perundang-undangan. Dalam kaitan ini Prof. Bagir Manan memberi pernyataan yang sangat menarik yaitu “Jadi ada semacam kontradiksi keilmuan. Di satu pihak, Perjanjian Internasional ditempatkan sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri, di pihak lain Perjanjian Internasional diberi bentuk peraturan perundang-undangan (Undang-Undang atau Keputusan Presiden/Peraturan Presiden).”[6] Dari tataran praktis, pemberian bentuk peraturan perundang-undangan terhadap pengesahan Perjanjian Internasional telah menimbulkan berbagai pertanyaan, antara lain:

a. Apakah Perjanjian Internasional yang diratifikasi oleh Undang-Undang/Perpres dapat dibatalkan oleh perundang-undangan yang lebih tinggi?
b. Apakah suatu Undang-Undang tidak dapat mengakui eksistensi suatu Perjanjian Internasional karena hanya diratifikasi dengan Perpres?
c. Apakah Perjanjian Internasional yang disahkan dengan Undang-Undang tidak bisa langsung diimplementasikan dengan Peraturan Pemerintah atau Perpres?
d. Apakah Undang-Undang/Perpres yang mengesahkan Perjanjian Internasional dapat di judicial-review?

Jika diidentifikasi dan dipetakan maka secara garis besar setidak-tidaknya terdapat dua pandangan yang secara dinamis hidup dalam dunia akademis dan praktisi tentang arti Undang-Undang/Perpres pengesahan/ratifikasi, yaitu:

a. Pertama, pandangan yang menilai Undang-Undang/Perpres yang mengesahkan suatu Perjanjian adalah produk Hukum Nasional (substantif) yang mentransformasikan materi perjanjian ke dalam Hukum Nasional sehingga status perjanjian berubah menjadi Hukum Nasional. Undang-Undang/Perpres ini telah memiliki efek normatif. Norma yang diaplikasikan dalam Hukum Nasional adalah dalam karakternya dan formatnya sebagai materi Undang-Undang/Perpres dan bukan dalam karakternya sebagai norma perjanjian. Kelompok ini menilai tidak perlu lagi ada legislasi baru untuk memberlakukan norma perjanjian kedalam Hukum Nasional (dualisme?). Pendekatan ini tampaknya tercermin pada Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang pada pasal 7 ayat (2) menyatakan “ketentuan Hukum Internasional yang telah diterima Negara Republik Indonesia yang menyangkut Hak Asasi Manusia menjadi Hukum Nasional.

b. Kedua, pandangan yang menilai Undang-Undang/Perpres yang mengesahkan suatu Perjanjian adalah bersifat prosedural yaitu hanya merupakan persetujuan DPR/Presiden dalam jubah Undang-Undang/Perpres. Undang-Undang/Perpres ini tidak memiliki efek normatif karena hanya bersifat penetapan bukan pengaturan. Pandangan ini pada tahap selanjutnya akan terbagi dua, yaitu:

Pertama, pandangan yang menganggap Undang-Undang/Perpres yang mengesahkan suatu Perjanjian adalah ”menginkorporasi” Perjanjian tersebut kedalam sistem Hukum Nasional. Dengan inkorporasi ini maka Perjanjian Internasional dalam karakternya sebagai norma Hukum Internasional telah memiliki efek normatif dan mengikat di dalam Hukum Nasional. Keterikatan penegak hukum terhadap norma yang dihasilkan adalah bersumber dari perjanjian itu sendiri dan bukan dari Undang-Undang/Perpres yang mengesahkan (monisme?). Pandangan ini tercermin dalam praktek administrasi Negara misalnya dalam penerapan Konvensi Wina 1961/1963 tentang Hubungan Diplomatik/Konsuler yang diratifikasi dengan Undang-Undang No. 1/1982. Konvensi ini telah dijadikan dasar hukum bagi Pemerintah untuk memberikan pembebasan pajak serta fasilitas diplomatik lainnya kepada para korps diplomatik di Indonesia. Dalam hal ini tidak diperlukan transformasi kaidah Konvensi kedalam Hukum Nasional dan bahkan sampai saat ini tidak ada legislasi nasional yang memuat kaidah konvensi ini.
·
“Apapun pandangan yang hendak dianut oleh Indonesia hendaknya dapat ditegaskan dalam sistem hukum Indonesia baik dalam suatu doktrin maupun aturan konstitusi/legislasi guna menciptakan kepastian hukum serta prinsip “predictability” baik kalangan akademisi khususnya praktisi seperti diplomat.”Kedua, pandangan yang menganggap Undang-Undang/Perpres yang mengesahkan suatu Perjanjian hanya sekedar jubah persetujuan DPR/Presiden kepada Pemerintah RI untuk mengikatkan diri pada tataran Hukum Internasional dan belum mengikat pada tataran Hukum Nasional. Untuk itu masih dibutuhkan legislasi nasional tersendiri untuk mengkonversikan materi perjanjian menjadi materi Hukum Nasional. Tanpa legislasi nasional ini maka Indonesia sebagai subjek Hukum Internasional hanya terikat pada tataran internasional, sedangkan warganegaranya tidak terikat (dualisme?). Pandangan ini misalnya tercermin dalam praktek Indonesia menyikapi UNCLOS 1982 yang diratifikasi dengan Undang-Undang No. 17/1985. Undang-Undang ini hanya bersifat prosedural sehingga masih dibutuhkan suatu Undang-Undang lain yang mentransformasikan UNCLOS 1982 ke dalam Hukum Nasional, yaitu Undang-Undang No. 6/1996 tentang Perairan yang pada hakekatnya adalah penulisan kembali (“copy paste”) pasal-pasal pada UNCLOS 1982. Undang-Undang No. 6/1996 inilah (bukan Undang-Undang No. 17/1985) yang mencabut Undang-Undang No. 4/1960 tentang Perairan Indonesia.

Permasalahan praktis yang muncul dewasa ini yang bersumber dari tarik menarik antara perbedaan berbagai pandangan tersebut adalah adanya gagasan untuk meningkatkan status Keppres No. 36 Tahun 1990 (yang meratifikasi Konvensi tentang Hak Anak 1989) menjadi Undang-Undang dengan dalih bahwa kedudukannya sebagai Keppres telah mempersulit untuk dikeluarkannya Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah guna mengimplementasikan Konvensi ini. Produk setingkat Undang-Undang (seperti Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak) tidak bisa merujuk atau mendasarkan pada Konvensi tentang Hak Anak dengan alasan bahwa Konvensi ini berstatus Keppres. Pemikiran ini mewakili pandangan yang melihat Keppres 36 Tahun 1990 sebagai produk substantif sebagaimana layaknya suatu Keppres sehingga diberlakukan logika hirarki perundang-undangan.

Implikasi juridis dari peningkatan status ratifikasi ini akan muncul terhadap Hukum Internasional. Dari sisi Hukum Internasional ratifikasi adalah pernyataan “consent to be bound by a treaty” yang bersifat “eenmalig” (satu kali saja/final) dan tidak melihat bagaimana Hukum Tata Negara mengatur mengenai pernyataan ini. Dengan kata lain, pada saat Indonesia telah menyatakan persetujuan untuk terikat pada Konvensi ini melalui ratifikasi, maka pada saat itu pula Konvensi ini berlaku (entry into force) bagi Indonesia. Peningkatan status ratifikasi (dari Keppres ke Undang-Undang) tidak akan dapat mempengaruhi/mengubah status Konvensi vis a vis Indonesia. Dalam hal ini, peningkatan status Keppres menjadi Undang-Undang tidak akan mungkin dilanjutkan dengan penyampaian ratifikasi baru kepada Sekjen PBB karena “peningkatan tingkat ratifikasi” tidak dikenal dalam Hukum Internasional.

Di lain pihak, pandangan kedua akan menolak gagasan peningkatan status ratifikasi ini. Menurut mereka Keppres No. 36 Tahun 1990 bersifat prosedural yang mengantar Indonesia menjadi terikat pada Konvensi tentang Hak Anak. Pandangan bahwa Keppres ini hanya bersifat prosedural didasarkan pada fakta hukum bahwa berlakunya Konvensi ini terhadap Indonesia tidak secara langsung disebabkan oleh Keppres ini melainkan disebabkan oleh “instrument of ratification” yang disampaikan oleh Indonesia kepada Depository (Sekjen PBB). Berlakunya Konvensi terhadap Indonesia bukan pada tanggal berlakunya Keppres melainkan pada tanggal diserahkannya “instrument of ratification” kepada depository.

Berdasarkan padangan kedua ini maka Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak seharusnya tidak perlu merujuk Keppres ini namun langsung merujuk pada Konvensi-nya. Menurut pandangan ini, seyogyanya tidak ada persoalan untuk mengeluarkan produk legislasi (Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah) untuk mengimplementasikan Konvensi ini karena yang diimplementasikan adalah Konvensi tentang Hak Anak (sebagai norma Hukum Internasional yang telah berlaku bagi Indonesia) bukan Keppres No. 36 Tahun 1990 sebagai suatu produk legislasi.

Pandangan ini juga akan cenderung mengusulkan bahwa seyogyanya pada preamble Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 menyebutkan Konvensi-nya terlebih dahulu sehingga berbunyi:

“...Mengingat Konvensi tentang Hak Anak 1989 yang disahkan melalui Keppres 36 Tahun 1990...”

Perlukah Politik Hukum tentang Pengesahan/Ratifikasi?

Pandangan-pandangan tersebut diatas tampaknya tidak selalu kaku dan terdapat ruang untuk adanya variasi yang menggabungkan elemen masing-masing pendekatan. Selain itu, tidak tertutup adanya pandangan lain yang mungkin belum terdeteksi dan masih dikembangkan dalam dunia akademisi.

Apa pun pandangan yang hendak dianut oleh Indonesia hendaknya dapat ditegaskan dalam sistem hukum Indonesia baik dalam suatu doktrin maupun aturan konstitusi/legislasi guna menciptakan kepastian hukum serta prinsip “predictability” baik kalangan akademisi khususnya praktisi seperti diplomat. Sehubungan dengan itu maka sudah waktunya untuk mewacanakan suatu politik hukum tentang hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional yang dapat menjawab tentang arti dan fungsi pengesahan/ratifikasi khususnya terhadap status hukum dari Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional.

Sekalipun Hukum Tata Negara Indonesia belum memberi ketegasan tentang arti dan konsekuesi hukum dari suatu pengesahan/ratifikasi, setelah melalui pembahasan dan kajian yang intensif dengan berbagai kelompok akademis tentang pengertian pengesahan/ratifikasi ini maka kecenderungan kuat sebaiknya diarahkan pada konstruksi pemahaman tentang pengesahan/ratifikasi sbb:

a. Pengesahan pada hakekatnya adalah the international act so named whereby a State establishes on the international plane its consent to be bound by a treaty yang diwujudkan melalui penerbitan instrument of ratification/accession oleh Menteri Luar Negeri. Pengesahan ini harus dilihat sebagai proses yang menginkorporasi materi Perjanjian Internasional ke Hukum Nasional.
b. Bahwa Pengesahan dilakukan dengan Undang-Undang/Perpres harus dilihat sebagai mekanisme internal hukum ketatanegaraan untuk memberikan landasan hukum bagi Pemerintah c.q. Menteri Luar Negeri untuk mengikatkan Indonesia pada perjanjian. Dalam hal ini, Undang-Undang/Perpres dimaksud adalah instrumen yang memiliki efek prosedural bukan bukan efek normatif.
c. Dengan terikatnya Indonesia pada suatu perjanjian (melalui pengesahan eksternal) maka materi perjanjian dimaksud telah mengikat baik pada tataran internasional maupun dalam sistem Hukum Nasional dan tidak dibutuhkan legislasi nasional untuk membuatnya mengikat dalam Hukum Nasional. Dalam hal ini yang dibutuhkan hanya legislasi nasional yang mengimplementasikan (bukan yang mentransformasikan) materi perjanjian.
d. Konstruksi ini sejalan dengan maksud perumus Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional pada waktu itu bahwa jika Perjanjian sudah disahkan dengan perundang-undangan maka diasumsikan sudah mengikat dalam sistem Hukum Nasional. Hal ini tercermin dari penjelasan Pasal 13 Undang-Undang No. 24 Tahun 2000: “Penempatan peraturan perundang-undangan pengesahan suatu Perjanjian Internasional di dalam Lembaran Negara dimaksudkan agar setiap orang dapat mengetahui Perjanjian yang dibuat Pemerintah dan mengikat seluruh Warga Negara Indonesia”.












Demikianlah Artikel APA ARTI PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL? oleh Damos Dumoli Agusman

Sekianlah artikel APA ARTI PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL? oleh Damos Dumoli Agusman kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel APA ARTI PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL? oleh Damos Dumoli Agusman dengan alamat link https://www.cyberlaw.my.id/2012/04/apa-arti-pengesahan-perjanjian.html